FOBIA INI
“Biarkan dirimu yang menguasai rasa takut, bukan sebaliknya."
ㅡ Altan Phobia
🎶🎶
Di luar kelas, Liuna duduk sambil berusaha mengontrol deru napasnya, dengan menarik napas lalu membuangnya perlahan. Ia pun menatap kedua tangannya yang gemetaran, sudah sedari tadi, bahkan hingga bel pulang berdering nyaring, rasanya masih ada.
“Belum hilang, ya," gumam Liuna menatap cemas kedua tangannya.
Tiba-tiba, seseorang menarik tangan Liuna ke pangkuannya, mengusap lembut dan memberi pijatan pada kedua tangan itu, “Biar mendingan," ucap Zia seraya tersenyum padanya.
“I...iya." Liuna canggung.
Sembari memijat lembut kedua tangan Liuna, Zia bertanya, “Lo fobia Altan, ya? Atau lebih tepatnya fobia ke laki-laki, kan?"
Liuna membulatkan matanya, ia terkejut, tapi seolah tahu ekspresi yang akan Liuna tunjukkan, Zia berkata, “Gak usah kaget," ucapnya, “gue itu stalker nomor satu di sekolah ini."
“Tapi... dari mana kamu tahu?"
“Gue tau dari Kasa yang pernah bilang kalau Altan suka bully lo juga, nah, dari situ gue curiga, akhirnya gue datangi Kasa, tapi dia malah marah dan nyuruh gue buat nanya ke Yera, ya gitu deh caranya gue tau."
Jadi, Yera yang satu sekolah dengan Liuna di SMA Garuda ini adalah orang yang dulu mengutarakan bila Altan menindas Liuna.
“Yera Cantika?"
Zia mengangguk, “Lo baru tau kalau dia pernah satu SMP sama lo?"
“Iya."
Hening mengudara. Selang beberapa detik, Zia sudah selesai memberi pelayanan pada Liuna.
“Udah, gimana?"
Liuna menatap kedua tangannya yang tidak gemetaran lagi, “Makasih, ya, Zi!"
“Urwell," ucapnya sambil tersenyum, “pulang, yuk! Gue anter lo."
Liuna mengangguk, lantas membiarkan Zia menarik sebelah lengannya menuju pelataran parkir SMA Garuda. Namun, sosok siswa bertubuh tinggi dan tegap membuat langkah Zia terhenti. Mereka bertukar tatap sejenak, Zia mengerti maksud tatapannya.
“Liuna, gue tunggu lo di gerbang, ya?"
“Iya."
Selepas tautan tangan Zia mengendur di jemari Liuna, Altan mulai menatap dalam manik matanya, seolah tidak ada lagi batas yang bisa menghalanginya untuk menjelajahi binar indah Liuna.
“Maaf, pasti lo takut."
Liuna malah tersenyum lebar, “Aku rasa, aku udah gak takut kamu lagi."
Heran, sebelah alis Altan terangkat, “Really?" tanya dia, “how about this ...?" dia mendekatkan tangan kanannya pada sisi wajah Liuna. Dan tetap saja, ada reaksi keterkejutan yang tidak biasa darinya.
“Altan ...," lirih Liuna agar Altan menjauhkan tangannya itu.
“Ada yang beda," ucap Altan.
Liuna melirik sekilas manik mata Altan, lalu menunduk sambil menghela napas. “Kalau gitu, aku pulang dulu, Altan hati-hati di jalan."
“Iya ...,"
Ketika Liuna mulai beranjak, Altan berbalik mengikuti arah Liuna pergi. Rasa khawatir bergerayangan ketika menatap punggung rapuh itu menjauh. Tapi tiba-tiba, ia berbalik sekadar melambaikan tangannya sejenak pada Altan. Membuatnya tersenyum, lalu punggung itu benar-benar hilang.
Senyum lo, selalu jadi pendebar hati, sederhana, tapi gue bisa bahagia, tutur Altan dalam hatinya.
ㅇㅇㅇ
Beratap langit sore, warna oranye yang cerah mulai mendominasi cakrawala. Ketika berharap Altan benar-benar menenangkan pikirannya dengan tidur sejenak, malah pemuda itu mengajaknya untuk menemaninya latihan piano.
“Gue pengen latian sore ini, mau nemenin gue, gak?"
Bermain piano adalah salah satu hobi Altan, mungkin dengan itu dia bisa menenangkan pikiran, menurut benak Liuna.
“Mau ...."
“Oke, gue jemput lo, sekarang."
Suara di seberang sana terdengar menggebu, saat itu juga sambungan terputus. Liuna pun bersegera mengganti pakaiannya dengan pakaian hang out sederhana.
Setelah itu, ia keluar dari kamarnya dan menuruni beberapa anak tangga menuju pintu. Celingak-celinguk menatap awasㅡsebelum pamitan pada ibunyaㅡia harus lolos dari tangkapan netra Zac.
“Una, mau kemana?"
Liuna sudah menduga itu. Suara khas Zac berasal dari belakangnya, membuat gadis itu berbalik perlahan-lahan, lalu tersenyum lebar seolah mengalah karena telah tertangkap.
“Umma, mana?"
“Una mau kemana?" tanya Zac lagi tapi penuh penekanan di tiap katanya.
“ ... Mau ikut Altan latihan piano."
Zac turun menuju Liuna, “Jadi, kamu udah gak fobia sama cowok lagi?"
Liuna tercengung, memikirkan perkataan Zac yang mulai mengganjal di benaknya, dan itu juga mengingatkannya pada perlakuan Altan tadi. “Una gak tau, Kak."
Tiba-tiba, sebelah tangan Zac hendak menyentuh puncak kepala Liuna. Dan tubuh Sang Adik memberi respon yang aneh. Amat terkejut dan rasanya seperti tersengat listrik. Akhirnya, Zac menjauhkan tangannya.
“Sekarang kamu harus ikut Kakak."
“Tapi, Kak, Una harus ...."
Bel pintu berbunyi, menyela perkataan Liuna sekaligus membuatnya cemas karena itu pasti Altan. Juga, ia dibuat mematung oleh tatapan tajam Zac.
Zac pun berjalan menuju pintu. Membukanya dan mendapati sosok Altan.
“Assalamu'alaikum ...!" Altan agak terkejut saat mendapati kakak Liuna yang membuka pintu.
Dari balik tubuh Zac, suara Liuna muncul, “Waalaikum salam, Una mau pergi sekarang, Kak."
“Liuna gak boleh keluar, kamu boleh pergi."
Liuna membulatkan matanya, “Kakak apaan, sih? Altan datang jauh-jauh ...."
“Gak pa-pa, Na," Altan menyela perkataannya, “kalau gitu, saya pamit, assalamu'alaikum."
Senyuman yang Altan perlihatkan seolah menjadi bukti bahwa dia tidak sebaik-baik kelihatannya. Dan Liuna sungguh tidak tega melihat itu. Apalagi saat punggung tegap Altan hilang ditelan pintu rumah, menyisakan ego Zac yang mengambang di antara mereka.
“Kenapa gitu? Sekarang Altan gak seperti yang Kakak bayangkan!"
“Kamu gak tau kapan dia bisa sepenuhnya berubah, Una."
“Tapi, Una bisa bantu dia."
Zac menghela napasnya, “Bantu apa? Kamu juga butuh bantuan di sini, gak usah terlalu baik sama dia, karena dia anak yang gak baik buat kamu!" Zac melangkah ke arah lain, tapi terhenti sejenak untuk mengatakan sesuatu, “Kita pergi ke psikiater sekarang."
Liuna mendesah menatap Zac. Lantas, ia berlari menuju kamarnya. Agak kesal melihat kakaknya yang cukup posesif bila Altan mendekat.
“Liuna Bellarisa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Altan Phobia
Teen Fiction[SEGERA DIREVISI] Liuna Bellarisa, seorang gadis yang belum bisa memaafkan lelaki bermata biru itu. Rasa sakit yang menjelma menjadi monster telah merenggut kebebasan dari hidupnya. Membuatnya fobia pada laki-laki; androphobia. Altan Z. Athafariz, s...