Twty Fr

191 16 0
                                    

THE FAULT

🎹🎹

Gejolak amarah tengah memenuhi jiwa dan pikiran Altan. Dia duduk di atas tubuh Prakash. Satu, dua kali menggocoh rahang tegas milik Prakash. Tapi, seolah tidak mau terlalu lama tenggelam dalam emosi, Altan bergerak menjauh.

Dada Altan naik-turun akibat napas yang memburu. Keringat membasahi kening dan helaian rambutnya. Lelah. Ingin berteriak tapi tidak bisa. Tatapan sendunya mengarah tepat pada Prakash yang masih berbaring.

Tahu-tahu, tanpa persiapan untuk menepis, Prakash bangun dan mendorong tubuh Altan hingga membentur dinding. Menarik kerah seragam Altan dan mendaratkan kepalan emosi yang keras. Tubuh Altan oleng bersamaan dengan kepalanya yang pening. Dia terjatuh. Kini mereka sama-sama berdarah.

Prakash meludahkan darah dari dalam mulutnya. "Di sini bukan cuma lo yang menderita!" teriaknya kalap dan mulai berkacak pinggang. "Mau gak mau, lo harus tepatin kata 'iya' itu."

Perlahan-lahan, Altan berdiri menuju Prakash. Menumpukan kedua tangannya pada otot-otot bahu cowok itu. Mata melawan mata untuk sejenak. Lantas Altan menyeringai. "Kalau gue tetap gak mau?"

Secepat kilat tangan Prakash kembali menarik kerah Altan. "Bangsat! Lo munafik!"

Sudut bibir Altan yang tidak terluka masih sempatnya menyunggingkan senyum miring. "Thanks pujiannya."

Prakash hendak kembali melayangkan genggaman emosional, tiba-tiba suara Liuna hadir bersama Zia menghentikan tindakannya. Ya, Zia yang memberitahu Liuna. Mulanya Zia mengikuti Altan untuk menanyakan hubungan mereka yang hampir berakhir, tapi malah mengetahui semua pembicaraan mereka sebelum terjadi pergocohan.

Genggaman Prakash merenggang dan dia menoleh ke asal suara. Mendapati roman wajah Prakash, jantung Liuna berdetak kuat. Ketakutan merayapi bilik-bilik jantungnya bersamaan dengan langkah kaki yang mundur mendadak.

"Na, lo gak pa-pa?" tanya Zia karena Liuna tiba-tiba meremas lengannya.

Prakash beralih lagi pada Altan, tersenyum miring seolah menemukan titik kemenangan, "Gimana kalau Liuna jaminannya? Kalau orang lain, sih, gak mungkin."

Otomatis otak Altan berpikir cepat sambil berharap Prakash tidak bisa membaca raut mukanya. "Silakan, gue gak peduli." sebenarnya, Altan mengalami kepanikan sekarang.

Wajah Prakash memerah, sungguh marah. "Lo, lepasin Altan sekarang juga!" teriakan Zia menendang telinga cowok itu. Membuatnya melepaskan Altan, tapi sebelum benar-benar pergi, Prakash menarik pundak Liuna secara paksa ketika melewatinya. Dan sebelah tangannya meraih dagu mungil Liuna, memberikan kecupan pada bibir gadis itu selama tiga detik karena Zia langsung menjauhkan tubuh Liuna. Membentengi temannya dan memberikan tamparan telak pada pipi Prakash.

"LO MAU MATI!"

Namun seolah-olah tidak peduli pada ucapan Zia, Prakash hanya menatapnya sekilas dan menoleh pada Altan yang mematung dengan seringai kemenangan. "I knew it, she's the guarantee."

Tepat setelah itu, Liuna pingsan. Altan hendak mengejar Prakash, tapi Zia memanggilnya untuk tidak memedulikan cowok itu. Bahwa sekarang yang terpenting adalah Liuna.

ㅇㅇㅇ

Ada satu kejadian yang sempat Liuna lupakan, ah, malah ia sudah melupakannya. Saat itu, Altan pernah meminta maaf setelah perlakuan temannya dan memberikan Liuna cokelat. Namun sayang, Liuna tidak ingin mengangkat wajahnya.

Liuna sadar, seharusnya ia menghargai itu. Tapi seolah-olah hanya dirinya yang tersakiti, Liuna mengacuhkan kebaikan hati yang dapat berubah menjadi kebencian.

Perlahan-lahan pelupuk mata Liuna terbuka. Dirinya berusaha megetahui di mana ia berada. Jika ini unit kesehatan sekolah, tatanannya beda sekali. Dan Liuna menggunakan alat bantu pernapasan yang disebut oxygen concentrator. Oksigen yang disalurkan melalui selang itu membuat Liuna tidak kesulitan bernapas saat terlelap, juga itu membuat heran mengapa ia bisa memakainya.

"Una?"

Liuna mengenal suara itu, lantas ia menolehkan tatapannya ke sumber suara. Itu ibunya, Aisyah. "Umma?"

Aisyah mendekat untuk mengelus puncak kepala anaknya. Beliau amat bersyukur karena kekhawatirannya sudah terbalaskan dengan rasa suka cita sembari memeluk dan mengecup kening anaknya. Lalu kembali duduk di samping ranjang pasien.

"Una kok bisa di sini, Ma?" suara Liuna terdengar lemas dan lirih.

"Kata temen kamu, kamu tiba-tiba pingsan, denyut jantung kamu lemah. Pihak sekolah menelpon Umma, tapi syukur kamu sudah sadar sekarang."

"Temen Liuna?"

"Iya, salah satunya Altan, Umma enggak tahu kalau yang perempuan."

"Zia, temen baru Una."

"Una udah sadar, Ma?!" pertanyaan Zac yang tiba-tiba ketika memasuki ruangan dan menghampiri ranjang tempat Liuna berbaring.

Sedang Liuna tersenyum kecil, "Jangan khawatir lagi, Kak."

Zac menghela napas lega seraya tersenyum. "Pinter banget, ya, buat orang khawatir."

Sementara itu, di luar ruangan, di mana Altan bersembunyi dari mereka, mungkin lebih tepatnya bersembunyi dari kakak Liuna. Awalnya, Altan sangat ingin masuk, tapi melihat kakak Liuna yang mendadak datang, dia harus mengurungkan niat.

Hanya bisa mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Liuna sudah sadar, setidaknya kabar itu membuat Altan kembali bernapas lega setelah ribuan kawat berduri membelenggu dirinya.

"Andai gue menjauh, pasti lo gak bakal kayak gini."

_________________________

First kiss Liuna 😱
Kaget juga author ini 😂

Daah, terima kasih telah membaca. Tunggu kelanjutannya.

ㅡwritherthor

Altan PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang