📒 13 📒

1.1K 101 3
                                    

Jika bersamamu hanya sekadar mimpi, tolong jangan ada yang berani membangunkanku.

•••

November 2015

Denting jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi terdengar cukup nyaring memenuhi aula seni kampus, menandakan waktu latihan telah selesai. Beberapa orang terlihat mulai merapikan peralatannya.

Rani berputar pelan di atas panggung bersama penari lainnya, ia terlihat sangat bersemangat. Tetapi efek terlalu lama berlatih sejak tadi, perempuan itu hampir saja terjatuh, kalau saja tidak ada seseorang yang menahannya. Membuat perempuan itu kembali menatap ke arah seseorang, yang akhir-akhir ini sangat jarang ia temui.

Alvin.

"Mending kamu istirahat, Ran." Lelaki itu tersenyum manis seperti biasa. Beberapa orang yang melihat kejadian itu, hanya terkekeh pelan. Adapula yang berbisik-bisik mengatakan bahwa Rani dan Alvin akan kembali pacaran, tapi kali ini benar-benar didasari dengan perasaan.

Mendengar hal itu, Rani segera menggeleng. Ia menepis semua anggapan orang-orang tersebut, tidak ingin dicap murahan. Ia segera berdiri ditopang kakinya sendiri. Baru saja Rani ingin menjauh dari lelaki itu, Alvin segera menahan lengan Rani.

"Aku minta maaf, Ran."

Rani mengembuskan napas pelan, sebelum akhirnya berbalik ke arah Alvin. Ia tersenyum lembut. "Udah aku maafin, Kak."

Rani kembali ingin berjalan menjauh dari sana, tapi lagi-lagi Alvin menahannya. "Apa ... kita bisa mulai dari awal lag—"

"Maaf, Kak. Jemputan aku udah ada." Rani buru-buru bergegas meninggalkan panggung itu, tanpa memedulikan apa pun lagi. Tak bisa dimungkiri, rasa sakitnya dulu masih sedikit membekas.

📒📒📒

Rani berjalan ke arah pintu rumahnya yang cukup jauh dari gerbang, seraya menatap ke arah langit malam yang benar-benar indah sekarang. Bintang bertaburan di setiap sisinya, dengan bulan yang membentuk senyum sempurna.

Ia baru saja turun dari mobil seseorang yang beberapa hari terakhir berhasil membuat dirinya merasa menjadi orang paling bahagia di dunia. Hanya sekadar mengantar sampai gerbang, karena lelaki itu tiba-tiba mendapat panggilan melalui telepon yang menyuruhnya untuk secepatnya ke rumah sakit kampus.

Rani membuka pintu rumahnya, kemudian menutupnya kembali. Ia menekan tombol on di lampu ruang tengahnya dan seketika tersentak kaget melihat ibunya yang sedang duduk di sofa, dengan gorden jendela yang terbuka.

Sudah pasti, ia mengintip Rani tadi.

"Cieee." Ibunya terkekeh seraya menggoda Rani.

"Papa jadi iri, udah nggak pernah ditelepon Rani minta jemput." Ayahnya ikut menimpali, pria itu memasang wajah sedih.

"Apa sih, Mah, Pah? Sana gih tidur, malah ngintip." Rani menatap kesal melihat kedua orangtuanya, yang hanya dibalas tawa oleh keduanya.

"Anak papa udah dewasa ternyata," ucap Aflian diiringi tawa yang menggelegar. Ayah Rani menutup kembali toples berisi kue yang ia makan seraya mengintip Rani tadi.

"Apa sih, Pah?" Rani membuka ikatan rambutnya, kemudian mengikatnya kembali dengan lebih rapi. Melihat kedua orangtuanya yang masih saja menahan tawa melihat anak gadisnya yang mulai pacaran, Rani hanya memutar bola matanya.

"Siapa sih, Ran? Kenalin papa dong. Gitu-gitu kan nanti dia yang gantiin papa buat sayang-sayangin kamu."

Ana menaikturunkan alisnya, setuju dengan ucapan suaminya.

"Iya, Pah." Kali ini Rani tersenyum lembut. Meskipun kedua orangtuanya cukup membuatnya kesal, tapi kesal itu hanyalah dalam artian sayang.

Rani mulai berjalan menuju tangga lantai dua rumahnya, diiringi tawa ayahnya yang terdengar keras. Selang beberapa detik, Rani kembali berbalik, mengatakan sesuatu yang justru membuat ayahnya tiba-tiba diam.

"Namanya Karel."

Seketika hening, entah kenapa.

"Ka ... rel?"

Rani seketika berbalik, ia diam beberapa detik menatap ayahnya. Menurutnya, ucapannya sudah cukup jelas tadi dan ia bukan pula orang cadel yang tidak dapat mengucapkan huruf R. Lantas kenapa ayahnya perlu mengulangi nama itu untuk kedua kalinya? Seolah ia tidak mendengarnya dengan jelas.

Menyadari semua tatapan mengarah ke arahnya, Aflian segera menggeleng pelan. Ia terlihat cengengesan. "Ng, mirip nama anak temen papa."

Baru kali ini ayahnya terlihat sedikit gugup, ia terlihat menutupi sesuatu, yang hanya dirinyalah yang mengetahuinya. Tapi Rani hanya mengendikkan bahu tanda tak terlalu peduli. Ia ingin berjalan menaiki tangga, tapi seketika terhenti kembali.

"Ran?"

Suara ayahnya terdengar kembali saat Rani akan menaiki tangga rumahnya.

"Iya, Pah?" Rani menyahut tanpa berbalik ke arah ayahnya.

"Kapan-kapan ... ajak dia ke rumah, ya?"

📒📒📒

See you on the next chapter 😉

Jangan lupa vote + komen yaa😘😘

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang