Tht

233 20 1
                                    

WORRIED TO HURTED

“'Cause I'm a loner, it doesn't mean I'm lonely."

ㅡ Altan Phobia

🎼🎼

Malam tidak berarti bahagia bagi Altan, karena setiap malam yang dia geluti hanya bersama kesepian. Kadang kala bersama nada tuts-tuts piano atau mungkin dawai-dawai gitar akustiknya. Butuh keteguhan hati untuk menikmati malam seperti Altan.

Seperti biasa setelah makan malam-masakannya sendiri, Altan duduk di kursi gantung, menyanjung udara malam dari balkon apartemen. Tidak lupa, gitar akustik dalam pelukan. Sesekali jemari jenjangnya memetik dawai dengan lihai, dan terdengarlah alunan melodi yang tidak luput dari kata indah.

There's no way to sing this song, about someone else." sepenggal lirik dari sebuah lagu milik Cody Simpson yang berjudul La Da Dee mengalun begitu saja dari bibir Altan.

Altan berhenti, lalu dia menghela napasnya, “Lo gak bosen, ya, nari-nari di pikiran gue terus?"

Butuh waktu lama untuk melupakan kesalahan terbesar yang dia lakukan dalam hidupnya. Butuh waktu lama untuk memaafkan dirinya yang penuh penebusan dosa. Juga, butuh waktu lama untuk menjauhkan gadis itu dari benaknya.

Kenapa gadis itu kembali selalu menjadi pertanyaan dari skenario Tuhan untuk Altan. Sehingga dia harus menebus segalanya, sekarang atau tetap dalam kubangan dosa. Mungkin dalam sekelebatan mata, Altan terlihat ingin sekali membantu Liuna, tapi bila dilihat lebih dalam lagi... Altan amat ragu.

Bahkan untuk muncul sekali pun, dia harus berpikir keras, takut-takut Liuna menangis lagi.

Butuh keberanian untuk sampai pada titik ini. Di mana Liuna yang mulai akrab dengannya, tersenyum, bahkan tertawa. Altan tidak pernah merasa hidupnya lebih berarti seperti ini.

Seperti... Liuna menganggapnya ada, tapi dalam sosok yang berbeda.

Tiba-tiba ponsel pintar Altan bersinar di cahaya temaram balkonnya. Lantas jemari Altan bergerak menuju meja kecil di sampingnya, menjerat ponsel pintar itu.

Sebuah inbox dari Sang Ayah.

+628xxxxxxx
Jangan buat aku menghubungimu. Aku ingin kau besok malam datang, bertemu calon ibumu. Bersikap baik dan sopan!

Rahang tegas milik Altan sudah mengeras, napas yang sejenak tertahan, dia hembuskan kasar. 'Calon ibu', seolah-olah ibu kandungnya sudah tiada. Seolah-olah semua kenangan yang terangkai hanyalah omong kosong. Altan tahu, ayahnya tidak pernah mencintai ibunya sebagaimana ibunya mencintai ayahnya.

Semua kata-kata yang pernah menjadi superhero bagi Altan hanyalah omong kosong, sampah, dan tidak berharga. Altan tidak benci, dia hanya tidak suka. Tidak suka sikap ayahnya yang menganggap keluarga ini sebagai tempat bermain-main semata.

Tapi, apa ibunya tahu semua ini?

ㅇㅇㅇ

"Basecamp Titisan Kakek Moyang" tulisan yang terpampang di pintu perkumpulan mereka.

“BEHAHAHA!" Arys terbahak kala menonton video yang baru saja Zia kirim. Video yang mana Zia bergoyang di hadapan Bu Adil, Zia tidak peduli ocehan Bu Adil dan tetap meliukkan tubuhnya. Sampai selesai, barulah Zia mendapat pentungan dari tongkat Bu Adil.

Sedangkan, Altan sibuk pada dunianya sendiri. Bergelayut manja bersama mimpi yang dia rangkai saat ini. Kedua kaki yang berada di atas meja membuat posisinya semakin nyaman, apalagi buku yang sudah berganti makna menjadi peneman tidur; menutupi wajah Altan.

“HAHAHA!" tawa Eron yang penuh kesyahduan bisa menyita beberapa pasang mata siswi yang mendengar.

“Lo pada suka orang menderita, ya?" celetuk Nolan yang tentu saja tidak suka pacarnya menjadi bahan lelucon.

“Eey, bukan gitu, Lan, ini nih lucu banget sumpah, lo pasti ngakak juga." jawab Eron yang biasanya suka jaga image.

“Serah, dan inget! Jangan lo post di medsos manapun!" peringat Nolan dengan tatapan tajam.

“HAHAHA!"

“Bege, layarnya gelap lo ketawain!" ujar Eron pada Arys yang sudah tidak waras.

“Serah gue," balas Arys ketus. “Eh, Altan nyenyak banget, ya? Gak biasanya."

“Dia begadang lagi, mungkin."

Tiba-tiba pintu terbuka, menampakkan sosok Zia dan Yera.

“Kalian liat Liuna gak?" tanya Zia sambil bersila di atas permadani, “awalnya dia di kelas, tapi ilang pas gue balik."

“Lah, kita mana tau, mungkin si Altan tau," Arys langsung menuju pada Altan dan mencubit dadanya.

“Aa!" Altan tersadar, buku yang menutupinya pun terjatuh. “Apaan, sih?" tanya Altan lumayan kesal.

“Lo liat Liuna gak? Zia nyariin nih!"

Seketika, otak Altan berputar penuh, bila perihal yang menyangkut Liuna, Altan akan berada di barisan paling depan. Apapun itu, asalkan Liuna bahagia dan selamat, akan Altan lakukan, kenapa kedengarannya berlebihan?

“Liuna kenapa?"

“Bukan kenapa, tapi kita nyari dia gak ketemu-ketemu." ucap Zia.

“Kalo Zia baru balik, berarti Yera ada di kelas, gimana, Ra?" timpal Arys yang mencurigai gadis itu.

“Dia juga gak tau, Rys." malah Zia yang menjawab, ya, karena ia juga sudah bertanya ke Yera, dan jawabannya adalah tidak tahu.

“Serius? Dia coba jujur atau boong?" Arys menyudutkan Yera dengan perkataannya, karena sekarang, Yera mulai berkeringat dingin. Ia sedikit menunduk karena semua tatapan mulai mengarah padanya. Bibirnya terasa berat untuk mengatakannya. Tapi, merasa terintimidasi itu tidak nyaman.

“Em ... tadi, gue...."

“Bacot!" Altan hendak berdiri dan menghampiri Yera, tapi Eron segera menjadi tembok pembatas.

“Tan, tenang dulu," ucap Eron yang lalu mendudukkan Altan kembali, “Yera, lo bilang aja, gak usah takut."

“Tadi, Kasa dan temen-temennya datang ke kelas ...." merasa tidak perlu mengetahui kelanjutannya, Altan berdiri dan segera mencari Liuna. Meski dia tidak tahu di mana Liuna berada.

“Kenapa lo baru bilang sekarang, sih, Ra?" Zia kesal, ia pun menyusul Altan.

“Kayaknya ada sesuatu yang gak beres nih." Eron berdiri sambil menatap Arys dan Nolan bergantian, lalu keduanya mengangguk dan keluar dari basecamp bersama-sama.

Yera hanya takut, ia tidak mau berurusan dengan Kasa. Dan tanpa disadari, ia memilih sifat egoistis.

Altan PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang