📒 12 📒

1K 99 6
                                    

Sekalipun ini hanyalahsekadar ilusi, percayalah, aku rela terjebak di sini selamanya, bersamamu.

•••

Mendengar suara itu membuat Rani beku seketika. Suara seseorang yang sepertinya sangat mustahil ada di sini. Bahkan memeluknya saat ini.

Hening.

Hingga beberapa detik, Rani masih diam akibat mendengar suara itu. Isakannya masih terdengar, kali ini bukan karena taruhan Alvin tadi, melainkan karena lelaki di depannya. Untuk apa lagi ia memunculkan diri di saat Rani sudah mulai melupakan perasaannya?

Perlahan, dekapan itu direnggangkan. Kemudian dilepas. Membiarkan Rani melihat jelas seseorang yang menariknya dalam pelukan tadi.

Lelaki itu ... Karel? Mustahil. Tapi ini memang kenyataannya. Bahkan setelah Rani mengerjapkan matanya beberapa kali, tetaplah sosok Karel yang terlihat di depannya.

"Lo dari acara ultahnya Alvin?"

Seketika perasaan Rani tenang dibuatnya. Benar kata Alya, selama ini dirinya hanya pandai akting untuk menutupi rasa cintanya pada lelaki ini. Tapi tak dapat Rani mungkiri, Karel memang punya keahlian untuk membuat Rani merasa tenang.

Rani mengangguk pelan sebagai jawaban dari pertanyaan Karel. Ia yakin lelaki itu tahu malam ini adalah pesta ulang tahun Alvin. Pastinya karena Alvin cukup terkenal di kampus.

"Nyatanya ... aku cuma jadi bahan taruhan dia." Entah atas alasan apa pula, Rani mengatakannya dengan ekspresi seolah sedang curhat. Memang apa pedulinya lelaki ini?

Perlahan, tatapan Rani mengarah ke atas, memberanikan diri menatap sorot pembawa ketenangan di depannya. Selang beberapa detik, Rani kembali menunduk. "Ma ... af, Kak."

"Buat?" Karel menaikkan satu alisnya.

"Maaf aku sering ngerepotin, maaf karena aku nggak bisa ngelakuin sesuatu dengan baik, maaf waktu di acara ultah kak Arin, aku justru bikin keributan sama pacar Kak Karel, dan bodohnya ... aku justru mikir Kak Karel bakal bela aku di situ. Yang nyatanya ...." Rani mulai berbicara di tengah isakannya, ucapannya ia jeda sejenak.

"Nyatanya ... Aku terlalu berharap, aku yang terlalu berharap, Kak. Aku ... minta maaf karena nggak tahu diri," ucap Rani, terjeda oleh isakan-isakannya sendiri. "Aku ... minta maaf—"

"Bego." Hanya itu yang keluar dari mulut Karel. Setelah cukup banyak kalimat yang diucapkan Rani, lelaki itu hanya membalasnya satu kata.

"Iya, Kak. Aku ... emang bego! Aku ...." Rani menunduk, ia terisak keras menyadari kebodohannya selama ini. Yang lebih bodoh lagi, untuk apa pula ia mengutarakannya di depan Karel.

"Aku ...."

Ucapan Rani seketika terhenti ketika merasakan bibirnya dibungkam lembut oleh bibir seseorang. Membuat Rani seketika membulatkan matanya, menatap ke arah lelaki di depannya yang telah lebih dulu memejamkan matanya.

Selang beberapa detik, Rani memejamkan matanya perlahan, ikut menikmati kenyamanan yang ia rasakan saat ini.

Mobil-mobil terlihat melaju kencang, sorotan lampunya seolah menerangi ciuman pertama Rani di tengah suasana malam yang cukup gelap ini. Butiran air sisa-sisa hujan terlihat jatuh perlahan melalui atap-atap rumah, membiarkan cipratannya membunyikan ketukan irama yang seolah menjadi backsound tersendiri.

Perlahan, kedua sudut bibir Rani tertarik membentuk senyum senang. Perasaannya seolah diisi bumbu-bumbu manis yang sejak dulu ingin ia rasakan. Dan sepertinya baru bisa ia gapai sekarang. Membiarkan degup jantungnya yang memburu akibat bahagia itu seperti meledak-ledakkan tiap kesenangan yang kemarin masih terkunci rapat.

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang