Desember 2016
Seorang pria terlihat memasuki sebuah ruangan. Ia tersenyum melihat anaknya yang sudah cukup sukses meraih cita-citanya di sana. Kebanggaan tersendiri pastinya dirasa oleh orang tua itu.
Karel tersenyum melihat kedatangan ayahnya, ia menghentikan sejenak kegiatan menulisnya. Kemudian tatapannya berubah heran melihat sebuah map cokelat yang ikut dibawa ayahnya. Pria itu duduk di kursi depan Karel yang diantarai sebuah meja.
Aflian meletakkan map cokelat itu di atas meja. Pria itu terlihat menghirup dan mengembuskan napas beberapa kali, terlihat agak sulit untuk mengatakan sesuatu. Namun bagaimanapun, ia harus mengatakannya.
"Kamu ... sayang sama Rani?"
Pandangan Karel seketika beralih menatap pria itu, heran dengan pertanyaannya. Ia hanya diam, bingung harus memberi jawaban seperti apa. Menjawab tidak? Salah, menjawab iya lebih salah lagi.
"Bapak bawa berita menyenangkan. Tapi ...." Aflian menjeda sejenak ucapannya, tangannya tergerak pelan menyodorkan map tersebut ke arah Karel. Membuat lelaki itu lagi-lagi memberikan tatapan heran.
Pria itu tersenyum lembut menatap Karel. Ia meneguk liurnya beberapa kali, entah kenapa ia terlihat sangat sulit mengatakannya. "Semuanya pasti butuh pengorbanan ...."
Karel terdiam, menunggu ucapan selanjutnya dari ayahnya. Tangannya terulur mengambil sebuah map yang disodorkan di depannya. Perlahan, ia membukanya.
"Ini ... demi Rani." Pria itu melanjutkan ucapannya. Ia menunduk pelan, kemudian kembali menatap ke arah anaknya. Dengan tatapan memohon, ia melanjutkan ucapannya.
"Papa dapat donor jantung yang pas untuk Rani. Kamu nggak perlu berkorban dalam hal itu untuk dia."
Karel terdiam menatap ayahnya. Ternyata pria itu sudah tahu kalau Karel ikut tes kecocokan donor itu.
"Tapi ... tolong bantu Rani membuka hatinya untuk orang lain." Kalimat terakhir itu jelas membuat Karel mengerutkan keningnya, bagaimana pula caranya melakukan hal itu?
"Kamu ... bisa pulang ke rumah asal ibu kamu di Australi, papa yang urus semuanya, surat pindah dan yang lainnya. Tapi ...." Aflian menjeda sejenak ucapannya, ia terlihat gelisah menatap kanan-kirinya, sepertinya cukup berat untuk mengatakan kalimat selanjutnya.
Karel memicingkan matanya, was-was menunggu kalimat selanjutnya.
"Tolong." Aflian terlihat memohon dengan sungguh-sungguh. "Ini demi kalian berdua. Jangan temui dia untuk beberapa bulan terakhir ini, biarin dia membuka hati untuk orang lain. Dan ...."
Aflian meneguk air liurnya beberapa kali, ia cukup kesulitan mengatakannya. "Berpura-puralah, kamu yang mendonorkannya."
Karel masih diam. Ini cukup sulit. Berbohong, untuk orang yang ia sayang. Ia juga tidak bisa memperkirakan, akan tahan untuk tidak bertemu dengan perempuan itu. Tapi bagaimanapun, inilah yang terbaik. Ia pasti tahu, hubungan dengan keluarga dekat itu tidak sehat.
"Setidaknya dengan alasan itu, Rani tidak akan mencari kamu dalam waktu dekat ini. Dia ... bisa saja menjatuhkan cintanya pada orang lain."
📒📒📒📒📒📒
Juli 2017
Karel terlihat menatap ke arah air di bawah jembatan itu. wajahnya terlihat sangat tenang. Lelaki itu sudah menceritakan semuanya. Perlahan, pandangannya beralih ke arah Rani yang masih berdiri di sampingnya, ikut melihat ke arah air-air yang sangat tenang di bawah.
Rani berbalik perlahan ke arah lelaki di sampingnya. Senyumnya seketika mengembang, ia senang. Ternyata ia masih bisa melihat Karel berdiri di sampingnya. Rani menatap ke arah Karel, tepat di manik mata.
Mereka saling bertatap. Membiarkan kedua sorot mata itu saling memantulkan sinar kebahagiaannya. Refleks setetes air jatuh membasahi pipi Rani. Perempuan itu menangis, tapi ia juga tersenyum senang. Ia menunduk perlahan, kemudian kembali menatap lelaki yang sangat ia rindukan itu.
Sebuah tisu kembali terlihat di depan Rani. Membuat perempuan itu seketika tersenyum ke arah Karel. "Kamu bohong."
"Bohong?"
Rani mengangguk semangat. "Kamu bilang udah nggak bisa ngasih tisu lagi."
Karel hanya tersenyum miring seraya menggeleng pelan. Pandangannya kembali mengarah ke perairan di bawah sana.
"Kamu gak niat beli buku diary lagi, Ran?" tanya lelaki itu, terdengar asal. Mungkin ia mengingat kalau buku diary Rani sudah penuh dulu.
"Niat dong!" Rani menjawab dengan semangat. Kali ini mereka benar-benar terlihat seperti kakak-adik yang sangat akrab.
"Kali ini berapa lembar?"
Rani terlihat berpikir beberapa detik, kemudian kembali menjawabnya dengan senyum mengembang. "Sama."
"Sama?" Karel seketika menatap ke arah perempuan itu, mempertanyakan kejelasannya.
Rani mengangguk mantap. Perlahan, pandangannya menatap ke arah Karel. Senyum perempuan itu mengembang. Ia kembali terlihat tenang seperti dulu, kecerahan tergambar jelas di wajahnya. Ia menjawab dengan mantap.
"120 Lembar."
Langit mulai terlihat gelap, lampu-lampu jalan mulai saling berlomba-lomba menerangi kota yang indah ini. Pantulan cahayanya terlihat menerangi perairan di bawah jembatan sana. Seolah menerangi dua orang kakak-beradik yang saling tersenyum memancarkan sorot bahagia di sana.
📒
📒
📒
Sudah kubilang di awal, bukan? Itu semua hanya sekadar ilusi yang dia harap jadi nyata.
Hanya sekadar ilusi.
Sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud.
Sampai kapanpun, tidak akan pernah dan tidak akan bisa menyatu.
📒
📒
📒
📒
📒
120 Lembar
TAMAT
(01/07/2018)REVISI
(18/05/2021)
KAMU SEDANG MEMBACA
120 Lembar [Completed]
Romance[The WattysID 2018 Longlist] [This story has been revised] Ini diary-ku. Kalau ada yang nemuin, tolong dikembaliin yaa:) Isinya gak penting kok buat kalian. Tapi ... Ini penting buat aku. Ini semua tentang dia. Hanya tentang dia. Dia ... yang aku sa...