📒 19 📒

1K 83 9
                                    

Jika memang begitulah solusi satu-satunya, mungkin lebih baik jika tidak perlu ada solusi satu pun.

•••

Desember 2016

Rani terlihat memainkan ponselnya seraya duduk di atas tempat tidurnya. Masih sama seperti kemarin-kemarin. Ia terlihat berpikir lama untuk menemukan kata-kata yang pas untuk dikirimkan ke lelaki itu. Tapi bukannya dikirim, pesan itu justru dihapus kembali.

Bahkan setelah mereka bertemu beberapa hari lalu, rasa rindu itu tetaplah ada. Rasanya Rani ingin sekali mengirimi Karel sebuah pesan. Tapi sepertinya gengsi dan emosi dalam dirinya justru semakin kuat untuk melarangnya melakukan itu.

Tapi bagaimanapun, Rani memang tidak bisa marah pada lelaki itu. Mungkin bisa tapi hanya sebentar. Dan setelahnya, perasaannya akan ikut sakit.

Setelah cukup lama terdiam, Rani pasrah. Ia kembali mematikan ponselnya dan meletakkannya di atas meja kecil di sampingnya.

Perempuan itu berniat membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tapi seketika terhenti setelah mendengar derit pintu kamarnya terbuka.

Seorang suster terlihat mendorong sebuah meja-meja dengan roda di bagian bawahnya. Di atasnya terdapat obat-obatan dan satu suntikan beserta sebuah jarum yang belum terbuka dari plastiknya.

Perlahan, Rani bangkit dari tidurnya. Duduk tegak di atas kasurnya, kemudian melemparkan senyum manis ke arah suster itu, pastinya ia ingin mengetes kesehatan Rani.

Suster itu terlihat keluar, ia sepertinya ada urusan tiba-tiba.

Perempuan itu tersenyum manis dan penuh semangat, karena ini demi kesembuhannya.

Ia masih tersenyum seraya menunggu siapa yang akan mengetes kesehatan dan memberinya obat seperti biasa. Tapi senyumnya seketika memudar saat melihat seorang dokter yang memasuki kamar Rani.

Karel.

Seorang lelaki yang dulunya memegang kunci ketenangan dalam hidup Rani. Entah kalau sekarang. Rasanya ketenangan itu sudah tertimbun jauh oleh emosi yang diciptakan lelaki itu sendiri.

Tatapan Rani berubah seketika. Kecerahan di wajahnya seketika redup, setelah melihat ke arah seorang dokter yang berjalan mendekat itu. Lelaki itu menghampiri meja-meja tempat obat tadi. Ia terlihat fokus dan telaten memasang jarum baru ke suntikan itu.

Rani mengalihkan pandangannya, deru napasnya seketika naik turun melihat lelaki itu. Tangannya refleks meremas selimut yang ada di atas kasurnya.

Setelah jarum itu benar-benar terpasang di suntikannya, Karel berjalan mendekat ke arah Rani. Perlahan, tangannya terulur untuk menyentuh perempuan itu. Tapi seolah balas dendam, Rani menepisnya dengan keras, membuat suntikan itu terhempas cukup jauh.

Melihat hal itu, Karel menatap Rani dengan tatapan serius. Membuat perempuan itu seketika mengalihkan pandangannya, tidak berani juga melihat tatapan itu.

Karel mengembuskan napas pelan. Ia kembali mengambil jarum lain, kemudian kembali memasangnya di suntikan itu. Namun lagi-lagi, setelah suntikan itu diarahkan pada Rani, perempuan itu menepisnya dengan kasar.

Karel masih berusaha tenang. Ia kembali mengganti jarum suntikan itu untuk yang ke tiga kalinya. Hingga ia ingin menyuntikkan cairan itu, lagi-lagi ditepis keras oleh Rani. Membuat Karel seketika menatap tajam ke arah Rani.

"Ran! Kalo benci sama seseorang jangan lampiasin di saat-saat kayak gini." Tatapan lelaki itu melembut. Melihat Rani yang hanya diam saja, ia kembali melanjutkan ucapannya dengan nada yang lebih halus. "Soalnya ini demi kesehatan kamu--"

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang