📒 20 📒

1K 87 2
                                    

Aku tidak pernah membayangkan bahwa mimpi buruk ini akan benar-benar terjadi.

•••

Sebuah brangkar terlihat didorong oleh beberapa dokter menuju ruang operasi. Ini merupakan operasi dengan risiko yang cukup besar. Sehingga dokter-dokter yang masuk ke dalam merupakan beberapa ahli bedah yang juga ahli di bidang jantung.

Pintu ruang operasi tertutup otomatis setelah para dokter dan beberapa orang perawat masuk ke dalam. Membiarkan para keluarga dan kerabat pasien menunggu di luar.

Seorang ahli anestesi terlihat menyuntikkan cairan ke seseorang yang berbaring di sana. Membuat pasien tersebut sedikit demi sedikit mulai kehilangan kesadaran.

Di detik-detik hilangnya kesadaran dalam diri Rani, entah kenapa air matanya refleks jatuh. Ia terbayang akan suatu hal yang semoga saja tidak terjadi. Ia menghirup dan mengembuskan napas tenang, berusaha menghilangkan semua prasangka buruk yang berputar dalam kepalanya.

Tapi mau dihapus bagaimanapun, tetap saja hanya satu nama yang terus berputar di kepalanya saat itu.

Karel.

Di mana dia? Bukankah baiknya ia ada di saat-saat seperti ini untuk Rani? Menemaninya di detik-detik perjalanan hidupnya melewati sebuah jembatan yang memisahkan antara hidup dan mati.

Biusan tadi terasa semakin bereaksi, Rani semakin lemah, pandangan matanya mulai tertutup saat dirinya mulai gelisah menyusuri ruangan, mencari lelaki yang entah kenapa tiba-tiba terpikir sangat kuat dalam otaknya.

Perlahan, penglihatan Rani semakin memudar. Semakin gelap, kemudian terpejam.

📒📒📒

Beberapa hari kemudian.

Tetesan air terlihat berjatuhan di kaca jendela kamar rumah sakit. Embun yang tadinya menghalangi pandangan melalui kaca itu, seketika lenyap, berjatuhan bersama butir-butir air yang mulai menetes akibat mentari yang terlihat bersinar kembali.

Seorang pasien tengah terbaring di sana. Sesuai perkiraan dokter, ia akan membuka mata sekitaran enam atau tujuh hari lagi. Dan sekarang sudah hari ke enam.

Semua wajah menatap dengan ekspresi yang sama, harap-harap cemas.

Ibu dan ayah Rani bergenggaman tangan, saling menyalurkan kekuatan. Begitupun dengan Alya yang ikut menatap cemas ke arah Rani, berharap sahabatnya itu bisa sadar secepatnya.

Tetesan embun tadi terlihat semakin berjatuhan, sinar mentari semakin cerah menandakan hari sudah mulai siang. Butiran air tadi terlihat menetes membasahi daun-daun di sebuah pot bunga plastik depan balkon.

Perlahan, jari tangan kanan Rani bergerak, disusul kelopak matanya yang terlihat bergerak sedikit.

Ana dan Aflian tersenyum senang melihat pergerakan itu. Begitupun dengan Alya yang seketika tersenyum senang melihatnya. Mereka bertiga segera melangkah mendekat ke arah Rani.

Dengan gerakan sangat pelan, mata itu terbuka. Manik mata perempuan itu terlihat mengedar dengan gerakan lambat, memperhatikan setiap orang yang ada di sana. Mulutnya terbuka perlahan, mengucapkan sebuah nama yang entah kenapa jadi kata pertama yang ia keluarkan setelah sadar.

"Ka ... rel." Rani berucap dengan sangat pelan.

Aflian menunduk mendengar nama itu dengan jelas. Bukan hanya dirinya, dua orang lainnya yang berada di sana juga seketika mengalihkan pandangan. Entah ada apa dengan mereka.

"Karel?"

Kata ke dua pun masih tetap sama. Manik mata Rani mengedar ke setiap sisi ruangan, mencari lelaki itu. Berharap ia sedang ada di sana, atau sedang menyiapkan kejutan untuk Rani. Tapi hasilnya nihil, lelaki itu tidak ada di sana.

Sebutir air mata lolos menetes membasahi wajah Rani. Ia menutup matanya dalam-dalam, entah kenapa rasanya perih. Berbagai pemikiran buruk seketika berputar di dalam kepalanya. Belum lagi karena orang-orang di sana hanya terdiam seolah ada sesuatu, yang menjadi rahasia mereka sendiri.

"Al?" Rani berusaha menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyum ke arah Alya. Kemudian melanjutkan ucapannya. "Karel mana?"

Alya refleks menunduk, tidak berani menatap balik sahabatnya.

Entah apa yang mereka sembunyikan, hal itu hanya membuat pemikiran buruk dalam kepala Rani semakin senang berputar-putar di sana.

"Mah?" Kali ini Rani menatap ibunya dengan mata yang berair, nadanya terdengar sedikit merengek, berharap ibunya akan memberikan jawaban atas pertanyaannya.

Melihat ibunya yang juga diam, Rani mencengkeram erat seprai di kasurnya. Kalau saja ia tidak selemah ini, perempuan itu akan segera bangkit menyusuri tiap ruangan di rumah sakit ini. Untuk mencari lelaki itu, pastinya.

Tapi sayang, jangankan untuk berdiri dan berjalan menyusuri rumah sakit, untuk bangun saja rasanya masih sulit. Hanya butiran air matanya yang seolah mengisyaratkan kerinduannya pada lelaki itu. Entah di mana lagi ia sekarang.

"Rani." Aflian mengusap pelan puncak kepala Rani, ia tersenyum lembut memberi kekuatan pada anaknya.

"Kamu ... udah bisa nari lagi, udah bisa ke kampus lagi, udah bisa ngapa-ngapain lagi." Aflian tersenyum lembut menatap ke arah Rani. Ia terlihat berusaha mengalihkan topik yang membuat nuansa kamar terasa hening sejak tadi.

Mendengar hal itu, Rani harusnya tersenyum senang, tetapi ia justru menangis. Entah kenapa terasa agak sakit melihat ayahnya seolah memberikan senyum palsu di sana. Padahal tersirat jelas kesedihan dari senyumnya, tapi ia tidak tahu kesedihan karena apa itu.

Menyadari kebohongannya yang terasa sia-sia, ia memilih menunduk, menghapus pelan air yang berhasil menetes membasahi pipinya.

Perlahan, tangan pria itu terulur merogoh kantong celananya. Ia mengeluarkan secarik kertas yang dilipat menjadi segiempat, kemudian menyodorkannya pelan ke arah Rani.

"Titipan surat dari seseorang," ucap Aflian pelan. Ia memasukkan surat itu ke dalam tas biru kecil milik Rani yang ada di atas meja samping kasur tempat tidurnya.

Hening seketika.

"Tapi ...." Aflian menjeda sejenak ucapannya, kemudian melanjutkannya kembali. "Kamu cuma boleh buka itu pas kamu udah dibolehin pulang di rumah."

Rani mengangguk lemah mendengarnya. Tetesan air matanya masih menetes pelan.

Aflian mendekat kembali ke arah Rani, memeluk anaknya yang masih terbaring di sana, kemudian mengecup pelan keningnya. Kemudian menatap Rani tepat di manik mata. Keseriusan tergambar jelas dari tatapannya. Pria itu tersenyum lirih setelahnya. "Karel masih di sini kok, dia tetap bersama kamu. Selalu."

📒📒📒

:'(

Jangan lupa vote + komen yaa ❣️

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang