"Haaaaaaa!!!"
Seorang perempuan kecil menangis di bawah sinar sang fajar. Temannya yang terhalang oleh bayangan menghambat rasa penasaranku di dalam rumah tua penyihir itu. Entah dia merasakan kesakitan di kakinya yang terbelenggu oleh rantai yang tidak terlihat itu ataukah menangisi sesuatu yang lain.
"Febri, jangan pergi!" ujar perempuan yang mulai menunjukkan wajahnya yang sudah dihiasi oleh air mata.
"Tiana?" kataku sedikit heran.
Aku berusaha berjalan mendekatinya namun yang kudapatkan hanyalah sikap acuh dari mereka berdua. Seakan aku ini adalah sebuah roh yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa.
"Dia pasti kembali, tenang saja Tiana." ujar salah satu teman laki – laki yang penampilannya mengingatkanku pada seseorang.
Sebelum aku bisa berpikir lebih panjang lagi, tubuhku sudah dibawa ke ingatan Tiana yang lainnya. Yang kulihat hanyalah gelembung – gelembung ingatan selama tubuhku megnarungi dimensi kosong tersebut dan terus saja ditarik menuju ke salah satu gelembung ingatan itu.
"Aduh!" ucapku rintih ketika aku terbentur sebuah dinding ketika aku sampai di ingatan Tiana yang lainnya.
Seorang perempuan yang familiar itu berdiri di hadapan cermin sambil menatap dalam ke arah kedua bola matanya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Di sisi lain, aku sedang menyelam sambil minum air di tempat yang tidak lain adalah kamar Tiana. Aku sedang memeriksa ke seluruh pelosok kamarnya karena ini adalah pertama kalinya aku masuk ke kamar Tiana. Entah di tahun berapa ini, namun saat itu kamar Tiana benar – benar bersih dan rapi. Bahkan setiap poster maupun hiasan dinding terpampang dengan cukup rapi. Aku tidak terlihat bukan berarti aku tidak bisa menyentuh barang – barang yang ada di sini, duduk di tempat tidurnya pun bisa atau bahkan berbaring di atasnya. Tetapi bukan itu tujuanku datang ke sini. Melainkan karena perempuan yang hampir 10 menit berdiri memandangi kaca itu.
Sambil bersandar di depan pintu kamarnya, aku melihatnya mulai melepaskan kacamatanya dan mulai membiarkan rambutnya terbebas dari ikat rambut. Mulai mengenakan kalung dan anting hasil pemberianku dengan sebuah alunan air mata yang lagi – lagi keluar dari matanya. Namun dia memberishkannya lagi, mulai berdiri tegap dan berlatih menjadi seorang Tiana yang kukenal selama ini. Aku masih bisa melihat sifat malu yang ada pada dirinya sangat sulit untuk bisa hilang, tetapi determinasinya yang sangat tinggi membuatnya terus berlatih dengan giat.
Di samping kanannya, ada sebuah tumpukan buku yang sedikit menarik perhatianku. Kuputuskan untuk menghampiri tumpukan buku itu yang tidak lain adalah kumpulan buku – buku yang mempelajari tentang psikologi, bahkan hingga astronomi.
Dengan wajah bahagia, dia pergi sambil membawa tas merah imutnya itu menuju ke sekolah dengan rasa percaya diri tinggi, seakan sudah berhasil dengan latihan singkat itu. Rasa penasaran ini membawaku membuntutinya hingga keluar kamar sebelum aku terjatuh keluar dari gelembung ingatannya lagi.
***
Ketika aku sadar kalau diriku sudah tergeletak mengenaskan di atas tanah, aku segera bangkit dan melihat suasana taman yang indah nan asri. Begitu pula Tiana yang sedang berjalan dengan salah satu buku psikologinya itu. Duduk di bawah pohon rindang dan mulai membaca buku setebal 7 sentimeter itu.
"Duduk sendirian lagi hah?" ujar tiba – tiba seseorang dari balik pohon.
"Pertanyaan yang bodoh sekali, padahal kamu sendiri sudah tahu jawabannya kan Denis?"
Sosok dengan tubuh kurus dan lunglai itu muncul dari balik pohon rindang ini, tanpa ada ekspresi yang berlebihan, dia duduk dengan santainya di sebelah Tiana.
"Apa tidak bosan membaca buku seperti itu terus di hari Sabtu seperti ini?" tanya Denis.
"Kalau kamu tidak ingin membantuku lagi, tidak masalah Denis. Aku akan melakukannya sendiri." jawab Tiana dengan cueknya.
"Jangan begitu dong... aku hanya bercanda Tia. Mana mungkin kita meninggalkan teman kita tersiksa seperti itu." ucapnya dengan suara yang lemas dan terkesan seperti bernyanyi.
"Maka dari itu semangatlah Denis. Tidak kusangka kamu yang hiperaktif saat kecil dulu bisa berubah menjadi si pemalas yang bahkan tidak ada tenaga untuk berbicara seperti ini. Tidak heran kalau suatu saat Febri tidak akan mengenalmu." balas Tiana yang masih memandangi bukunya tanpa menatap ke arah Denis saat berbicara tadi.
"Bukannya kamu juga sama? Kamu kan harusnya pemalu. Lagipula dia itu hilang ingatan, bukannya menjadi gila. Jadi tidak perlu menyusahkan dirimu untuk membaca hal seperti ini."
Tanpa membalas pernyataan Denis, Tiana langsung menghantam wajahnya dengan buku tebal yang ia genggam itu. Aku hanya bisa tersenyum dan sedikit tertawa karena tingkah laku mereka. Namun di sisi lain aku hanya bisa terdiam tanpa bisa berkata sediktpun, bahkan hatiku tidak berbicara sedikitpun padaku seperti biasanya.
"Tapi berita bagusnya adalah, dia akan masuk ke fakultas seni di kota ini. Kalau tidak percaya tanyakan saja pada teman – temanku yang bersekolah di SMA yang sama dengannya." kata Denis yang berhasil menghentikan pukulan beruntun Tiana.
"So be it. Sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk menuju ke fakultas itu juga." ujar Tiana yang sangat yakin kalau ia akan diterima. Dan memang begiutlah kenyataannya.
"Aku bagaimana?"
"Lebih baik kamu jadi pengangguran saja, kuliah hanya akan menyengsarakan orang tuamu saja. Dengan kondisi yang memprihatinkan seperti ini, aku rasa kamu harus memikikan saranku ini baik – baik." jawab Tiana sarkas dan mulai pergi meninggalkan Denis di pohon yang rindang itu.
Tak berselang lama, sosok perempuan yang menyebalkan telah hadir di depanku dengan wajah polos ditambah lagi dia kebingungan.
"Mana Tia?" tanya Aura.
"Sudah pulang. Dia sudah terlalu lama menunggumu hingga aku yang harus menerima amarahnya." ucap Denis sedikit kesal sambil meraba – raba wajahnya yang telah dihantam buku tebal itu.
"Ha ha ha... aku rasa itu pantas untuk orang yang menyebalkan sepertimu. Harusnya kamu sadar kalau dirimu itu menyebalkan. Baiklah kalau begitu, bye Denis!" ujar Aura yang segera mengikuti arah Tiana pergi dan meninggalkan Denis dalam kesendirian.
Dan aku pun terbawa menuju salah satu gelembung baru lagi yang untungnya tidak jauh dan tidak membuatku jatuh pingsan lagi. Hanya saja, ingatan yang kali ini sangat kuingat karena aku berada di sana, membuntuti mereka sebelum aku sadar kalau semua usaha saat itu menjadi sia – sia.
"Hai Denis!"
"Haaaiii... bagaimana semuanya? Lancar?"
"Tidak. Gagal total dan aku ingin mendinginkan kepalaku saat ini." ujar Tiana sembari berjalan menuju ke mall.
Dari jarak yang cukup terjangkau oleh mata telanjang, terlihat diriku yang jongkok bersama dengan Aura dan saling berdebat satu sama lain dari balik mobil yang terparkir, tanpa menyadari kalau target mereka telah berjalan terlebih dahulu.
Dan aku terbawa lagi sedikit lebih cepat menuju amarahku saat itu, menghantam salah satu permainan yang jelas – jelas adalah sebuah perbuatan bodohku.
"Jangan lihat – lihat, ini memang sakit."
"Ah, tidak..." sebuah suara pun masuk ke dalam kepalaku. Pandanganku langsung menuju ke arah Tiana karena ini semua adalah isi pikiran dari Tiana, jadi suara ini pasti berasal darinya.
"Sekarang dia membenciku. Aku... dibenci... olehnya." suara yang terlapisi penuh oleh keputusasaan terdengar dengan jelas di telingaku. Tidak ada kata – kata lain yang keluar dari hatinya selain kalimat itu terus – menerus. Berulang kali hingga aku kembali dari kamar mandi saat itu.
Aku berjalan menjauh dari kejadian itu, keluar dari area permainan dan kembali terbang di dalam ruang tanpa gravitasi dengan gelembung ingatan sejauh mataku memandang. Tanpa kusadari kalau aku sudah berdiri pada sebuah gerbang dengan cahaya putih yang sering kulihat di film – film. Sangat terang dan membuatku tertarik mendatanginya karena itulah satu – satunya jalan keluar dari tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
General FictionHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...