Aku enggan berkata soal cinta, ia terlalu egois menetapkan semuanya sendiri, tanpa peduli keinginan si pemilik rasa.
•••
Suasana hening perpustakaan seolah menjadi soundtrack tersendiri bagi Rani. Ia masih santai memandangi pemandangan di depannya. Entah kenapa, rasanya menenangkan. Rani masih ingat jelas ketika ia masih duduk di bangku SMP kelas dua, ia selalu bertanya pada ibunya.
"Mah, jatuh cinta itu apa sih?" Ana—ibu kandung Rani—tertawa keras mendengar pertanyaan putri semata wayangnya yang sepertinya baru menginjak masa puber.
"Mah, aku serius. Kasih tahu aku ciri-cirinya. Mungkin aja aku lagi jatuh cinta tapi nggak tahu itu namanya apa."
Ana menghentikan sejenak aktivitas memotong-motong sayur, yang sebelumnya sedang ia kerjakan. Ia tersenyum manis menatap Rani, tepat di manik mata. "Kamu nggak mungkin nggak tahu perasaan itu, itu perasaan yang beda dari yang lainnya."
"Hah?" Rani masih terlihat bingung, tidak mengerti.
"Ketenangan. Di saat perasaan itu menghampiri kamu, kamu bakal ngerasa tenang di dekat orang yang membawa perasaan itu untuk hati kamu," ucap Ana lembut.
"Sekalipun dia nggak berusaha bikin aku nyaman?"
"Iya, kamu bakal selalu tenang di sampingnya, apapun yang dia lakuin. Ya ... kadang cinta memang membutakan." Ana menjeda sejenak kalimatnya, kemudian kembali melanjutkan seraya mengusap lembut puncak kepala Rani.
"Karena itu ... Mama harap kamu nggak menjatuhkan cinta di orang yang salah."
Rani terlihat mengulum senyum mengingat ingatan itu, ia memang sudah menginjak bangku kuliah. Tapi tak bisa dipungkiri, kelembutan yang ia rasakan di rumahnya dan juga efek anak tunggal yang ia rasakan, membuatnya tumbuh menjadi anak yang masih polos.
Tetapi ini berbeda, ia merasakan sesuatu yang beda saat ia bersama lelaki ini. Sesuatu yang membuatnya tenang dan merasa terjaga.
Rani terlihat masih santai memandang wajah itu, bahkan ia tidak sadar akan pergerakan di kelopak mata lelaki itu.
Hingga akhirnya mata itu benar-benar terbuka.
Rani seketika membulatkan matanya beberapa detik, ia masih tidak percaya bahwa Karel akan membuka matanya di saat-saat seperti ini.
1 ... 2 ... 3!
Rani tersentak mundur, menyadari kelakuannya tadi dipergoki langsung oleh orangnya sendiri. Bukan hanya Rani yang memasang ekspresi kaget. Samar-samar, wajah lelaki itu juga menampilkan ekspresi yang sama, melihat seorang perempuan berlutut memperhatikannya, tepat di depan wajahnya.
Rani buru-buru berdiri dari posisinya kemudian berlari meninggalkan lelaki itu. Ia berlari tunggang-langgang keluar perpustakaan tanpa peduli pandangan orang-orang yang seolah heran menatapnya. Ia tidak peduli, degup jantungnya yang sangat cepat membuatnya lari bak seorang pelari maraton.
Setelah cukup jauh, barulah ia berusaha menenangkan napasnya dan detak jantungnya yang memburu.
Rani memegangi dadanya, rasanya jantung itu akan meloncat keluar detik itu juga, detaknya terasa sangat kencang. Rani memejamkan matanya, ia terlihat meringis menahan malu. Bisa dipastikan, setelah ini ia tidak akan pernah mau bertemu lagi dengan lelaki itu.
Tapi itu mustahil, menyadari separuh hatinya sudah ia titipkan pada lelaki itu.
Rani seketika melemas. Ia terduduk bersandar di tembok kampus, menutup wajah yang rasanya sudah memanas akibat hal tadi. Kenapa pula Karel harus terbangun di saat-saat seperti itu?
"Malu banget, duh." Rani terlihat sangat gelisah.
Rani masih terduduk di sana, ia terlihat gelisah. Bingung sendiri, bagaimana caranya menutupi rasa malu itu? Selang beberapa detik, barulah ia mengembuskan napas keras. "Gue nggak boleh malu. Belom tentu juga dia inget sama gue."
Rani menarik napas kemudian mengeluarkannya secara perlahan, mengulanginya selama beberapa kali. Sampai ia benar-benar merasa sedikit rileks.
📒📒📒
Alya seketika tersedak mendengar cerita Rani barusan. Kue donat buatan ibu Rani seketika rasanya tersangkut di tenggorokan. Ia buru-buru meminum air di sebuah gelas yang telah disediakan.
"Lo beneran ngelakuin itu, Ran?! Haha!" Alya masih tertawa keras membayangkan bagaimana ekspresi Rani saat itu.
"Gue tuh nggak tahu kalo dia bakal melek di situ." Rani terlihat mencibir sendiri, ia berjalan menuju meja belajarnya, mengambil beberapa buku dan pulpen untuk dibawa ke atas ranjangnya.
"Yaaa lo-nya juga keasyikan sih haha!"
Rani mulai meletakkan kertas HVS di depannya, ingin menulis sesuatu. Tapi seketika ia tersadar, ia tidak jadi meminjam buku apa pun di perpustakaan tadi. Rani terlihat menepuk dahinya. "Astaga gue lupa minjem buku tadi."
Lagi-lagi suara tawa Alya menggema memenuhi ruangan kamar Rani. "Cinta emang membutakan, haha!" Alya berjalan menuju meja belajar Rani. Ia mengisi gelasnya yang sudah kosong dengan air putih dari teko yang ada di sana.
"Ngeselin lo!" Rani melemparkan bantal ke arah Alya.
"Eh, Ran." Alya melirik ke arah ponsel Rani di atas meja belajarnya, sebuah notifikasi Line membuatnya menyala. Ia memberikan ponsel itu pada Rani.
Rani segera membuka aplikasi Line di ponselnya, melihat sebuah pesan dari seseorang dengan uname yang sepertinya ia kenali.
Alvinsp
Rani?"Itu kak Alvin?"
"Hm." Rani mengangguk pelan, seraya mengetik pesan balasan. Tanpa bertanya pun ia pasti sudah tahu. Melihat uname yang sudah sangat jelas itu.
"Kak Alvin kayaknya suka sama lo deh, Ran. Lo nggak ngerasa?"
"Dia tuh cuma modus," ketus Rani. Ia masih memainkan ponselnya.
"Bukan dia yang modus doang, lo nya yang nggak ngerasa."
"Kalo dia suka tuh, ya, tinggal bilang. Lah ini nggak pernah ngasih tahu."
"Eh." Alya mencubit pelan lengan Rani. "Dia tuh lagi tahap PDKT dulu sama lo."
Rani terdiam. Dengan wajah polosnya, ia justru bertanya, "Emang nggak bisa langsung bilang aja?"
"Cowok juga punya pertimbangan, Ran. Bukan cuma perempuan doang."
Sekarang, Rani ikut berpikir. Ucapan Alya ada benarnya juga ternyata.
📒📒📒
See you on the next chapter 😉
Jangan lupa vote + komen yaa😘😘
Kalian kalau nemu kesalahan penulisan atau typo atau apapun ituu, komen yaa, biar bisaa aku perbaikinn secepaatnyaa🙏
Makasiih😊
KAMU SEDANG MEMBACA
120 Lembar [Completed]
Romance[The WattysID 2018 Longlist] [This story has been revised] Ini diary-ku. Kalau ada yang nemuin, tolong dikembaliin yaa:) Isinya gak penting kok buat kalian. Tapi ... Ini penting buat aku. Ini semua tentang dia. Hanya tentang dia. Dia ... yang aku sa...