📒 18 📒

951 84 2
                                    

Aku selalu menyesali kehidupan di masa lalu dalam waktu yang cukup lama. Tanpa sadar bahwa waktu tidak akan pernah terulang.

•••

Oktober 2016

Mentari terlihat bersinar cerah menerangi beberapa orang yang sedang ramai duduk di kursi-kursi taman, guna menghirup udara segar di sana. Beberapa di antara mereka sedang duduk di atas kursi roda yang didorong pelan oleh salah satu suster atau perawat di sana.

Seorang perempuan terlihat berdiri di depan balkon kamarnya, menatap ke arah orang-orang di bawahnya. Tatapannya terlihat datar, bahkan untuk senyum saja terasa sulit.

Tidak sengaja mendengar vonisan dokter yang mengatakan ia harus mendapat donor secepatnya, membuat ia kehilangan semangat sama sekali. Ia seolah tidak ingin melakukan apa pun sekarang. Belum lagi karena pendonor jantung rasanya sangat jarang dan kadang belum tentu cocok.

Ia mengalami trauma kuat di jantungnya setelah kecelakaan itu. Membuatnya diharuskan mendapat donor secepatnya.

Semuanya hancur setelah kejadian itu.

Meskipun kedua orangtuanya sudah meyakinkan dirinya dengan mengatakan bahwa semua pendengarannya mengenai vonisan dokter itu salah. Tapi mau bagaimanapun, Rani mendengarnya sendiri. Beberapa hari setelah ia mulai bangun dari komanya.

Refleks entah karena apa, air matanya menetes. Ia seketika teringat dengan seseorang.

Seseorang yang mungkin sudah tidak mengingatnya sekarang. Ia yakin lelaki itu sudah bahagia dengan pasangan barunya.

Harapan hidupnya hilang, dibawa seseorang yang entah pergi ke mana.

Tes.

Setetes air mengenai dahinya, membuat perempuan itu seketika menatap ke atas kepalanya, mendapati langit yang juga suram sedang menatapnya balik, langit terlihat ikut menangis dengan butiran air hujan yang mulai ia jatuhkan.

Orang-orang di taman di bawah sana mulai berjalan cepat dan berlarian menuju bagian dalam rumah sakit, menyadari air hujan yang mulai berjatuhan. Sedangkan Rani, justru asyik menatap ke atas kepalanya.

Air hujan itu memang terasa dingin. Tapi entah kenapa menenangkan.

Rani memejamkan matanya beberapa detik, tersenyum damai di sana.

Merasakan dadanya yang mulai sesak kembali, ia memilih masuk ke kamarnya, menutup pintu balkon itu. Ia berjalan menuju kasurnya, duduk di sana.

Suara derit pintu yang terdengar pelan seketika membuat Rani berbalik ke sana.

Ana terlihat datang membawa plastik berisi buah-buahan yang ia beli di luar tadi, dengan senyum mengembang, ia mendekati Rani, mengusap puncak kepala anaknya itu.

Melihat ibunya mendekat, senyum terukir lembut di bibir pucat Rani. Ia memeluk ibunya dengan sangat erat, seolah tidak ingin melepasnya.

"Mah, apa Tuhan nggak menyediakan kesempatan ke dua untuk semua kesalahan?"

Hening.

Pertanyaan Rani membuat Ana berusaha keras menahan air matanya. Ia tidak ingin membuat Rani semakin sedih. Dengan senyum yang berusaha ia perlihatkan, Ana menjawab pertanyaan Rani dengan tenang.

"Ada kok, tapi ...."

Ana menggantungkan ucapannya, membuat Rani menatap heran ke arah ibunya. "Tapi apa, Mah?"

Ana menatap Rani dengan senyum lembutnya, mengusap pelan wajah anaknya.

"Tapi ... untuk orang yang mau berusaha."

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang