Th

458 29 0
                                    

HANCUR

Liuna

Aku masih berdiam diri di depan cermin panjang yang memantulkan diriku sudah berseragam rapi, rambut yang terikat dengan poni pendek tapi di kedua sisinya mulai panjang, ah, aku harus potong rambut lagi. Sejenak aku lupa apa yang kurang tapi kemudian sadar karena aku lupa memakai kacamata bulatku.

“UNAA!" itu suara toa yang rusak; Kak Lesha.

“Iya ...!" aku mulai melangkah, menuruni beberapa anak tangga, sampai suara yang khas terdengar di telingaku.

“Hati-hati turunnya."

Aku terhenti dan mendongak, terkejut sekaligus takut, seharusnya bukan itu tapi rasa takut menyambar dadaku lebih dulu, bahkan tanganku mulai mencengkeram pegangan tangga sambil gemetaran. Aku berusaha mengontrol napasku juga.

Seharusnya ini jadi hari bahagia bagiku, bertemu dengan Abang Zac.

Abang Zac tersenyum pahit di sana, aku melihat kesedihan jelas di matanya, “Una cantik, masih fobia sama Abang, ya?"

Aku menggeleng dan berusaha tersenyum sambil menuruni anak tangga, berharap bisa melawan rasa takut ini. Tanganku merentang dan mulai memeluk Abang Zac, meski gemetaran dan masih tersisa rasa takut.

Dia mengelus puncak kepalaku sebentar, “Ya udah, kita langsung duduk aja, yuk!" ajak dia tanpa merangkul atau menggenggam tanganku.

Seharusnya ini menjadi pagi yang bahagia, karena kakak-kakakku telah kembali ke rumah. Kak Lesha yang berkuliah di Boston kembali beberapa minggu lalu dan sekarang, Kak Zac selesai menjalani tugas militernya, gak tahu kapan dia akan dipanggil lagi.

“Tapi Una udah berani meluk Bang Zac, berarti ada peningkatan ...!" sahut Kak Lesha sambil tersenyum lebar padaku juga Abang Zac, Umma juga, seakan-akan mereka memberi semangat padaku.

Aku pun tersenyum dengan hati yang masih tersayat. Suasana pagi ini yang telah lama kurindukan, meski berkurang satu, bukan berarti suasana hati yang berantakan seperti ini yang kuinginkan.

Apa Papa di sana sedih lihat keluarga kita begini? Coba aja Liuna seperti Kak Lesha yang pemberaniㅡaduh, kayaknya Liuna lupa bersyukur.

ㅇㅇㅇ

Altan

Selagi nunggu bidadari gue, gue tiduran di kursi panjang sekolah sambil gambar sesuatu di sketchbook gue. Nih buku hampir terlantar gara-gara gue malas gambar lagi. Sekarang gue lebih suka nari dan main piano, terus gitar akustik gue harus terlantar sekarang.

Niat awal gue tiduran di sini itu buat nunggu Liuna, gue bakal ngejar dia kali ini. Gue bakal bertanggung jawab dan menyatakan perasaan gue.

Kali ini gue mau blak-blakan, ogah pakai kode lagi.

Pas banget, bidadari tak bersayap gue masuk ke gerbang sekolah yang laknat, seharusnya cewek cantik kayak dia gak pantas sekolah di sini. Pantasnya tuh di kayangan.

“Gila, jantung gue." gue lebay kali ini, tangan gue menekan dada. Rasanya dag dig dug gitu.

Malas bertele-tele, gue langsung tancap gas mengikuti Liuna. Don't worry, sok inggris gue. Liuna gak bakal sadar kalau dia lagi diikuti, gue tau dari riwayat pengalaman gue mengikuti dia. Gue jaga dia dari jauh.

Altan PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang