Twty

193 19 7
                                    

THE HEALING

We're just a student who will grow up."

ㅡaltan phobia

°

°

“Yera, Yera!" Liuna mengejar cewek itu yang tetap saja menulikan telinga ketika dipanggil. Sedang Zia malah ogah-ogahan mengejarnya, rasanya sudah malas berurusan dengan cewek egoistis.

Liuna berhasil meraih lengan Yera. Tapi, lagi-lagi cewek itu menepisnya.

“Apa, sih?" terlihat mimik wajahnya begitu kesal.

“Halah, drama," gumam Zia.

“Aku minta maaf."

Akibat ucapan Liuna, Zia membulatkan matanya tidak percaya. Kok jadi gini, Zia tidak mengerti apa yang ada dipikiran Liuna sekarang. Padahal, Liuna tidak bersalah sama sekali.

“Aku minta maaf karena udah ngerebut Eron, Arys, Zia, dan Altan dari kamu. Karena aku, mereka menjauh dari kamu, maaf."

Wait! Liuna, yang seharusnya minta maaf itu dia, dia hampir buat lo terluka ...."

“Apa? Terluka?" sela Yera, “sori, ya, gue gak merasa, seharusnya lo yang nyadar kenapa pilih-pilih temen!"

“Woi! Gue tuh gak pilih-pilih temen ...."

“Udah-udah, sekarang, aku sama Zia mau minta maaf."

Zia bersedekap angkuh, “Dih, ogah."

“Minta maaf? Pada akhirnya kalian tuh sama aja kayak mereka, ninggalin temennya."

Zia kembali terpancing oleh perkataan tidak berasas Yera, “Heh, lo gak punya kaca, ya? Sadar woi sadar! Sadar kenapa lo dijauhin sama anak-anak sekelas! Kita gak ninggalin, tapi lo yang ngesellin!"

“Zi, stop!"

Yera tertawa meremehkan, “Di sini yang seharusnya sadar itu kalian (re: teman-teman sekelas Yera), juga lo!" Yera mulai mengacungkan telunjuknya pada Liuna.

Tangan Zia segera menepis, “Gak usah nunjuk-nunjuk, deh!"

“Apaan, sih!" Yera pun mulai mendorong Zia.

Please, stop!"

Tapi bukannya tenang, Zia malah membalas Yera dengan mendorongnya juga. Situasi kian memanas, Liuna tidak bisa lagi melerai mereka sendirian.

Malah, Yera semakin brutal dengan menjambak rambut Zia, menariknya dengan kuat, begitu pula Zia. Sedang Liuna tetap berusaha melerai keduanya, tapi malah terkena cakaran dari tangan Yera.

“Aw!" Liuna memegangi sebelah pipinya yang perlahan-lahan berdarah.

Di antara beberapa pasang mata yang melihat, ada Altan yang tidak sengaja menangkap sosok Liuna di tengah aksi jambak-jambakan rambut. Dia pun melangkah dengan resah menuju pundak mungil itu.

Sementara, Liuna tetap berusaha untuk melerai keduanya, ada juga beberapa siswi yang membantu, salah satunya memanggil guru BK.

“Liuna ...!"

Yang terpanggil pun menoleh. Altan terkejut mendapati segaris luka di pipi mulus bidadarinya.

Liuna menghampiri Altan dengan hati yang gelisah, “Altan, Zia sama Yera ...."

“Ikut gue."

“Tapi, mereka masih ribut."

Altan mendesah, “Sekarang udah enggak."

Karena tidak percaya, Liuna menoleh ke belakang. Ternyata benar, Zia dan Yera terleraikan oleh beberapa siswi yang memegangi keduanya.

“Aku harus izin dulu ...."

“Zia, gue pinjem Liuna bentar!" teriak Altan yang lalu beralih pada Liuna, “Udah, sekarang ikut gue."

Akhirnya, Liuna mengangguk patuh. Ia mengekori Altan dari belakang, yang entah kemana cowok itu membawanya. Dan tidak lama, cowok itu terhenti, membuat Liuna mengintip dari belakang. Ah, ruang kesehatan.

“Belum tutup," ucap Altan pada Liuna.

Ketika Altan memandu Liuna untuk masuk, tidak ada satu orang pun yang berjaga. Ya, mungkin sudah pulang. Lantas, Altan menyuruh Liuna untuk duduk di atas ranjang selagi menunggunya mengambil kotak P3K.

“Mau gue obatin atau lo sendiri?"

Liuna berpikir sejenak saat Altan meletakkan kotak P3K di atas nakas. Ini tahap dan ia bisa menggunakan tahap ini. Benar!

“Obatin," ucapnya seraya tersenyum. Di sisi lain, hati Liuna berharap Altan ikut mengembangkan senyumnya seperti kemarin.

“Yakin?"

Liuna mengangguk cepat seraya tersenyum manis.

Tapi sayang, tidak ada senyuman di wajahnya. Altan kontan meneteskan obat merah pada kapas yang disiapkannya tadi. Setelah itu, dia beralih pada Liuna dengan sebuah kapas di genggaman.

“A...aku tutup mata aja." entah kenapa jantung Liuna berdebar jauh dari kata normal. Memastikan itu debaran rasa takut, tapi rasanya berbeda. Malah, tangannya gemetaran sekarang.

Altan menghela napasnya, “Mending, lo aja."

Debaran jantung Liuna mereda, ia pun membuka matanya, “Gak ada cermin, Altan."

“Tapi, lo gak baik-baik aja."

Senyuman Liuna mengembang, “Altan, kamu ingatkan, secara bertahap,"

Yakinkan Altan kalau dia gak akan menyakiti kamu. Suara Profesor Ani terngiang dalam benak Liuna.

“Aku gak takut, aku bisa," tambah Liuna dengan yakin, “sekarang, obatin luka aku." Liuna mulai memejamkan matanya kembali.

Cukup lama, terdengar helaan napas Altan. Tapi kemudian, sebuah kapas lembut menyentuh pipinya, napas Liuna seolah tertahan. Debaran jantungnya kembali tidak seperti biasanya, sekarang ia tidak mengerti perasaan ini. Membingungkan. Debaran itu mengalahkan gemetar di kedua tangan Liuna, juga rasa takutnya.

Perlahan-lahan, Liuna membuka matanya. Mendapati manik mata Altan yang lumayan dekat dengannya. Saat itu juga, ia merasa ribuan capung berterbangan dalam perutnya dan seekor kelinci melompat-lompat di setiap bilik jantungnya. Perasaan yang sungguh membingungkan Liuna.

Kian lama kian jatuh dalam manik mata indah Altan. Bodohnya, Liuna tidak tahu jalan untuk kembali pada kenyataan. Sang Binar Cokelat membawanya jauh ke dalam khayalan. Jauh hingga ia jatuh pada satu kubangan yang disebut cinta. Ah, mungkin terlalu cepat untuk dikatakan cinta.

“Gue mau pasang plester di pipi lo," ucap Altan seolah meminta persetujuan sebelum menakuti Liuna.

Namun, Liuna terlalu jauh untuk kembali sekarang.

“Hei?"

Liuna mengerjapkan matanya beberapa kali, “I...iya?"

Altan menunjukkan sebuah plester. Lantas, Liuna mengangguk setelah berpikir sebentar.

Ketika tangan Altan mendekat, Liuna mulai memejamkan matanya lagi. Kali ini ia benar-benar takut. Dan sebisa mungkin Altan berusaha untuk tidak menyentuh kulit Liuna, tapi itu tidak berhasil.

Altan melihat kening Liuna yang berkerut. Lantas, jari telunjuknya menekan lembut plester itu agar menempel, yang perlahan-lahan berubah menjadi elusan lembut di atasnya. Saat itu juga, kerutan di kening Liuna memudar.

Untuk pertama kalinya, Liuna merasa aman di sisi Altan.

Senyuman tipis mengembang di guratan wajah Altan, “Jangan takut lagi, ya, Altan ini bakal jagain lo dari Altan yang dulu, juga dari apa dan siapa yang berani nyakitin lo."

Altan PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang