Persidangan akan dimulai sebentar lagi.
Ia rela bolos pelajaran demi menghadiri persidangan hari ini. Berkat bantuan Professornya, ia bisa keluar dari sekolah dengan mudah. Ia bersyukur kalau ia belum terlambat.
Persidangan yang sudah enam bulan ia tunggu.
Tersangka dipersilahkan masuk begitu persidangan dinyatakan mulai. Seorang paruh baya masuk dengan seragam penjara dan diiringi seseorang yang berpakaian rapi. Setelah itu, hakim mempersilahkan jaksa untuk membacakan tuntutannya.
"Saudara Arief Soermadjan dituntut atas pembunuhannya lima tahun yang lalu terhadap kasus lima tahun yang lalu, yang menetapkan saudara Kama yang tidak bersalah dipenjara selama lima tahun dan dibebaskan tujuh bulan yang lalu."
Jaksa menunjukkan bukti-bukti untuk menyudutkan tersangka. Lalu, pengacara memberikan bukti-bukti untuk membela kliennya. Ketiga hakim terlihat mencatat sesuatu, menimbang-nimbang, kemudian mempersilahkan jaksa untuk menunjukkan bukti terakhir.
Jaksa memiliki saksi.
Seorang laki-laki seusianya memasuki ruangan dan duduk di kursi saksi. Ia mulai berbicara kesaksiannya ketika hakim mempersilahkan.
"Waktu itu, Amel ingin bermain di rumahku."ucapnya, sedikit gugup. "Di rumahku, hanya ada kami dan Ayahku. Saya ingin mandi karena baru pulang dari tempat kursus. Jadi, saya meninggalkan mereka berdua di ruang TV."
"Ketika saya sudah selesai mandi, hanya ada Amel di ruang TV. Saya bertanya, dimana Ayah saya. Kata Amel, Ayah saya sepertinya pergi ke apartemen Kak Kama."
"Amel mengira, Ayah saya bertemu Kak Kama, jadi ia bilang akan menyusulnya. Amel menyukai Kak Kama karena kebaikannya. Saya bilang akan menyusulnya setelah menyisir rambut."
"Saya menyusul mereka. Saya memasuki kata sandinya karena saya mengetahuinya. Tiga hari sebelum itu, Kak Kama memberikannya ke saya, Alvarie, Amel, dan ayah saya karena waktu itu kami ingin bermain di apartemennya."
"Ketika saya masuk ke dalam, hanya ada satu penerangan dengan cahaya remang-remang di dapur. Saya yang tidak menyukai gelap, berusaha menemukan saklar. Begitu menemukannya, saya langsung menekan dan melihat... Amel yang tergelak di lantai, sudah tidak sadarkan diri. Tidak jauh dari sana, saya melihat ayah saya yang memegang pisau dengan darah. Sidik jarinya mungkin tidak terbaca karena ia mengenakan sarung tangan."
Ia tahu, seberapa beratnya bersaksi atas kesalahan ayahnya sendiri.
"Ia langsung menggendong saya balik ke rumah dan mengancam saya untuk tidak memberitahukannya pada siapapun. Setahu saya, dulu, Papa Amel adalah hakim yang salah mendakwa ayah saya yang tidak bersalah hingga ia dipenjara dengan tuntutan pencurian selama dua tahun dan tidak bisa melihat nenek saya yang meninggal."
Saksi mengepal kedua tangannya, memberi kekuatan untuk dirinya sendiri.
"Tetapi, kali ini ayah saya benar-benar salah. Tolong, hukumlah sepantasnya."
****
Setelah sidang selesai, ia menghampiri laki-laki yang menjadi saksi itu. Ia menenangkannya karena sedaritadi, laki-laki itu menangis.
"Lo udah ngelakuin hal yang benar, Ka."hiburnya.
Arief, Ayah Arka dijatuhi hukuman dua puluh tahun penjara.
Arka mengelap air matanya. "Gue nggak nyesal. Demi Alvarie."
Alden menepuk punggung Arka, mengangguk. "Iya. Demi Alvarie."
Alden berpamitan dengan Arka, ingin ke rumah sakit. Alden menyetop taksi lalu segera menuju rumah sakit. Di perjalanan, ia masih terbayang-bayang dengan persidangan tadi. Jika saja gadis itu melihatnya, ia pasti sudah tersenyum lebar mengingat Kama yang sudah bersih namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Sunlight
Teen FictionBagi Alden, Alvarie itu seperti cahaya matahari. Ia hadir untuk menghilangkan gelapnya malam. Kehadirannya membuat semuanya terbangun dari mimpi, entah itu baik atau buruk. Alvarie membangunkannya dari mimpi-mimpi buruk yang menyakitinya setiap s...