Fft

204 17 4
                                    

DON'T LIE

Ini semacam rasa yang seharusnya aku tak begini; berlagak memilikimu."

ㅡ Altan Phobia

🎼🎼

Setiap langkah yang Altan buat, mengetukkan irama kemarahan. Kata 'target' terus terngiang dalam benaknya. Kali ini, omong kosong orang itu harus dipertanggungjawabkan. Entah dengan cara apa.

“Altan Xanvier." seorang siswa bersandar sambil melagukan nama Altan. Tentu saja Altan berhenti, bukan hanya dia, kedua temannya yang mengikuti pun turut berhenti; Eron dan Arys.

“Akhirnya takdir mempertemukan kita secara enggak sengaja," ucap Prakash dengan senyuman.

Altan pun menoleh pada Eron juga Arys, “Bilang ke Eldan, kalo dia dapat salam dari gue."

“Siap."

“Lah, gue ikut juga?" tanya Arys, tapi sudah ditarik menjauh oleh Eron.

Tatapan Altan beralih pada Prakash lagi, “Sekarang, mau lo apa?"

Prakash menyeringai, “Lo pasti diundang juga 'kan, saudara tiri?"

Waktu seolah-olah berhenti bergulir. Altan tertegun, apa maksud Prakash? Dia saudara tiri Altan? Semuanya tiba-tiba membingungkan. Tatapan tidak percaya Altan membuat Prakash semakin menyeringai.

“Santai aja, lo masih calon saudara tiri gue, tapi kalo elo tetep gak mau, kita bisa kerja sama gagalin pesta mereka."

“Kalo gue gak mau kerja sama?"

“Gue paksa lo."

Altan tersenyum meremehkan, “Pada akhirnya itu cuma kepuasan lo sendiri."

Tangan kanan Prakash mengepal, “Lo kira gue mau punya saudara kayak lo?" intonasinya meninggi, mirip membentak.

“Memang apa untungnya?"

“Bokap lo bisa tidur sama nyokap lo lagi, dan kita gak pernah jadi saudara."

“Siapa yang bisa pastiin bokap gue balik?"

“Bacot!" Prakash menarik kerah seragam Altan, sudah siap melayangkan bogem mentah padanya, “Lo cukup jawab, mau atau gak?"

Tetap dengan wajah datarnya, Altan berpikir beberapa jenak. Ini sulit sekali. Lagipula, dia sudah nyaman dengan keluarga yang berantakan seperti ini. Tapi mungkin, Prakash tidak bisa hidup dengan pilar keluarga yang hancur.

“Oke, deal."

Cengkeraman Prakash merenggang dan terlepas, sudut bibirnya terangkat untuk sebuah senyuman, “Nanti malam, lo harus datang."

ㅇㅇㅇ

Sekadar memastikan Liuna aman, Altan mengawal Zia yang mengantar Liuna dari belakang. Sedang Liuna belum mengakatan apapun, ia memilih diam setelah kejadian tadi.

Sampai. Liuna turun dari sepeda motor automatik Zia, lalu melepas helm yang Zia berikan, “Makasih sudah nganterin aku, kamu gak mau mampir bentar?"

Zia mendesah, “Ya ampun, Na, Mending lo istirahat daripada nyambut gue, gue bisa datang kapan-kapan, udah sana masuk."
Liuna tersenyum simpul, “Iya, hati-hati di jalan, Zi."

Lalu, Liuna beralih pada Altan, pemuda itu menatapnya dalam. “Gue cabut, ya."

Liuna tersenyum sembari mengangguk. Lantas, ia berjalan menuju pintu rumahnya. Rumah yang sekarang mulai sepi karena Lesha sudah kembali ke Boston, tidak lama Liuna akan merasa kesepian lagi.

Assalamu'alaikum," ucap Liuna ketika telah memasuki rumah, dan ia mendapati kakaknya, Zac, duduk di ruang tamu.

Waalaikum salam," Zac berdiri, “tadi itu Altan? Cowok yang pernah bully kamu?"

Satu hal yang baru Liuna ingat, Zac tidak suka pada Altan, meski dia sudah bertanggung jawab.

“Iya," jawab Liuna lirih.

Zac langsung mengerutkan keningnya saat melihat sesuatu yang berbeda dari rambut Liuna, “Rambut kamu kenapa?"

“Tadi... Liuna dibully lagi, Kak."

Mendengar jawaban lirih Sang Adik, Zac mulai menggenggam tangannya. Dia mencoba mengatur emosi yang mendadak naik setara dengan air mendidih, “Siapa? Altan?"

Liuna menggeleng cepat, “Bukan! Tapi orang yang waktu itu pecahin kacamata Una, Kak."

Zac terdiam sejurus, “Nanti kita ke tukang pangkas rambut, juga jangan dekat-dekat Altan dulu, dia belum bisa dipercaya."

Mungkin Liuna bisa mengiyakan beberapa kata Zac, tapi untuk Altan yang belum bisa dipercaya, membuat perasaannya remuk.

Altan sudah berubah, kok.

ㅇㅇㅇ

Altan memarkir sepeda motor sportnya di tempat parkir kafe  yang ayahnya janjikan. Dia belum masuk ke dalam kafe, menunggu telepon dari Prakash sembari menelepon Liuna. Ya, ide itu muncul begitu saja.

Ada apa?"

Suara dari seberang sana membuat senyum Altan merekah bak bunga, dia kira Liuna tidak akan mengangkatnya seperti yang lalu-lalu.

“Kalo gue rindu, gimana?"

Hening sejenak, “Ya, gimana? Aku harus apa?"

“Harus bilang rindu lo juga."

Altan maksa?"

“Iya."

Tiba-tiba, seseorang memanggil Altan membuatnya menoleh dan menangkap sosok Prakash berdiri tidak jauh darinya. Dan saat itu juga, Liuna mengucapkan keinginan Altan.

Aku rindu kamu juga."

Altan kembali mendekatkan ponselnya ke telinga, “Na, gue tutup dulu, ya?"

“... Iya."

“Gak usah kelamaan nongkrong di parkiran, lah," ujar Prakash seraya menepuk pundak Altan.

“Gue gak nongkrong."

“Oh, ya udah, masuk!"

“Lo duluan."

“Oke." lantas, Prakash meninggalkan Altan di belakang.

Sebelum benar-benar meninggalkan sepeda motor sportnya, Altan mengetikkan sebuah pesan pada Zara.

Malam ini, Altan bakal ketemu istri baru Ayah, Ma.

Apapun mengenai ayah Altan, Zara sudah tahu lebih dulu. Karena yang Altan ketahui, Zara amat mencintai pria berengsek itu. Dan Altan berharap, Zara segera menceraikannya, dia tidak mau ibunya diam-diam menyimpan luka.

Altan hendak melangkah, tapi sebuah pesan masuk di ponsel pintarnya menyita perhatian. Dia memilih untuk melihatnya sejenak.

Jaga tata krama kamu ya, sayang

Sejenak rasanya napas Altan tertahan oleh sesuatu. Dia sangat tidak menyangka Zara akan membalas pesannya seperti itu. Apa semua ibu selalu berusaha terlihat kuat di depan anaknya? Tapi yang pasti, semua luka beliau tepikan sekadar melihat anaknya tersenyum lebar.

_______________________

Untuk sementara, penggambaran Liuna seperti di mulmed :)

Enjoy it!

ㅡwriterthor

Altan PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang