01: That Man

283 16 0
                                    

Kedua tangannya tidak henti-henti mengipas-ngipas dirinya dengan buku catatan. Keringat pun terus-menerus mengalir dari dahinya. Karena harus berdiri di lapangan sehabis upacara, ia harus pasrah seragamnya basah.

Dia hanya telat sebentar tadi karena telat bangun.

"Nggi, ada tisu, nggak?"tanyanya ke Anggi yang sedang bermain handphone di bangkunya, tepat di depannya.

Anggi memberi se-pack tisunya. "Kalau keringat bisa dijual, udah kaya lo, Rie."

Sembari mengelap keringatnya, Alvarie juga setuju. "Beli tambang emas, dah gue."

Ia kembali menggerutu ke Pak Adi, guru kedisiplinan yang sekaligus guru penjas. Ya, bapak itu tidak pernah membuatnya merasa sedikitpun senang ketika melihatnya.

Kabar mengenai Pak Adi VS Alvarie Anindya sudah merajalela di Aruta High School.

Bermulanya, ketika Alvarie pertama kali telat, yaitu hari pertama ia menjadi murid di sekolah ini, sekitar satu setengah tahun yang lalu. Sesuai peraturan, berdirilah dia dengan enam orang siswa telat lainnya. Ketika Pak Adi dengan tongkat kayu sepanjang tiga puluh sentimeter itu mengintograsi satu persatu murid yang telat, Alvarie sudah mulai merasa hidungnya gatal.

Tepat ketika Pak Adi telah di depannya, ia bersin dan membuat ingusnya menempel di kemeja biru yang katanya hadiah dari anaknya.

Beliau murka, hingga sekarang.

"Nggak makan ke kantin?"tanya Anggi seraya mengunci handphonenya. "Kayaknya Lisa masih lama, deh di ruang seni. Kan dia susulan piano."

"Ya udah."

Anggi menggandeng tangan sahabatnya itu, meski Alvarie sudah mengatakan kalau ia tidak menyukainya. Anggi acuh tak acuh. Ia hanya menggandeng tangan ramping milik Alvarie.

"Monggu kangen sama lo."ucap Anggi mengenai kucing Persia miliknya yang sangat antusias dengan gadis itu ketika Alvarie main ke rumahnya.

"Ya iyalah. Tampang lo aja galak."ledek Alvarie membuat Anggi mencubit lengannya pelan.

"Sereman muka lo kali!"balasnya.

Alvarie terkekeh melihat wajah Anggi yang seperti itu. Melihatnya tertawa pun membuat Anggi ikut-ikutan tertawa.

"Aw!"

Suara tawa itu tergantikan dengan aduhan kesakitan dari Alvarie.

Sebuah bola kasti berhasil mendarat di kepala Alvarie.

"SIAPA?!"

Murid-murid yang berada di koridor, seakan-akan terhentikan waktu. Semuanya menyaksikan wajah Alvarie yang berubah merah padam. Kedua matanya sangat tajam, memicing ke setiap orang yang pantas untuk disalahkan.

"Lo, yang pake headset."

Semua mata mengarah ke seseorang yang berdiri paling dekat dengan Alvarie. Siswa itu menatap Alvarie, lalu berjalan.

Dan melewatinya.

Alvarie menghembuskan nafas kasarnya, menggulung lengannya hingga setengah, lalu menarik tali headset yang menghambat pendengaran siswa itu.

Mereka berhadapan, seperti hendak tawuran.

Semua yang menonton, berbisik-bisik. Alvarie menatap siswa itu, lalu memiringkan kepalanya, meminta penjelasan. Sementara laki-laki itu hanya diam, membalas tatapannya. Alvarie sadar akan sesuatu.

Iris matanya berwarna cokelat terang.

"Permintaan maaf."pinta Alvarie, berniat membuat laki-laki itu mengerti.

Namun, respon laki-laki itu tidak sesuai harapannya. Siswa itu tetap memasang wajah datarnya.

"Aish."sudah, kesabaran Alvarie sudah habis. Ia berkacak pinggang.

"Cepat, minta maaf!"serunya, sudah seperti pemilik kamar sewa.

Tiba-tiba laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke Alvarie, membuat Alvarie spontan memundurkan kepalanya.

"Apa?"

Dan Alvarie menyesal, tidak menghentikan siswa itu pergi.

☀️☀️☀️i

You Are My SunlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang