Ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, sehingga ia bisa melihat dengan jelas. Masih di tempat yang sama.
"Eh, lo udah baikan?"
Alden berusaha duduk, dibantu dengan Alvarie, lalu ia menepisnya dengan tegas.
"Gue.. bisa.. sendiri."ucapnya, penuh penekanan, membuat Alvarie melepaskan pegangannya. Alvarie duduk dihadapan laki-laki yang sedang mengurut tengukuknya itu.
Tadi listrik tiba-tiba mati ketika ia sedang berbicara. Tiba-tiba ia mendengar raungan seseorang/ Alvarie meraba lantai dan memegang tangan Alden yang tergeletak di lantai. Ia menggoyangkan tubuh itu, tetapi tidak ada sahutan. Alvarie menyalakan senter dari HP-nya dan terkejut ketika melihat Alden pingsan.
Listrik kembali hidup dan Alvarie merogoh sakunya dan memasukkan obat penenang ke mulut Alden dengan terpaksa. Ia mengipas laki-laki itu, berharap segera sadar.
Ketika Alden sadar, Alvarie lega bukan main.
Melihat Alden yang terdiam, Alvarie hanya bisa menghela napas.
"Hei, jangan terlihat seolah-olah lo yang paling buruk di dunia."ujar Alvarie dengan suara pelan.
Alden menggumam. "Lo nggak ngehibur dengan suara bergetar itu."
Alvarie berdehem, salah tingkah. Iya, sih, ketika mengatakannya, hati dan mulutnya terasa berbeda. Seperti menyindir diri sendiri.
"Kayaknya lo memang nggak butuh obat, deh."ucap Alvarie tiba-tiba.
"Kenapa?"
Alvarie mendekatkan wajahnya. "Kayaknya, lo cuman butuh gue. Iya, nggak, penguntit setia gue?"
Alden berdecih. "Mulai."
Gadis itu tertawa. Alden merasakan sebuah kehangatan dengan suara tawanya.
Tunggu. Alden barusan bilang apa tadi?
Gadis itu berdiri, menyibak roknya yang terlihat kotor karena tadi ia duduk begitu lama di lantai. Tangan kanannya terulur ke Alden.
"Jangan sakit sendirian."
Hari itu, Alvarie membukakan hatinya untuk Alden.
Agar laki-laki itu bisa berbagi kesakitan dengannya.
Karena ia tahu, tidak enaknya memendam sakit sendirian.
☀️☀️☀️
Ketika Alden memasuki apartemennya, Prof. Gita tengah tertidur di atas sofa. Alden mengulum senyum, meletakkan tasnya di kamar, lalu membereskan sampah snack yang berjatuhan dari sofa yang dtiduri Prof. Gita. Gerakannya tertahan ketika melihat wajah Prof. Gita yang tertidur. Ia tidak bisa menahan senyum lebarnya. Disingkirkannya anak-anak rambut yang mengganggu wajahnya.
Terlihat manis.
Ia membuang sampah itu ke tong sampah, lalu memakan yoghurt rasa blueberry. Rasa masam itu tidak terlalu menyengat di mulutnya. Tidak ada rasa.
"Oh, Alden?"Prof. Gita sudah duduk. "Kamu ngapain di sini?"
"Kebalik?"
Prof. Gita melihat ke sekelilingnya, lalu menepuk dahinya.
"Kamu benar."
Alden hanya mengangkat bahunya.
Prof. Gita berjalan ke dapur dan meneguk segelas air. "Den, kamu temanku, tau."
"Terus?"
"Bisakah kita curhat?"kata Prof. Gita, lalu duduk dihadapan Alden.
"Kalau mau cerita, silahkan."
Prof. Gita merasa jengkel. "Kamu tahu, bukan itu maksudku."
"Aku nggak tahu."
Rasanya, Prof. Gita ingin menelan Alden hidup-hidup.
"Ada apa ke sini?"
Pertanyaan Alden membuat Prof. Gita ingat sesuatu.
"Untung kamu menanyakannya."ujarnya, lalu berlari kecil ke sofa dan mencari sesuatu di tasnya. Sudah lima tahun ia melihat Prof. Gita. Sudah selama itu, ia rasa terlalu mengenal dokternya itu.
"Dari Sir Jack."ucap Prof. Gita seraya menyerahkan amplop cokelat.
Alden melirik amplop itu. "Untuk apa?"
Prof. Gita menggeleng. "Nggak tahu juga."
"Buang aja."balas Alden, lalu beranjak dan membuang bekas yoghurtnya yang habis ke tong sampah.
"Alden!"
Langkahnya terhenti ketika Prof. Gita memanggilnya.
"Prof, jangan terlalu patuh padanya."bisik Alden parau sebelum ia mengunci dirinya di kamar.
Prof. Gita menatap lama ujung jari kakinya. Masih mencerna apa yang baru saja dikatakan Alden.
☀️☀️☀️
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Sunlight
Подростковая литератураBagi Alden, Alvarie itu seperti cahaya matahari. Ia hadir untuk menghilangkan gelapnya malam. Kehadirannya membuat semuanya terbangun dari mimpi, entah itu baik atau buruk. Alvarie membangunkannya dari mimpi-mimpi buruk yang menyakitinya setiap s...