📒 17 📒

994 89 2
                                    

Ibarat serpihan kaca yang telah pecah. Tidak bisa disatukan lagi, bukan?

•••

Suasana aula terlihat dipenuhi para pemain musik yang sedang berlatih di sana. Terdengar lantunan biola mengalun lembut menjadi awalan pembuka musik, si pemain musik terlihat memejamkan perlahan matanya, menghayati permainan itu.

Rani terlihat berusaha mempraktekkan gerakan tarinya sendiri, di depan sebuah kaca besar yang merupakan tempat tersendiri untuk latihan tari. Tapi sayang, meskipun ia mengulangi gerakannya beberapa kali, ia selalu lupa di bagian tengahnya, atau ada gerakan yang seketika salah.

Setelah beberapa kali berusaha dan masih salah juga, Rani memilih berjalan lemas ke arah kursi-kursi panjang, duduk di sana. Ia terlihat melamun.

Seorang lelaki terlihat mendekat ke arah Rani, duduk di samping perempuan itu. "Kamu ... lagi ada masalah?"

Rani masih diam. Ia bahkan seolah tidak mendengar apa-apa, pandangannya kosong. Hingga Alvin menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Rani. Membuat perempuan itu seketika tersentak. "K-kak Karel!"

Rani menunduk, menyadari bahwa ia sudah tidak mungkin berada di samping lelaki itu. Samar-samar, Alvin tersenyum miring, seolah mengerti sedikit permasalahan Rani. "Kamu ... ada masalah sama Karel?"

Rani hanya mengangguk lemah, ia bahkan sangat tidak ingin menyadari akar masalah ini. Ia selalu berharap semua yang terjadi saat itu hanyalah sekadar mimpi buruk yang akan hilang saat ia bangun.

Tapi sayang, ini kenyataannya, dan tidak akan hilang dengan semudah itu.

Melihat itu, Alvin tersenyum lembut. Berusaha memahami meskipun ia masih belum tahu akar permasalahannya. "Sabar, Ran. Masalah datang dalam suatu hubungan itu biasa kok, aku yakin kamu bisa lewatin."

Rani mengangguk lemas, berusaha tersenyum. Meskipun dalam hati, ia jelas tidak setuju dengan hal itu.

Ini sebuah masalah yang penyelesaiannya cuma bisa dilakukan dengan satu cara.

Mengakhiri.

Rani benci itu. Ia benci perpisahan. Apalagi dengan orang yang tidak akan bisa ia jauhi. Dan Karel hanya mengatakan, bahwa seperti itulah siklusnya. Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Tapi setidaknya, harus ada alasan kenapa siklus itu dapat terbentuk, tidak mungkin terjadi dengan sendirinya.

Rani memilih diam, menikmati alunan musik yang menggema memenuhi aula. Meskipun bunyinya terdengar hampa di telinga Rani, ia tidak mendengar nada apa pun di sana. Hancur. Menyamai suasana hatinya.

📒📒📒

Februari 2016

Rani terlihat berjalan sendirian menyusuri koridor yang selalu ramai ini. Dari kejauhan, ia melihat Alvin. Lelaki itu tersenyum seperti biasa ke arah Rani. Ia berjalan mendekat. "Hai, Ran. Udah baikan?"

"Ya gitulah, Kak." Tanpa diperjelas maksudnya pun, Rani sudah bisa mengerti arti pertanyaan itu. Ia tersenyum samar.

"Ya udah, aku ke sana dulu." Alvin menepuk pelan pundak Rani dan berlalu melewatinya, ia terlihat berhenti untuk berbicara dengan orang lain.

Rani menatapnya. Alvin terlihat sibuk berbicara dengan seseorang yang sepertinya merupakan anggota dari UKM seni. Rani kembali berbalik, ingin berjalan menuju kantin, namun langkahnya seketika terhenti, melihat seorang lelaki yang berjalan ke arahnya.

Ralat, bukan ke arahnya. Melainkan ke arah lain tapi melewati Rani. Membuat perempuan itu seketika beku, melihat wajah seseorang, yang sangat ia rindukan. Entah sampai kapan rindunya akan terbalas dan menemukan penyelesaian.

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang