📒 1 📒

5.4K 394 185
                                    

Bersama denganmu, merupakan suatu ilusi yang selalu kuharap jadi nyata.

***

11 September 2016
07:30 A.M

Jalan raya itu terlihat mengilap. Basah akibat hujan deras semalam, yang sampai sekarang masih menyisakan rintik-rintiknya. Aroma petrikor masih tercium jelas, memberi kesejukan tersendiri untuk orang yang sedang berlalu-lalang pagi ini.

Hujan.

Lagi-lagi hujan.

Seorang lelaki dengan pakaian rapi terbalut snelli terlihat berjalan menutup gorden putih di jendela yang cukup besar, di sebuah kamar.

Ia tidak suka hujan.

Hujan hanya membawa kerugian, pikirnya. Ia bahkan heran dengan orang-orang yang menyukai hujan. Apa yang diharapkan orang-orang itu dari sebuah air yang membawa rasa dingin, memberi kegelapan dan menciptakan keributan?

Lelaki itu kembali duduk di samping seorang pasien yang belum membuka mata sejak beberapa hari lalu. Pernapasannya masih dibantu sebuah ventilator, infus masih melekat rapi di tangannya, serta elektrokardiograf yang masih aktif mendeteksi detak jantungnya.

"Bangun, deh," bisiknya. Lelaki itu tersenyum seraya mengusap pelan puncak kepala pasien itu.

"Tidur kelamaan nggak baik, loh." Kali ini tak bisa dipungkiri, senyum di bibir itu bergetar. Terdengar isakan pelan. Air matanya terjatuh setetes. Ia menggenggam perlahan tangan seorang perempuan yang sedang terbaring di sana. "Atau ... kamu lagi capek banget, ya?"

Sunyi. Ia rasanya hanya bermonolog ria. Semuanya terasa sia-sia sekarang, penyesalan benar-benar menguasai, sedang waktu tidak akan pernah memutar kembali.

Lelaki itu tersenyum lembut, merenggangkan genggamannya. "Ya udah tidur aja, deh. Tapi jangan kelamaan, ya, nanti aku rindu," ucapnya lembut.

Selang beberapa menit di sana, lelaki itu memilih bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah luar ruangan. Perlahan, langkahnya terhenti tepat setelah ia menutup pintu kamar itu.

"Karel?"

Lelaki itu refleks membeku di tempatnya, kaku. Ia tidak menyangka akan mendengar suara itu saat ini, kemarin-kemarin ia tidak pernah seolah dipergoki seperti ini.

Itu suara ayahnya.

Ayah kandungnya.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya lelaki itu, tanpa berbalik ke arah seseorang yang memanggilnya. Sudut bibirnya tertarik, menampilkan smirk sekilas.

Hening beberapa detik.

Suhu yang memang sudah rendah akibat hujan ini, seketika rasanya semakin rendah. Ada secercah rasa nyeri yang mendominasi suasana. Sakitkah bagi seorang ayah yang mendengar panggilan itu? Jelas, anak kandungnya sendiri, bahkan hanya menganggapnya sebagai seorang penjenguk biasa.

Tapi hubungan darah memang tak bisa dimanipulasi bagaimanapun caranya. Bukan hanya pria itu yang terluka, melainkan anaknya juga. Ia seolah melempar bumerang ke arah pria itu, yang kemudian tetap saja kembali ke dirinya sendiri. Perih dan sakit pasti tetap terasa.

"Karel," ujar pria berumur sekitaran 50 tahun itu, dengan kelembutan bak seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya. Langkahnya terdengar mendekat ke arah seorang lelaki yang masih mematung depan pintu kamar pasien.

Pria tersebut tersenyum ramah setelah berdiri tepat di samping anaknya, yang telah lama tidak ia lihat sedekat ini. "Kamu ... sayang sama pasien di kamar itu?"

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang