17

420 22 0
                                    

Hari mulai menjelang sore, cahaya orange terlihat bergitu menawan di ufuk barat, cahaya itu begitu cantik bahkan sayang untuk dilewatkan namun tidak bagi seorang remaja yang tengah berusaha untuk melepaskan beban fikiran. Baginya cahaya itu sebagai tanda bahwa ia tak pernah berhasil melupakan apa yang dirasakan.

Peluh terus menetes di pelipis dan tanaganyapun telah terkuras habis, namun ia tak berniat untuk berhenti sebelum ia melupakan seluruh beban fikiran dan batinnya. Rasa hampa itu begitu menyiksa, ia benci dengan suasana hatinya yang begitu rapuh sedikit saja tersentuh pasti rasa itu akan membuncah dan terpecah.

"Aaaaarrrrrrrrggggghhhhh!!!!!"

Ia menggeram marah, rasa kesalnya telah mencapai ujung. Mengapa di saat ia menemukan secercah kebahagiaan semuanya terus di gerus tanpa henti, dulu ia pernah kehilangan sesosok manusia yang begitu berarti dan sekarang kembali di rebut.

"Gue muak akan semuanya!!!!!", desisnya marah.

Bola itu terus terpantul keras seiring ia meluapkan apa yang tengah ia rasakan, sendiri dan di benci itu adalah sesuatu yang amat menyakitkan. Apakah salah jika ia menyukai dan ingin melindungi namun sosok itu tak ingin ia mendekat.

"Sampai kapan gue seperti ini?!, menyedihkan!", hardiknya pada diri sendiri.

Namun seberapapun ia mencoba untuk melupakan tetap saja bayangan itu terus menempel kuat, sebab sosok itu telah terpatri di dalam hatinya. Perlahan ia memejamkan mata walaupun emosi menguasi namun hatinya tetap memendam rindu.

"Gue emang lemah", batinnya disusul dengan helaan nafas lelah.

Matanya terpejam kuat namun ketika logikanya telah bekerja normal matanya seketika membuka bahkan tenaganya seperti pulih kembali.

"Tapi bukan berarti gue nyerah gitu aja", lanjutnya.

Ia mulai melangkah seraya mendrible bola tersebut ke arah ring saat tepat di titik pelemparan, kembali ia terdiam namun tangannya masih bergerak memantulkan bola.

"Gue emang di benci", ia berguman saat pantulan pertama.

"Gue emang ngga beruna", lanjutnya.

"Bahkan gue memuakan baginya", ia mulai fokus membidik.

"Tapi terserah itu keputusan dia", dan akhirnya ia melepaskan lemparan.

Bola itu terlepas melambung ke arah ring namun mengarah keras pada papan dan membuat bola tersebut melambung ke arah luar lapangan. Ia hanya terdiam melihat ke arah ring, tembakannya ternyata meleset.

"ini", ucap seseorang dengan nada yang begitu lembut.

"Suara itu...", batinnya bergumam ketika mendapati suara yang begitu familiar.

"Ini bolanya", kembali orang itu berucap.

Ia mulai membalikan badan melihat pemilik suara lembut itu, matanya melihat objek yang begitu dirindukan, dadanya berdesir tajam, degub itu semakin kencang tak tertahan.

"Dia disini...", batinnya.

Logikanya kembali bekerja bagaimanapun bukankah sosok itu tak lagi membutuhkan dirinya, wajahnya yang tertegun mendadak datar bahkan menyeruak aura dingin.

"Ini bolanya", ucapnya dengan senyuman.

Ia mulai mengambil bola tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun. Perlahan senyuman manis gadis itu luntur, nampak jelas bahwasanya gadis itu kecewa. Tetapi ia tak peduli sama sekali.

Audrey  (Completed) RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang