📒 9 📒

1K 111 1
                                    

Terkadang sebuah ketidaksengajaan memang membuahkan hasil yang lebih baik.

•••

Alya terlihat menarik tangan Rani. Berjalan menerobos kerumunan orang-orang yang akan keluar, seusai acara pembukaan tadi.

"Lo ... serius nerima Alvin?" Alya menatap Rani tidak percaya. Ia cukup tahu betapa besarnya perasaan Rani pada seseorang.

Dan itu bukan pada Alvin.

Rani berusaha tersenyum di tengah air matanya yang bahkan tidak bisa berbohong barang sedetikpun, mereka tetap berjatuhan seenaknya. Rani mengangguk pelan. Semua orang pun tahu anggukan itu merupakan anggukan kurang yakin.

"Lo ribetin diri lo sendiri, Ran." Alya menatap Rani penuh pengertian. Ia terlihat cemas. Meskipun Rani mengangguk, tapi batin seorang sahabat sudah pasti bisa merasakan kebohongannya dengan jelas.

"Alvin orangnya baik kok, Al. Nanti juga gue bakal suka dengan sendirinya. Jadi lo nggak usah khawati—"

"Perasaan nggak sebercanda itu," pungkas Alya. Masih dengan suara lembutnya seperti biasa, tapi terdengar tegas.

Rani terdiam. Perlahan pandangannya beralih ke arah Alya, mencari pembelaan di sana. "Coba lo posisiin diri lo jadi gue, Al."

Alya menatap heran. Selang beberapa detik, tatapannya berubah kaget. Dari belakang Rani, ia melihat seseorang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Tetapi seketika terhenti, ingin mendengar adu pendapat yang dilakukan kedua perempuan depan ruangan itu.

Lelaki itu menatap ke arah Alya dan Rani.

"Lo ditembak sama salah satu lelaki terkenal di kampus, di depan banyak orang. Hal yang paling mustahil bagi orang-orang tuh kalo gue jawab nggak. Dan ... habis itu mereka semua bakal nanya, kenapa gue nolak? Apa lo punya alasan paling masuk akal untuk nolak Kak Alvin?"

Alya hanya terdiam. Ia beku melihat lelaki di belakang Rani yang juga ikut diam—bersandar di tembok—mendengarkan penjelasan Rani, dengan gaya santainya.

Alya menatap Rani, ingin mengajak perempuan itu ke tempat yang sepi dan cukup enak jadi tempat berbincang hal seperti ini. Tapi itu terhenti, ketika Rani justru melanjutkan ucapannya dengan nada kesal dan dengan suara yang cukup keras.

"APA GUE HARUS JUJUR JAWAB, KARENA GUE SUKA SAMA KAK KAREL?!"

Bukan hanya Alya yang memasang wajah kaget. Bahkan lelaki yang sejak tadi mendengarkan ucapan mereka, seketika menatap ke arah Rani, sesaat setelah namanya disebut.

Koridor ini memang sepi, hanya saja kebetulan ada seorang lelaki yang baru keluar dari salah satu ruangan di sana. Alya meringis pelan, ingin rasanya ia menarik Rani menjauh dari sana. Hanya saja perempuan itu sedang serius-seriusnya mengutarakan kekesalan, ia tidak mungkin memotong ucapannya begitu saja.

"Jatuh-jatuhnya gue yang paling kasian, Al. Belum tentu juga Kak Karel suka sama gue." Rani berusaha menghapus air matanya.

Alya hanya bisa menatap iba sahabatnya. Suasana terasa semakin hening, hanya isakan pelan Rani yang terdengar.

"Dan ... belum tentu juga dia nggak suka sama lo."

Suara itu.

Rani seketika diam. Beku. Ia bingung harus apa. Suara itu terdengar sangat nyata. Harusnya Rani senang mendengar kalimat tersebut, hanya saja malu. Rasa malunya seketika memuncak. Ia segera berbalik ke arah belakangnya. Dan ... benar.

Karel.

Lelaki itu sedang bersidekap dada seraya bersandar di tembok, tepat di belakang Rani. Menatapnya dengan wajah datar dan cuek seperti biasa.

Rani hanya bisa menunduk beberapa detik, rasanya kadar malu dalam dirinya seketika dipompa kencang hingga berakibat ke jantungnya yang berdegup keras. Detaknya bahkan terdengar jelas di telinganya sendiri.

"A-aku ... minta maaf, Kak," ucap Rani, ia terlihat menunduk-nunduk. Kemudian selang beberapa detik, bahkan tanpa berpamitan dengan Alya, perempuan itu segera berlari menjauh dari sana. Sepertinya rasa malu itu benar-benar tidak dapat lagi ditampung lagi oleh Rani.

Ia berlari sekencang-kencangnya menjauh dari sana. Tanpa peduli bagaimana reaksi orang-orang yang melihatnya. Ia tetap berlari dengan isakan yang terdengar semakin jelas.

Rani terhenti di sebuah bilik-bilik tempat duduk yang terlihat sepi. Ia duduk di sana, berpuas-puas meluapkan air matanya, merutuki dirinya sendiri.

Nyatanya, dia sendiri menjatuhkan cintanya di tempat yang salah. Seandainya saja Rani menjatuhkan cintanya pada Alvin, mungkin hidupnya sudah bahagia sejak dulu.

Rani terlihat memejamkan perlahan matanya. Berusaha menenangkan dirinya. Dadanya terasa sesak akibat semua ini. Ia terlihat berbalik perlahan. Kembali mengharapkan sesuatu yang mustahil. Berharap Karel mengejarnya? Harapan bodoh macam apa itu.

Rani berusaha menghapus air matanya.

📒📒📒

See you on the next chapter:')

Jangan lupa vote + komen ya😘😘

Kalian kalau nemu penulisan yang salah atau typo atau apapun ituu, tolong dikomen yaaa, biar bisa akuu perbaikinn🙏

Makasiihh🤗

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang