📒 8 📒

1.3K 119 9
                                    

Kau mematahkannya, kemudian memperbaikinya kembali. Tunggu, jadi maunya apa?

•••

Kurang ajar.

Hujan bahkan tidak tahu diri, harusnya ia mencari waktu yang tepat untuk jatuh. Hanya tahu jatuh, tanpa peduli bahwa tidak semua orangmenunggu kedatangannya.

Hujan seperti cinta.

Jatuh semaunya, tanpa peduli bahwa tidak semua orang menunggu kedatangannya.

Rani memilih berteduh di kafe seperti beberapa hari lalu. Tetapi kali ini hanya di luar, tidak masuk ke dalam.

Rani terdiam sejenak, ia memperhatikan air hujan pagi ini yang berjatuhan melalui atap-atap rumah. ia memejamkan matanya perlahan. Lagi-lagi, air matanya serasa ingin jatuh begitu saja. Rani tidak ingin terlihat menangis di sana. Apa lebih baik ia menerobos hujan saja? Agar setidaknya orang-orang hanya menganggap pipinya dibasahi air hujan, bukan air mata.

Rani mulai melangkahkan kakinya ke luar area kafe, membiarkan dinginnya air hujan mulai mengenai kulitnya. Ia tidak ingin peduli dengan tatapan orang-orang yang menganggapnya aneh, karena ingin berjalan di tengah hujan.

Rani memejamkan matanya perlahan.

Selang beberapa detik, ia membuka kembali matanya, menyadari satu hal. Air hujan bahkan tidak lagi menyentuh bajunya sedikitpun. Rani mengerutkan keningnya, ia terlihat berpikir sejenak.

Perlahan, ia menengadah ke atas. Membiarkan pandangannya fokus mengarah ke atas kepalanya.

Membuatnya seketika menyadari satu hal. Ada sebuah payung biru di sana.

Rani sontak terdiam. Menatap ke arah payung biru di atasnya. Memperhatikan butiran air yang jatuh deras melalui besi kecil yang membentuk rusuk payung itu.

"Lo emang gila."

Rani tertegun mendengar suara itu. Suara yang sepertinya sangat mustahil ia dengar saat ini. Ia mencubit lengannya, kemudian mengaduh sendiri. Sakit. Tandanya, ini bukan mimpi.

Rani masih kurang yakin. Ia segera berbalik ke arah belakang dan pandangannya segera dihadapkan dengan sebuah tatapan yang selalu mampu membuatnya tenang.

"Tapi nggak tahu kenapa ... gue suka."

Rani masih diam menatap mata itu. Otaknya masih belum bisa memproses dengan cepat maksud lelaki itu. Ia seolah masih di tengah keputusan apakah ini memang nyata atau hanya sekadar ilusi yang dipaksa jadi nyata oleh otaknya.

Rani meneguk liurnya. Ia tidak ingin ini berakhir. Seandainya bisa, ia sangat ingin menghentikan waktu di sini saja.

Karel berdecak kesal melihat Rani yang hanya melamun. "Lo mau berdiri di situ terus? Pegang payung sendiri, nih!"

Lelaki itu berbalik masuk ke arah kafe. Rani refleks mengikutinya. Ia tersentak mundur ketika Karel tiba-tiba berbalik memberinya beberapa lembar tisu.

Rani diam menatap lelaki itu. Kemudian dengan gerakan lambat, tangannya terulur untuk mengambil tisu itu. Ia baru menyadari, rambut dan wajahnya agak basah. Tapi ... apa itu maksudnya Karel sudah menyadarinya dari tadi? Entahlah, Rani sudah tidak ingin berprasangka terlalu baik pada lelaki itu.

Efek grogi, Rani membersihkan asal rambut dan wajahnya. Membuat bekas tisu terlihat berserakan di sana. Hingga terdengar decak sebal dari lelaki itu.

"Lo bisa nggak sih ngelakuin sesuatu dengan bener?!"

Rani seketika menurunkan kedua tangannya, ia terdiam. Tidak lagi membersihkan rambutnya. Entah kenapa kalau Karel yang membentaknya, ia bisa langsung membeku di tempat. Apa ini efek dari cinta? Ah, Efek cinta memang melelahkan.

120 Lembar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang