F

436 22 0
                                    

PENYEMANGAT

Selalu di sini, bahkan menetap
Gue cuma nunggu satu hal,
Lo peka sama perasaan gue."

📼📼

Liuna

Abang Zac sempat marah dan ingin melaporkan orang-orang yang menyudutkan diriku hingga kacamataku rusak. Kak Lesha juga, dia mencak-mencak sambil berceloteh cepat yang aku sendiri gak mengerti. Beda lagi kalau Umma, Umma menyuruh Abang Zac dan Kak Lesha untuk sabar. Dan satu wejangan untukku agar tetap bersyukur. Bersyukur karena Tuhan masih menyayangiku. Umma juga bilang kalau ujian ini pasti aku bisa menghadapinya, karena Tuhan gak akan memberikan ujian yang melebihi batas kemampuan hamba-Nya.

Aku tersenyum mengingat memori kemarin, lantas memasang lagi kacamata baru dengan bingkai bulat tapi lebih besar dari sebelumnya.

“Hai, Liuna!" aku yang hendak saja meletakkan seragam ke loker, langsung menoleh pada orang itu. “Eh, iya." jawabku. Aku kenal dia, dia itu Zianna Eysha. Akhir-akhir ini, dia sering menyapaku, mengajakku ke kantin, dan mengobrol bersama. Mungkin ini rasanya punya teman.

“Bareng gue ke lapangan, yuk?" Zia tersenyum, ya, hari ini kelasku terjadwal untuk olahraga. Aku sudah siap.

“Ayo." balasku, aku gak mudah bergaul begitu saja tapi karena Zia termasuk kategori orang supel, aku jadi terbiasa dan nyaman.

Aku harap dia teman yang baik untukku.

ㅇㅇㅇ

Altan

“INI, INI!" Bu Adil, sumpah! Telinga gue rasanya mau petjah! Awalnya bukan Bu Adil yang menangani gue, melainkan Pak Budi, membiarkan gue berdiri di halaman depan sampai Bu Adil datang.

“Ini darah? Kalian berantem di luar sekolah?" Tongkat Bu Adil nunjuk-nunjuk setiap noda darah di seragam gue yang berantakan.

Ya kalau tau gini, gue gak bakal meladeni si Prakash. Mulanya gue berangkat sekolah dengan tujuan baik, tapi si Prakash datang pakai gaya-gayaan sama motornya di depan gue. Ya dia nyolot, kalau gak, gue gak bakal tonjok wajah mulus dia.

“Dan kamu juga, Eldan! Kamu mau jadi anak berandal sekarang?"

Gue bungkam sambil nunduk, bukan cuma gue sih tapi Prakash dan Eldan juga. Gue gak peduli soal Eldan yang sok jadi superhero kesiangan, karena dia rival gue sekarang.

Tanpa persiapan buat terima serangan dari Bu Adil, kami semua terkena cubitan manja di pipi. Terus Bu Adil bilang, “IH! GEMES DEH!"

“Aw!" gue berseru atas rasa sakit, terus diikuti suara Prakash dan Eldan. Tanpa gue sadari, suara kami mirip seriosa yang berkata aw, aw, dan aw dengan tingkat nada tinggi yang berbeda.

“Sekarang kalian ikut ibu ke lapangan!"

Gue santai aja tapi orang di samping gue kayaknya enggak, auranya udah gak enak gitu, gue pun menoleh. Dan yap, si Prakash menatap gue dengan tajam, padahal gak mempan. Kasihan tuh mata, bisa berair.

Sesampainya di lapangan sekolah yang luas ini, gue kaget bukan main. Gue baru sadar kalau Liuna olahraganya hari ini, meski dia gak sekelas sama gue tapi gue tahu.

Liuna bareng teman-teman sekelasnya lagi pemanasan.

“Kalian bertiga pakai ini!" Bu Adil mengalungkan sesuatu pada kami bertiga, gue mengernyit dan melihat tulisan di kardus berbentuk persegi panjang itu.

“Saya penuh dosa." ucap gue yang keluar dari mulut.

“Benar! Sekarang kalian lari lima kali putaran!"

Bisa gue denger si Prakash yang kesal, tapi gue tetap santai. Lalu mulai melangkah pelan-pelan terus lari kecil. Saat itu juga, pemanasan kelas Liuna selesai dan dilanjutkan berlari memutari lapangan kayak gue. Senang banget pastinya.

Gue memelan, beberapa cewek yang lewat liat gue sambil mesem. Gue tau kalau gue tampan. Enggak, bukan itu yang gue mau, gue nunggu Liuna yang ada di belakang, tapi dia gak kunjung lewat. Akhirnya gue berbalik dan berlari mundur.

Liuna tepat di belakang gue, agak jauh. Gue tahu, dia pasti takut.

“Gak usah takut, Na!" teriak gue, “Lo ingatkan kata dia waktu itu, secara bertahap pasti bisa ...!"

Dia? Ya, cuma Liuna yang paham maksud dari perkataan gue. Dia yang gue maksud adalah psikiater Liuna dulu, gue pernah terlibat dalam proses terapi Liuna. Gue sadar dari situ, kalau yang gue lakukan itu salah dan berakibat fatal pada mental Liuna.

Sebenarnya, dari awal gue udah merasa bersalah tapi orang itu terus menghasut gue.

Sekarang, gue lebih peduli sama Liuna yang larinya pelan, gara-gara gue pasti. Dia terus nunduk, gue jadi kecewa. Seberapa buruk gue di mata dia?

“Liuna!" panggil gue, dan senangnya, Liuna mengangkat kepalanya ke gue tapi kelihatan takut gitu.

Gue menghela napas, dengan yakin gue langsung membentuk tanda hati di dada dengan kedua tangan gue, terus bilang, “Semangat!"

“Lah, kenapa kamu malah pdkt?" suara Bu Adil menyambut gue yang tanpa sadar gue udah balik ke tempat semula, banyak juga pasang mata yang melihat gue. “Mau ibu cubit lagi?"

“Eh, enggak, Bu, saya mau lari lagi aja." ucap gue terus langsung lari. Argh, padahal belum sempat lihat ekspresi Liuna tadi. Bisa aja dia udah gak suka Eldan, kan?

ㅇㅇㅇ

Tadi, Liuna merasa senang sekaligus takut. Agar tidak bingung, Liuna bisa mendedikasikan rasa takut itu untuk Altan, sedangkan rasa senang untuk Eldan. Liuna juga tidak mengerti maksud Altan membentuk tanda hati dengan tangannya, apa untuk permintaan maaf karena masa lalu itu?

“Liuna ...!" Zia datang dan duduk di samping Liuna yang sedang melipat seragam olahraganya.

“Ya?"

“Lo kenal Altan, ya?"

Liuna bungkam sejurus, “I...iya."

“Lo kenal dia dari kapan?"

“Baru-baru ini ...." Liuna berdusta dan harus merasa tidak nyaman karena itu.

“Oh, tapi kok, kayaknya kalian teman lama, deh, soalnya dia kasih lo semangat pake tanda hati lagi."

“Eh, itu ya, aku sendiri gak mengerti kenapa."

Zia tertawa, “Dasar Altan ...! Mau jadi generasi playboy kayak Nolan kali, ya?"

Liuna tersenyum. Lega. Jika mereka tahu masa lalu itu, entah apa yang akan terjadi. Untuk sementara ini, cukup Altan saja yang tahu fobianya.

“Oh iya, besok gue bakal ngajak lo main, mau?"

Liuna berpikir sebentar, itu lebih baik daripada sendirian terus, “Iya." ucapnya sambil tersenyum.

“Kalau gitu, gue pergi dulu, ya, Yera pasti nyariin." ucapnya yang dibalas senyuman oleh Liuna.

Namun, nama Yera terasa tidak asing bagi Liuna. Yera Cantika? Yera yang pernah memberitahu orang tua Liuna bahwa ada orang yang menindasnya. Mungkin saja.

_______________________

Hai readers! Kasih kritik dan saran kalian, dong. :) gak maksa juga sih, ngehe

Enjoy! And hope you'll like!

Regards
ㅡwriterthor

Altan PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang