19: Changed To Be Riyan

85 5 3
                                    

Alvarie sangat terkejut ketika Anggi tiba-tiba menarik kerahnya dengan kuat. Murid-murid yang hendak keluar mencari makan, mendadak menyaksikan kejadian yang sepertinya enak untuk dilihat. Semuanya mengerumuni mereka berdua. Ada beberapa yang juga dari kelas lain yang bergabung.

"Kok lo tega banget, sih Rie?"seru Anggi dengan mata yang berkaca-kaca.

"Lo kenapa, sih?"bentak Alvarie, lalu menyentak sekali agar tangan Alvarie lepas dari kerahnya. Ia tidak suka terlalu sesak seperti itu.

"Lo suka Rafto?"

Alvarie mengerutkan dahinya. "Maksud lo apa?"

"Jangan ngeles, deh."ucapnya tajam, lalu berbisik ke Alvarie. "Walaupun lo nggak peduli dengan cerita gue, setidaknya lo tau, Rie."

"Anggi!"

Suara tinggi Alvarie tidak menghentikan Anggi keluar dari kelas. Alvarie memegang kepalanya, terasa sedikit pusing. Orang-orang disekitar mulai bubar dengan cerita-cerita tentang kejadian tadi. Perlahan, pandangannya kabur dan dadanya sedikit sesak.

Lalu tubuhnya ambruk ke lantai.

****

Prof. Ayra berharap-harap cemas, menunggu Alvarie segera sadar. Ia sengaja tidak meletakkan Alvarie ke UKS, melainkan di ruangannya. Mungkin, ia harus menghadapi berbagai pertanyaan dari guru-guru dan kepala sekolah. Ia pun mungkin harus mudah menerima berbagai kritikan dari murid-muridnya nanti.

Prof. Ayra hanya cemas. Kalau orang lain, ketika pingsan, lalu bangun dan merasa sedikit baikan. Tetapi, bagi orang-orang seperti Alvarie, ada hal-hal yang harus diperebutkan untuk bangun menjadi dirinya sendiri.

"Bu Ayra, ini—,"

Prof. Ayra menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang siswa yang tengah membawakan setumpuk buku.

"Letakkan saja di meja, Alden."ucap Prof. Ayra tanpa sedikitpun melepas pandangan dari Alvarie yang tertidur pulas.

Alden menurut, lalu meletakkan setumpuk bukunya di meja Prof. Ayra. Ia menoleh ke arah sofa yang tengah dipandangi tanpa lepas oleh guru konselingnya itu. Kedua alisnya tertaut ketika melihat seseorang yang tengah tertidur pulas di sana.

"Alvarie?"

Entahlah, nama itu langsung ada di benak Alden.

Mendengar itu, Prof. Ayra menoleh. "Kamu kenal Alvarie, Den?"

Alden menggaruk tengkuknya. "Ya... sekedar kenal."

Senyum Prof. Ayra terlukis. "Syukurlah."

Alden berjalan menuju Prof. Ayra. "Dia kenapa, Bu?"

"Ah... Alvarie sakit. Tadi ia pingsan."jawab Prof. Ayra yang mendapat anggukan dari Alden. Alden menatap Alvarie yang sedang terlelap itu. Mungkin, Alvarie sakit akhir-akhir ini, sehingga ia tidak penah pergi ke gudang lagi.

"Saya pamit, Bu."ucap Alden akhirnya.

"Beri tahu teman-temanmu agar mengumpulkan tugas tentang diri sendiri minggu depan."pesan Prof. Ayra yang mendapat anggukan dari Alden.

Alden menutup pintu dengan hati-hati. Sebelum itu, ia seperti mendengar suara berat di dalam sana.

"Ayra, kita ketemu lagi."

****

Rafto menutup laptopnya ketika jam menunjukkan pukul empat sore hari. Murid-murid yang lainnya sudah pulang dua jam yang lalu. Ania, sekretaris OSIS yang tadi menemaninya, sudah pulang setengah jam yang lalu karena ada acara keluarga. Yang tersisa di ruangan ini, hanya dirinya.

Ia memasukkan laptop yang berisi banyak dokumen penting ke dalam tasnya. Ketika ia ingin pergi, langkahnya terhenti setelah melihat seseorang berada di ambang pintu, membalikkan tubuhnya.

"Aya?!"tebaknya.

Gadis itu tidak menjawab, melainkan tetap berada diposisinya. Rafto tersenyum, menghampiri Alvarie, lalu menepuk bahunya.

"Kenapa Ya? Gue kira lo udah pulang."ucap Rafto.

Gadis itu berbalik, membuat senyuman Rafto berkembang. Namun, tidak berlangsung lama ketika matanya bertemu langsung dengan mata gadis itu. Sorot matanya tajam dan dingin. Rafto tahu, iris mata Alvarie berwarna biru, tetapi sekarang, iris itu berwarna hijau.

"Lo nggak pa-pa, Rie?"tanya Rafto khawatir.

Gadis itu mendekat, membuat Rafto bergerak mundur. Terasa mengerikan.

Bugh! Bugh! Bugh!

Rafto terlempar ke tanah. Tiga pukulan bertubi-tubi secara tiba-tiba itu membuatnya meringis kesakitan. Alvarie menarik kerahnya hingga lehernya terangkat dari lantai.

"Jangan pernah dekatin Alvarie lagi!"seru Alvarie.

Itu bukanlah suara Alvarie. Suara itu sedikit berat dan dingin, tidak seperti suara Alvarie yang datar.

"Lo siapa?"tanya Rafto, sedikit takut.

Apa Alvarie kerasukan? Dipikir-pikir lagi, sekarang sudah sepi dan mereka berada di sekolah yang banyak mengandung cerita-cerita tentang hal itu.

Gadis itu menarik sudut kiri bibirnya, menyeringai.

"Kayaknya, kita pernah ketemu."

"Dimana?"

"Taman kota, dua tahun yang lalu."

"Riyan!"

Gadis itu segera melepas genggamannya. "Sial."

Rafto masih membeku di tempat ketika Alvarie pergi. Tidak lama kemudian, Prof. Ayra datang tergopoh-gopoh.

"Raf, liat Alvarie nggak?"tanyanya.

Rafto menunjuk ke arah dimana gadis itu lari. Prof. Ayra berlari lagi ke sana.

"Riyan!"

Kedua mata Rafto mengerjap.

Riyan?

****

You Are My SunlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang