Aku selalu ingin bertanya pada Tuhan. Di antara miliaran orang di dunia, kenapa harus kamu?
•••
Clara Adelia.
Nama itu seketika membuat Rani diam seribu bahasa. Siapa dia?
"Rani?"
Suara ibunya kembali terdengar nyaring. Rani buru-buru membereskan semuanya. Ia sekarang hanya membawa map biru yang diminta oleh ibunya, tapi tak dapat dipungkiri, tangannya bergetar. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin menanyakannya, tapi perasaan takut seketika menjalari seluruh tubuhnya.
Akhirnya Rani menuju ruang kerja ibunya. Ia berniat ingin menanyakannya kalau saja ibunya tidak sedang sibuk. Ia berjalan perlahan menuju ruang kerja yang sedang ditempati ibunya, terhenti tepat di depan pintu. Ia takut.
Takut mengetahui kenyataan.
Rani berusaha memberanikan diri, ia menarik napas pelan kemudian mengembuskannya.
Rani membuka perlahan pintu itu. Terlihat Ana—ibu Rani, sedang sibuk mengerjakan sesuatu, tetapi senyumnya seketika mengembang melihat Rani. "Kenapa tumben lama, Sayang? Susah nyarinya?"
Rani hanya tersenyum simpul, ia meletakkan map biru tersebut di meja kerja ibunya. Kemudian berjalan pelan ke arah sofa, duduk perlahan di sana.
"Aku ... mau nanya sesuatu sama Mama, boleh?" ucap Rani pelan, berusaha mengatakannya selembut mungkin.
"Apa?" Meskipun Ana terlihat sibuk dengan laptopnya, ia tetap tersenyum.
"Clara Adelia," ucap Rani pelan, ia menjeda sejenak ucapannya, terlihat raut wajah ibunya seketika memuram. "Itu siapa?"
Ana seketika terdiam. Ia menatap ke arah Rani beberapa detik, kemudian menunduk perlahan. "Kamu mau dengar cerita Mama?"
Rani hanya mengangguk pelan. Ibunya terlihat berjalan pelan ke arah sofa yang diduduki Rani, sekarang mereka duduk bersampingan.
Ana mengusap pelan puncak kepala Rani, kemudian tersenyum. "Itu istri pertama ayah kamu."
Rani menatap ke arah ibunya tepat di manik mata, mencari tanda kebohongan di sana. Tapi hasilnya nihil, Ana tidak berbohong. Begitulah kenyataannya. "Dulu kan papa kamu suka bolak-balik klub malam, yah ... efek pergaulan."
Rani masih diam, ia sangat berharap ibunya akan mengatakan bahwa itu semua adalah kebohongan, tapi sepertinya tidak mungkin.
"Karena pergaulan yang salah itu ... ada sesuatu, yang bikin papa kamu harus bertanggung jawab sama perbuatannya dengan cara menikah." Ana berbalik, memalingkan wajahnya dari Rani.
Rani bukan lagi anak kecil. Ia bisa menangkap raut wajah sedih di wajah ibunya sebelum memalingkan wajah, seolah ia ingin menutupinya.
"Mama yakin kamu ngerti."
Rani mengangguk, di matanya sudah terbayang jelas butiran air yang sebentar lagi akan jatuh. "Jadi ... kenapa mereka—" Rani ingin menyampaikan pertanyaan lainnya, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu untuk mengungkapkannya.
"Kamu tahu kan? Yang namanya keluarga tidak akan suka dengan perempuan seperti itu. Jadi ...." Ana mulai terisak pelan. Sangat pelan, tetap berusaha tersenyum. Ia tahu seberapa cepatnya Rani menangis, karena itu ia berusaha sebisa mungkin menyembunyikan kesedihannya dari putrinya itu.
Tapi Rani dengan perasaannya yang sensitif itu sudah pasti tahu. "Ja ... di?"
"Keluarga papa berusaha memutuskan pernikahan itu. Awalnya papa kamu selalu bertahan, tapi ...." Rasanya berat. Cukup berat untuk ia lanjutkan. Tapi melihat Rani yang terlihat semakin penasaran, Ana berusaha melanjutkannya.
"Selang beberapa tahun, papa kamu nyerah. Ia memutuskan untuk cerai dengan istri pertamanya."
Ana mengusap pelan puncak kepala Rani, mengecupnya perlahan. Melihat butiran air mata yang mulai membasahi pipi putrinya itu, Ana segera menghapusnya. "Sekitar setahun kemudian, kami ketemu dan menikah beberapa bulan kemudian."
"Terus ... kenapa di buku nikah tadi ...."
"Sejak perpisahan mereka, papa kamu putusin buat simpan semua berkas pernikahannya sendiri. Itulah kenapa ... buku nikah itu masih tersimpan rapi di sini," ucap Ana lembut, ia kembali mengusap pelan puncak kepala Rani sebelum akhirnya beranjak menuju kursi di dekat meja kerjanya.
Rani masih terdiam, ia menatap ke arah ibunya. Ia sangat berharap kalau ibunya akan berbalik dan mengatakan bahwa itu semua hanya bohong, tapi nyatanya sampai beberapa detik pun hanya hening yang menyelimuti ruangan itu.
"Udah, Sayang. Istri pertama bapak dan anaknya pasti udah baik-baik aja sekarang, nggak akan ada masalah. Nggak usah dipikirin. Toh, udah lewat bertahun-tahun." Ana masih tetap tersenyum, ia seolah berusaha memberitahukan pada Rani bahwa itu semua baik-baik saja.
"I-iya, Mah." Rani beranjak dari sofa tersebut, membalas senyum ibunya, kemudian berjalan ke arah pintu.
📒📒📒
September 2015
Rani terlihat berjalan sendiri menyusuri koridor kampus. Memasuki area perpustakaan, Rani terlihat berjalan menyusuri buku-buku di perpustakaan umum kampus, mencari sebuah buku referensi untuk ia jadikan acuan penulisan opini bertema Marshilian Demand Curve dalam mata kuliah Mikroekonomi. Ia diharuskan menjelaskan tentang apa yang dimaksud dari tema tersebut tapi dengan kalimatnya sendiri.
Ia terlihat bingung sendiri. Perpustakaan terlihat sangat luas, di mana ia harus mulai mencari? Akhirnya ia bertanya pada seorang ibu di sana yang sepertinya pegawai perpustakaan. "Bu, buku-buku untuk jurusan ilmu ekonomi di mana, ya?"
"Oh, cari aja di deretan ke dua sana, Nak." Ibu itu menunjuk ke arah ujung kanan.
"Oh, iya. Makasih, Bu." Rani tersenyum, kemudian berlalu pergi ke area yang diberitahukan oleh ibu-ibu tadi.
Rani berjalan perlahan dari rak depan menuju ke belakang sambil memperhatikan semua judul buku yang tertera di sana. Tidak sengaja, Rani melirik ke arah belakang. Di area sofa panjang.
Ada seorang lelaki yang sedang duduk menyilangkan kaki, tangan kirinya terlihat bertumpu pada lengan sofa yang ia duduki. Tapi setelah dilihat-lihat, sepertinya lelaki itu tertidur. Ia memejamkan matanya.
Terlihat sangat tenang.
Entah kenapa, Rani justru berjalan mendekat ke arah lelaki itu. Berlutut perlahan di lantai untuk melihat lebih jelas wajah seseorang yang mampu membuatnya merasa tenang saat mengingatnya.
Rani memperhatikan wajah itu mulai dari alisnya yang terbentuk sangat rapi, hidung mancungnya dan bibir merah-mudanya. Kalau diperhatikan, lelaki itu sepertinya blasteran, kulitnya putih, ia memiliki model rambut mirip bentuk side swept. Lurus, belah pinggir ke arah kanan dan bagian kanannya terlihat cukup panjang hampir sejajar dengan bagian atas daun telinganya.
Akibat posisi tidurnya, membuat ujung rambutnya yang agak memanjang terjatuh hampir menutupi separuh matanya. Terlihat sangat lembut. Rani refleks tersenyum melihatnya, ingin rasanya ia memperbaiki rambut itu.
Ganteng banget, batin Rani. Tanpa sadar, ia sudah dari tadi di sana memperhatikan wajah itu. Rani bahkan terlihat berjongkok dan menumpukan wajahnya dengan kedua tangan. Seolah tidak ingin kehilangan sedetik pun momen ini.
Rani bahkan tidak menyadari kalau ternyata kelopak mata itu mulai bergerak perlahan. Ia masih asyik mematung dengan senyum kagum di sana, memperhatikan seseorang yang wajahnya terlihat seperti pahatan sempurna yang dibuat oleh Tuhan.
Sampai akhirnya, lelaki itu benar-benar membuka mata.
📒📒📒
Jangan lupa vote plus komen yaaa! Makasiih wkwkw
KAMU SEDANG MEMBACA
120 Lembar [Completed]
Romance[The WattysID 2018 Longlist] [This story has been revised] Ini diary-ku. Kalau ada yang nemuin, tolong dikembaliin yaa:) Isinya gak penting kok buat kalian. Tapi ... Ini penting buat aku. Ini semua tentang dia. Hanya tentang dia. Dia ... yang aku sa...