BULAN SABIT YANG HILANG
“Rasanya aneh ketika aku yang sering menatap senyummu, mendadak resah ketika itu hilang dari roman wajahmu."
ㅡaltan phobia
🎶🎶🎶
Nada-nada yang mencipta suasana memberikan keleluasan pada Altan untuk hanyut dalam permainannya. Jemarinya belum berhenti menekan tuts-tuts keyboard. Cukuplah mengutarakan pada sesuatu yang semu, yang penting gejolak emosinya tidak terpendam dalam.
Dengan mata terpejam, Altan menikmati hasil dari tekanan tiap tutsnya. Melayang bersama nada-nada di ruang musik sekolahnya. Menuangkan segala perasaannya pada untaian nada yang belum pasti berakhir.
Kini, semuanya jelas terlihat kacau balau. Dirinya, keluarganya, dan kehidupannya. Lantas, ketika seperti ini, hanya satu tempat yang dapat memahami; Tuhan.
Untaian nada mulai berantakan, bersamaan dengan hatinya yang hancur lebur. Altan menjatuhkan jemarinya pada tuts-tuts keyboard, membuat nadanya tidak berirama. Lalu, dia menurunkan keningnya di atas keyboard sambil memejamkan mata. Deru napasnya naik-turun tidak teratur. Terlalu melepaskan emosinya, tapi itu membuatnya bernapas lega.
Tiba-tiba, Altan mendengar satu tuts yang ditekan, tentu bukan olehnya. Kepalanya bergerak menoleh, matanya juga terbuka penasaran. Menemukan seorang gadis tengah berdiri sambil tersenyum padanya.
“Aku nyari kamu, dan kata Eron kamu di ruang musik," ucap Liuna yang berdiri di ujung kanan keyboard, “kamu hebat banget mainnya!"
Altan menegakkan tubuhnya, melihat senyum mentari terbit di sisinya seolah membakar kembali semangat yang hilang. “Makasih."
“Oh iya," Liuna menunjukkan sesuatu di balik punggungnya, “Altan suka susu rasa banana, kan?" tanya Liuna seraya mengulurkan satu susu kotak pada Altan.
“Buat gue?"
“Iya."
“Makasih, ya." Altan mengambil susu kotak itu dan menusukkan satu sedotan di atasnya.
Dan suasana canggung membubung di antara mereka. Liuna kikuk akibat Altan yang sibuk meminum susu kotak. Tapi, seolah tahu keadaan krisis ini, Altan berpindah tempat duduk menjadi bersila di lantai.
“Duduk." Altan menepuk lantai pelan, mengisyaratkan Liuna agar duduk juga.
Liuna pun duduk bersila, berhadapan dengan Altan.
“Lo beneran gak takut lagi ke gue?"
Liuna mengangguk, “Fobia itu berubah jadi rasa takut disentuh oleh laki-laki."
“Gue butuh penjelasan yang detail." Altan hanya gelisah bila dirinya menyakiti Liuna.
“Kemarin, aku berkunjung ke Profesor Ani, dia bilang, rasa takut itu lenyap dan berganti menjadi rasa gelisah akan sentuhan, seperti aksi spontan dan disengaja oleh laki-laki, gejalanya hampir sama."
Altan mendesah, kepalanya tertunduk dengan sebelah tangan yang memangku keningnya, kesal sekaligus ingin marah pada dirinya sendiri yang sudah membuat kehidupan Liuna menjadi rumit.
“Seharusnya gue gak meluk lo saat itu ...."
“Tapi Profesor Ani bilang ini sebuah permulaan menuju perbaikan, Tan, kamu gak sepenuhnya salah, aku bisa sembuh." jujur saja, Liuna khawatir pada Altan yang terlalu bersikap seperti itu. Kemarin, Liuna telah menceritakan itu pada Profesor Ani, dan ia takut ucapan beliau benar.
Dengan rambut yang berantakan, Altan perlahan-lahan menatap Liuna. Manik mata itu juga menatapnya dengan atensi lembut.
“Balik, ke kelas, yuk, bentar lagi masuk, ujar Liuna sembari tersenyum manis menanggapi raut wajah Altan.
Altan mengangguk lemah. Mereka beranjak dari ruang musik. Dia membayangi Liuna dari belakang, lagi-lagi ada jarak lima langkah di antara keduanya. Seolah-olah itu sudah menjadi syarat mutlak.
Namun, Altan yang teringat sesuatu lantas dia berhenti.
“Liuna," panggilnya dengan suara yang cukup nyaring.
Yang terpanggil berbalik, “Kenapa?"
“Gue lupa kalau ada pertemuan tim futsal, gue ke sana dulu, ya?"
Liuna menangguk sambil tersenyum. Setelah mendapat jawaban dari tingkah Liuna, Altan kontan melangkah ke tempat yang ditujunya. Di sisi lain, Liuna hanya bisa menatap punggung yang kian jauh dan hilang ditelan dinding.
Benaknya berputar jauh saat menatap kepergian Altan. Memikirkan kemanakah hilangnya senyuman secerah mentari itu. Bahkan, saat ia berada di sisinya, tidak terlihat sedikit pun sudut bibir yang terangkat. Kenapa?
Apa Altan berubah?
ㅇㅇㅇ
Di ruangan yang cukup luas ini, mereka melakukannya. Altan melihat dengan tubuh gemetaran, melihat dia yang menangis dan berteriak keras di hadapannya. Dia yang duduk di kursi mengalami proses terapi yang amat menyakiti. Apalagi, berhadapan dengan si pembully.
“AAAAAAAAAAA!!" suasana ruangan ini berubah, mendengar Liuna berteriak, semua yang ada seolah bisa merasakan sakitnya juga. Sebulir air mata meleleh di pipinya, yang selanjutnya menjadi deraian isak tangis.
“UMMA, TOLONG UNA! DIA DI SINI!!"
“Liuna, tenang, dia itu mau minta maaf, dia gak mau jahatin Liuna lagi," ucap Profesor Ani sambil menggenggam jemari Liuna.
“Sayang, di sini juga ada Umma sama Papa, dia gak bakal bisa ganggu kamu lagi," ucap Aisyah dengan lembut, berharap penuh agar anaknya bisa tenang.
Liuna menggeleng cepat dengan bulir yang masih mengalir, “ENGGAK! TAKUT, MA, PA!" Liuna memberontak, menutup wajahnya dengan kedua tangan dan berteriak kalap, kata takut sesekali terdengar di sela teriakannya.
Sementara itu, Altan bergetar merasakan sakitnya mental Liuna, merasa teramat sangat bersalah. Tapi... sungguh, dia tidak membully Liuna hingga separah ini.
Profesor Ani beralih pada Altan, dan menangkap seberkas rasa dari manik mata itu, “Nyonya Zara, bisa bawa Altan keluar?"
Zara mengangguk cepat, lantas menarik Altan agar beranjak dan menjauh dari keberadaan Liuna. Berhasil keluar dari ruangan itu. Tapi, rasa keterkejutan yang hebat masih ada. Altan mematung dengan sekujur tubuh yang gemetaran.
“Ma... bukan ...."
Zara menangis sambil menangkup wajah anaknya, “Apa yang bukan, sayang?" sebagai ibu, tentu berat sekali melihat keadaan anaknya yang seperti ini, terutama ketika anaknya dilanda insiden pembully-an.
Dengan bibir yang turut bergetar, Altan mengucapkan sesuatu yang membuat kening Zara berkerut dan langsung memeluknya erat, “Bukan... bukan Altan yang lakuin ini, Ma, bukan, bukan, bukan, bukan, BUKAN ...!"
Sontak saja Altan tersentak dari tidurnya. Peluh membasahi keningnya. Dadanya pun naik-turun, tidak terkontrol.
Pandangan Altan mengitari kamarnya, sendirian, tidak ada siapa pun, itulah yang dia tangkap.
Lantas Altan melirik jam weker di atas nakas, jarum jam menunjukkan angka sebelas. Masih malam. Kemudian, dia kembali membaringkan tubuhnya. Memikirkan sejenak mimpi aneh yang dia alami.
Ya, dia bermimpi itu lagi. Kian membuatnya tenggelam dalam paluh lara. Yang untuk tersenyum sedikit pun dia tidak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altan Phobia
Teen Fiction[SEGERA DIREVISI] Liuna Bellarisa, seorang gadis yang belum bisa memaafkan lelaki bermata biru itu. Rasa sakit yang menjelma menjadi monster telah merenggut kebebasan dari hidupnya. Membuatnya fobia pada laki-laki; androphobia. Altan Z. Athafariz, s...