📒 6 📒

1.2K 139 5
                                    

Karena selalu ada alasan seseorang menjauh, sekalipun dari sesuatu yang ia suka. Contohnya orang-orang yang menyukai hujan, tapi justru menghindar saat hujan menghampirinya.

•••

Beberapa orang terlihat berlarian berteduh, ada yang berlari menuju halte, ataupun bangunan yang kanopinya memanjang jauh ke depan.

Rani yang memang sedari tadi duduk di sudut kafe, hanya terdiam menatap butiran air hujan yang seketika membuat orang berlarian. Rani tersenyum heran.

Katanya suka hujan. Dihampiri hujan kenapa malah lari?

Rani membuka sebuah buku diary kecil yang akhir-akhir ini selalu ia bawa. Ia menuliskan sesuatu di sana. Samar-samar, ingatannya membawanya kembali ke saat-saat kemarin. Entah, ia masih bingung dengan perasaannya. Perasaan yang bahkan tidak pantas ia rasakan.

Lamunannya seketika disadarkan oleh suara pintu kaca kafe yang terbuka. Seorang lelaki memasuki kafe ini. Ia terlihat berjalan menuju kasir tempat pemesanan. Rani menatap lelaki itu beberapa detik, ada secercah ketenangan yang ia rasa seketika.

Lelaki itu berbalik. Tidak sengaja, tatapannya melihat ke arah Rani. Tak disangka-sangka, lelaki itu berjalan mendekati Rani. Entah apa gunanya, Rani terlihat merapikan rambutnya dan bercermin beberapa detik di kaca ponselnya. Padahal lelaki tadi terlihat tidak peduli sama sekali.

Karel menduduki kursi di depan Rani, ia menatap ke arah luar jendela, memperhatikan hujan. Selang beberapa menit, hanya sunyi yang mendominasi suasana, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya.

Rani mengembuskan napas pelan. Ia berusaha mengajak lelaki di depannya untuk berbincang, meskipun kemungkinan ia membalasnya hanya sedikit. "Lucu ya, Kak."

Karel tidak menjawab, ia hanya menaikkan satu alisnya, menatap ke arah Rani.

"Banyak orang yang bilang suka sama hujan. Tapi didatangin hujan, mereka malah lari." Rani mengulum senyum, ia menahan tawa, yang mungkin hanya dirinya sendiri yang menganggapnya lucu.

Selang beberapa detik, Karel tersenyum miring mendengarnya. Sepertinya ia tidak memiliki keinginan untuk menanggapinya. Lelaki itu tetap diam setelahnya.

Di luar kafe, terlihat seorang anak kecil, dengan pakaian compang-camping, membawa sekarung sampah, sedang dipeluk erat oleh ayahnya, yang juga berpenampilan seperti anak itu.

"Gue iri liat anak itu."

Ucapan yang terdengar mustahil keluar dari mulut seorang Karel. Rani berpikir sejenak, untuk apa lelaki itu iri? Toh dia hidup bergelimang harta, terlihat dari mobil mewah Ferrari yang selalu ia bawa ke kampus. Ia juga pintar, punya wajah yang jelas di atas rata-rata. Lalu apa yang membuatnya iri?

"Iri? Kak Karel punya banyak uang."

Karel seketika beralih menatap Rani. Ia menaikkan satu alisnya, menunggu perempuan itu melanjutkan ucapannya.

"Kan ... bisa beli baju, beli mobil mewah, ada rumah bagus, jadi nggak perlu kehujanan kayak mereka, trus bis—"

"Cariin gue orang yang jual kasih sayang dari kedua orangtua," tandasnya. Lelaki itu menjeda sejenak ucapannya, menatap Rani tepat di manik mata. Membiarkan kedua mata itu saling memantulkan sinarnya. "Bakal gue beli berapapun harganya."

Melihat Rani masih terdiam, Karel melanjutkan ucapannya, dengan senyum miring yang lagi-lagi menghiasi wajah tampan lelaki itu. "Nggak ada, kan?"

Rani tertegun. Ucapan-ucapan lelaki ini seolah berasal dari perasaannya yang paling dalam, mustahil untuk menyanggah pendapatnya. Tanpa sadar, ia seperti sedang meluapkan kekesalannya sendiri.

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang