"Kamu mau mengakuinya? Segala kesalahanmu!?"
Steve berniat membuatku buta dengan senter di ponselnya, ketika dia saat ini berusaha menginterogasiku di kursi kelas. Aku bisa saja mengambil ponselnya dan menggigit tangannya itu dengan sekali gigitan, tetapi aku menahan mode karnivoraku.
"Kamu harus mengakui segala kebohonganmu padaku tentang hari itu. Padahal, kamu bilang padaku kalau tidak terjadi apa – apa pada hari itu, jadi aku tidak menerima sedikitpun alasan darimu lagi." ucap Steve yang bisa kubilang, dia sangat kesal saat ini.
"Aku tidak berbohong bahwa banyak yang terjadi di hari itu, tetapi tetap aku harus merahasiakannya. Tidak semua yang terjadi benar – benar bisa diceritakan." balasku tenang.
"Amico, kamu bisa – bisa menghamilinya, cepat lakukan sesuatu." kata Steve yang panik.
"Jadi itu masalahnya?" tanyaku.
"Ya, lagipula itu sangat mustahil untuk orang sepertimu. Apalagi kalau aku berada disana, kamu pasti tidak mendapatkan peluang sedikitpun." ucap Steve bangga pada dirinya sendiri.
"Suatu saat, kita harus menyembuhkan pemikiran mesummu itu sebelum menurun ke anak – anakmu nanti Steve."
SIANG HARINYA
Kelas berakhir lagi untuk hari ini. Aku dan Steve meninggalkan gedung bersama, meskipun Steve sempat tertinggal karena sempat bercengkrama ria bersama teman – temannya. Aku tidak ada masalah untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Steve, tetapi yang jadi masalah adalah Aura. Dia sudah membuatku berjanji kalau aku tidak boleh memberitahukan hobi tersembunyinya sekaligus kerjasama kita yang telah kami ciptakan saat di perpustakaan.
"Pagi tadi, Tiana sempat memberitahuku kalau ada meeting lagi besok. Gara – gara kemarin beberapa mahasiswa tidak banyak yang datang di kelompok komite kita. Ta... Tunggu dulu..." Steve menghentikan pembicaraannya denganku setelah ponselnya berdering dari dalam saku celananya.
"Tidak lagi! Ardhi!" teriak Steve ketakutan.
Aku mendekatkan diriku pada Steve, sehingga aku bisa melihat apa yang sudah membuat orang ini berteriak.
"Kenapa emailku masih belum kamu log out?" tanyaku bingung.
"Ya... mau bagaimana lagi Ar? Jujur untuk yang kali ini, aku sengaja membiarkannya di ponselku. Setelah apa yang terjadi kemarin. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi... Dan memang terjadi!" ucap Steve berusaha memperlihatkan layar ponselnya padaku.
Memang seperti yang masuk ke dalam ponsel Steve, sebuah email yang dikirim dari pengirim misterius.
Oleh : Aidan S. <aidan.sa@xxxxx.com>
Kepada : Ardhi Febrian <febardhi@xxxxx.com>
Subjek : (Tidak ada)
Bisakah kamu menerima kenyataan yang tidak sepenuhnya benar?
Tak ada jalan kembali setelah langkah pertamamu, atau merubah sebuah kekalahan menjadi sebuah kemenangan. Bahkan setelah kenyataan yang ditunjukkan sudah sangat jelas di matamu, kamu masih berharap menjadi orang yang paling jujur dan tulus, berhati – hatilah.
Karena itu hanya akan menciptakan sebuah kebohongan yang sempurna.
Aku lagi – lagi hanya bisa tepaku dan kebingungan dengan isi email ini. Di sisi lain, Steve mengatakan hal yang sudah kuduga sebelumnya.
"Apa maksudnya ini? Mengapa isinya selalu misterius seperti ini?" tanya Steve terheran - heran.
"Aku tidak tahu Steve, apalagi email ini mengatakan kalau apapun yang kita telah lakukan, tidak akan bisa kembali lagi seperti semula. Lama – lama dia semakin mempermainkanku seakan aku tidak akan pernah bisa menangkapnya." kataku sedikit emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distrust (Completed)
General FictionHIGHEST RANK: #5 in Indonesia (02-04-2019) #30 in Mystery (27-7-2018) #10 in Kutukan (12-08-2018) 3 orang anak kecil mengalami sebuah mimpi buruk dalam hidup mereka. Berbekal sebuah imajinasi belaka, mereka memberanikan diri membaca sebuah buku beri...