Twty Tw

192 17 2
                                    

IN THE MIST

Semua pasti ada masanya, masa di mana kau selalu tersenyum saat melihat wajahnya berganti menjadi kenangan lara saat melihatnya."

ㅡaltan phobia

Sekarang rasanya seperti kemarin. Liuna lagi-lagi dihadang oleh Eldan saat hendak mencari Altan. Membicarakan mengenai dekor ruangan, ini dan itu, hingga Liuna terpaksa tertawa karena lelucon garing cowok itu.

“Eum, bentar lagi hampir masuk, aku ke kelas, ya?"

Eldan tersenyum, “Oke, dan pikir-pikir lagi untuk gabung."

“Iya."

Liuna beranjak dari duduknya. Berjalan menjauhi cowok itu. Tiba-tiba ia berpikir kenapa rasanya menyebalkan saat Eldan menghabiskan waktu yang seharusnya ia gunakan untuk mencari Altan? Rasanya, ada sesuatu yang berbeda dari  renyut di dadanya.

Namun, ia tidak mengerti seperti apa itu.

ㅇㅇㅇ


“Kesel gue sumpah, harus dengerin siraman rohani Bu Roidah. Padahal kan yang salah tuh Yera!" gerutu Zia yang duduk di samping Liuna. Bercerita selagi Liuna menulis.

“Kalian itu sama-sama salah," timpal Liuna di tengah aksi menulisnya.

“Tapi, yang paling salah tuh Yera. Oh iya, gue lupa bilang, Altan gak masuk, Na."

“Altan gak masuk?" Liuna amat terkejut mendengar perkataan Zia.

Zia mengangguk, “Kata Nolan karena sakit."

Jemari Liuna berhenti menulis catatan di papan. Ia terdiam mengingat lagi ucapan Profesor Ani, membuat rasa khawatirnya bertambah besar. Tapi segera ia menepis pemikiran aneh itu dengan menggelengkan kepalanya.

“Enggak ...!"

Zia mengerutkan dahinya, “Apanya yang enggak?"

Bukannya menjawab pertanyaan Zia, Liuna malah bertanya hal lain, “Altan sakit apa?"

“Mungkin demam, akhir-akhir ini dia suka makan makanan pedes, khawatir amandelnya kambuh."

Amandel? Dan mungkin Liuna menjadi orang terakhir yang tahu bila Altan memiliki amandelㅡya, semua orang memilikinya, tapi ini beda urusannya.

“Kayaknya sepulang sekolah, gue, Nolan, Eron, sama Arys mau jenguk Altan, lo mau ikut juga?"

Liuna berpikir sejenak, “Maaf, aku enggak bisa."

Zia tertawa, “Santai aja kali, Na, gak perlu minta maaf," ucapnya, "oh! Atau mungkin lo mau nitip salam?"

“Salam...," Liuna berpikir sebentar, “iya, aku titip salam buat Altan."

Zia tersenyum lebar, “Sip!"

ㅇㅇㅇ

Meskipun Liuna sudah menitipkan salam pada Altan melalui Zia, tapi tetap saja membuat Liuna ingin tahu semuanya secara menyeluruh, seperti melihat Altan langsung, bagaimana suasana hatinya, dan bagaimana keadaannya.

Sampai Liuna sadar, ia tidak bisa terus-terusan berdiam diri memikirkan bagaimana Altan. Ia harus menjenguknya, sekarang.

“Ma ...," ucap Liuna yang beruntungnya mendapati Aisyah duduk di ruang tamu.

Mulanya Aisyah tengah menjahit baju yang bolong, tapi karena mendengar Liuna memanggil, ia pun menoleh. “Eh, Una mau kemana? Cantik banget?"

Liuna duduk di sebelah Aisyah. Melihat ke kanan-kiri berharap kakaknya tidak ada. “Ma, Liuna mau jenguk Altan, katanya dia sakit."

Aisyah membulatkan matanya, terkejut. Bahkan tidak percaya ucapan anaknya itu. “Una yakin jenguk Altan?"

Menatap sorot mata ibunya, Liuna rasa Aisyah tidak tahu, “Kak Zac gak bilang ke Umma, ya?"

Kini Aisyah mulai meletakkan baju yang tadinya masih ia pegang, “Tentang apa?"

Liuna menatap wajah ibunya sejenak, lalu berkata, “Soal Una yang udah mendinganㅡtapi, Una harus jenguk Altan, Una gak bisa jelasin sekarang."

Aisyah tersenyum lembut sambil mengelus kepala anaknya, “Umma izinin, biar Umma tanya Kak Zac, tapi Una harus pulang sebelum malam."

“Oke, siap!"

ㅇㅇㅇ

Dari kemarin, sejak Altan kembali ke rumah yang menyimpan banyak kenangan, dia tidak beranjak dari kasurnya. Tergeletak hampa. Masih setia memejamkan mata bersama pikiran yang berkecamuk.

Juga, Zara sudah beberapa kali mengetuk pintu kamar Altan. Tapi beribu kali lagi dia memilih diam, mengabaikan ketukan hangat tangan ibunya.

Karena hal pertama yang Altan pikirkan ketika kembali ke rumah ini adalah, dia ingin sendiri tapi tidak benar-benar sendiri.

Lagi-lagi, seseorang mengetuk pintu kamarnya.

“Sayang, Mama cuma mau bilang kalau ada Liuna di depan."

Kelopak mata Altan terbuka. Lalu dia membuka mulut, agak tidak yakin untuk mengatakan ini. Tapi dia rasa, ini yang terbaik untuk saat ini.

“Bilang Altan gak bisa diganggu, Ma!" teriaknya.

Sebelum Liuna, beberapa temannya juga datang untuk menjenguk. Tapi Altan memilih diam dan menetap di kamarnya.

Meskipun dia amat sangat ingin bertemu Liuna. Sekadar menatap wajahnya, tapi rasanya itu tidak mungkin sekarang. Roman gadis itu mengingatkan dia pada dosa yang telah diperbuatnya.

Di sisi lain juga, Altan berpikir, apa mungkin dia harus menjauh dari Liuna? Sambil berharap Liuna dapat menemukan orang lain yang dapat menyembuhkannya.

Begitukah caranya?

Ponsel pintar Altan mendadak berbunyi di kesunyian kamarnya. Untung saja letaknya tidak jauh dari Altan berbaring, di atas nakas.

Altan mengambil ponselnya dan melihat sebuah pesan masuk.

< Prakash
Dua hari lagi, bokap lo sama nyokap gue bakal nikah. Dua hari lagi, lo harus siap dengan apa yang bakal lo lakuin.

Altan mencengkeram erat ponsel pintarnya, sembari menghela napas berat dengan ribuan debu menyesakkan dada.

Rasanya benar-benar hancur lebur.

________________________

Tahu gak? Kalau dalam psikologi, cowok itu yang paling sulit melupakan.

Jadi, di sinilah Altan. Sok bisa melupakan masa lalu, padahal itu terus menghantuinya.

Enjoy :)

ㅡwritherthor

Altan PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang