📒 2 📒

3K 291 43
                                    

Aku tidak peduli bagaimana proses cinta menjatuhkan dirinya. Intinya yang aku tahu, dia telah jatuh padamu.

***

Agustus 2015

Suara keras seorang lelaki terdengar menggema dari area panggung di tengah aula kampus. Ia sedang membacakan sebuah puisi berjudul Hampa, karya Chairil Anwar, dengan penghayatan penuh bak seorang pemeran utama dalam sebuah teater. Penghayatannya terlihat sangat bagus.

Satu tangannya terlihat memegang secarik kertas dan satunya lagi bergerak ke sana ke mari menyesuaikan gerakannya sesuai kata dalam puisinya. Pandangan dan mimik wajahnya terlihat benar-benar sesuai dengan tiap kata dan kekuatan emosi yang ia keluarkan.

"Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memagut. Tak satu kuasa melepas-renggut. Segala menanti. Menanti. Menanti ...."

Ia merupakan seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia yang sedang menampilkan UKM bidang kesenian di kampus ini. Sejak ia memulai penampilan untuk puisi, semua mahasiswa dan mahasiswi baru di aula yang luas itu seketika terdiam.

Tepuk tangan terdengar riuh memenuhi aula yang luas itu, tepat setelah puisi diselesaikan. Lelaki tadi terlihat turun dari panggung, kemudian diganti oleh seseorang yang lain.

"Ya! Itu dia penampilan dari Alvin Syahputra Pratama, ketua dari UKM seni di kampus ini," ucap seorang lelaki yang diketahui merupakan ketua BEM di kampus ini.

"Buat adek-adek yang mau mendaftar, nanti selesai acara, langsung aja tanya-tanya di stand hitam paling ujung, itu untuk yang mau daftar di UKM seni." Lelaki itu menunjuk ke arah sudut aula, di sana terdapat semacam stand berwarna hitam dengan ukiran berwarna keemasan yang sangat rapi, membuat tampilan elegan terpampang jelas dari stand tersebut.

Seorang perempuan dengan kulit putih, hidung mancung dengan warna mata cokelat terang, terlihat ikut menatap ke arah ujung sana. Ia terlihat duduk di sebuah kursi tengah deretan kedua. Di kardus segiempat yang dijadikannya sebagai papan nama, tertera jelas tulisan spidol bertuliskan Rani Almira Afliansyah.

Bentuk wajah yang tirus dan bibir yang berwarna pink natural serta postur tubuh yang tinggi semampai itu jelas menjadikannya pusat perhatian beberapa orang saat pertama kali memasuki area kampus.

Rani terlihat mencatat sesuatu di buku kecilnya, sepertinya semacam tulisan tentang apa yang ia dapatkan hari ini. Senyum perempuan itu mengembang jelas, ia terlihat semangat melihat ke sekelilingnya, kemudian menuliskannya di buku kecil itu.

📒📒📒

Semua mahasiswa dan mahasiswi baru terlihat menyebar di berbagai stand UKM yang membuat mereka tertarik. Rani berjalan ke arah stand yang dilihat dari kejauhan saja sudah bisa diketahui, begitu banyaknya orang yang mengantre di sana. Stand hitam itu memang selalu jadi pemenang untuk peminat terbanyak setiap tahunnya.

Rani memilih berjalan ke kursi-kursi di tepi aula, melihat antrean yang sepertinya masih sangat panjang. Belum sempat ia berjalan menjauh dari posisi tengah antrean tadi, sebuah suara terdengar, yang entah kenapa membuatnya terdiam.

"Eh, itu yang cantik yang cantik!"

Rani ingin terus berjalan karena merasa bukan dirinya yang dipanggil, tapi entah kenapa rasanya semua orang di antrean panjang tadi seketika menatap ke arahnya. Ia jadi benar-benar berhenti di tempatnya.

Seorang lelaki dengan mikrofon di tangannya, terlihat berjalan mendekat ke posisi Rani. Terlihat jelas di sisi kiri lengan bajunya, lambang seorang ketua. Begitupun nametag di baju yang ia kenakan, bertuliskan sebuah nama, Alvin Pratama.

Perempuan-perempuan yang melihat itu kebanyakan hanya menutup mulut, menahan untuk berteriak. Melihat seorang ketua UKM seni yang tadi terlihat sangat bagus membawakan puisi, sedang berjalan ke seorang perempuan.

Rani masih mematung di tempat. Sampai ia melihat seorang lelaki yang berjalan pelan, terhenti tepat di depan Rani.

"Kenapa nggak jadi ngantri?" tanya Alvin lembut, ia tersenyum manis menatap perempuan di depannya. Membuat Rani seketika membeku melihat senyum lelaki itu. Yang membuat malu yaitu, untuk apa ia membicarakan hal seperti itu dengan mikrofon, membuat seisi aula mendengarnya.

"Hm?" Lelaki itu mengulangi pertanyaannya, melihat Rani yang masih membeku menatapnya. Sumpah, perempuan mana yang bisa tetap biasa aja kalau ada di tengah suasana kayak gini? batin Rani. Belum lagi karena lelaki itu menyodorkan mikrofon di depan mulut Rani. Entah apa tujuannya ia melakukan hal seperti ini.

"Eh ... anu, Kak." Rani terlihat menggigit bibir bawahnya, ia benar-benar malu berada di tengah-tengah pandangan orang banyak seperti ini.

Alvin tetap tersenyum menatap perempuan itu, tak tahu saja kalau senyumnya bisa membius perempuan-perempuan yang melihatnya.

Rani menunduk. "Antriannya masih panjang, Kak."

Semua orang sekarang justru asyik menonton penampilan di tengah aula itu. Hal itu pastinya mengundang berbagai macam tatapan. Mulai dari tatapan yang kebanyakan seperti iri hingga ada sedikit orang yang menatap iba kepada Rani.

"Kalo ...." Alvin terlihat semakin memamerkan kemampuannya dalam memainkan ekspresi. "Kalo khusus kamu, daftarnya di hati saya aja, mau nggak?" Lelaki itu tersenyum miring, ia berjalan semakin dekat ke arah Rani.

Seketika seisi aula heboh mendengar ucapannya, sedangkan Rani sontak membulatkan matanya. Perempuan itu memanas mendengar ucapan Alvin. Entah apa tujuan Alvin mengatakan itu di depan banyak orang. Belum lagi karena ia mengatakannya pada orang yang tidak mengenalnya sama sekali. Apakah ini masih bagian promosi dari UKM seni?

Rani terlihat menundukkan kepala, ia malu tapi tidak tahu harus berbuat apa.

Terdengar suara mikrofon dibunyikan dari stand yang berbeda, membuat semua orang seketika terdiam kembali. Kali ini dari seorang lelaki di stand yang agak jauh dari posisi Rani.

"Acara promosi UKM udah selesai. Kalo mau ngedrama, lanjut di aula seni aja. Ini aula umum." Lelaki itu terlihat duduk di sebuah meja di bagian depan stand berwarna putih—khas palang merah, biasanya dihuni oleh mahasiswa kesehatan dan kedokteran—dengan posisi kaki menyilang di atas kaki yang satunya. Ia menjeda sejenak ucapannya, kemudian melanjutkannya setelah menatap tepat ke arah dua orang yang sedang menjadi pusat perhatian di tengah aula.

"Jangan ngelakuin apapun seenaknya seolah aula ini milik lo sendiri," tandasnya. Lelaki itu turun perlahan dari tempat duduknya—di atas meja tadi—kemudian berjalan santai keluar aula, dengan kedua tangan masuk ke dalam kantong long coat hitam yang ia pakai.

Alvin menatap sinis ke arah lelaki itu, kemudian ia tersenyum lebar seperti terpaksa. "Oke, makasih udah ngingetin! Laen kali gak usah ngingetin lagi ya!"teriaknya. Ia kemudian menggandeng Rani untuk berjalan ke meja pendaftaran, menulis namanya di sana tanpa harus mengantri seperti yang lain. Jelas saja membuat tatapan orang-orang lain menjadi iri dan sinis melihatnya.

Setelah menulis data diri sebagai pendaftar, Rani segera pergi dari sana tanpa mengatakan apa-apa pada Alvin.

"Loh?" Alvin menatap heran ke arah perempuan itu. Ia terlihat bingung. Sepertinya Rani benar-benar dibuat malu dengan ulah Alvin tadi. Lelaki itu seolah melakukan semuanya tanpa memikirkan dampaknya.

📒📒📒

Perhatiin tahun di atasnya yaa 😊

By the way, kalo kalian yang di posisi Rani gitu, bakal malu apa malah seneng? Wkwkwwkwk

Jangan lupa vote + komen yaa!! 😘

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang