22: I Will

91 8 1
                                    

   Hari ini, Alvarie tertangkap basah dengan Pak Adi ketika memanjat tembok belakang sekolah. Terlambat lagi.

"Pak, ganti dong hukumannya. Saya bosan nulis."keluh Alvarie setelah selesai menulis baris ke-24.

"Saya udah lama nggak ngehukum kamu."balas Pak Adi yang asyik dengan handphonenya.

Alvarie melempar pena-nya ke sembarang tempat. "Mager."

Pak Adi melirik ke siswi yang sudah berkali-kali membuatnya gila itu. Wajahnya berlipat-lipat.

"Tapi, saya heran, deh,"sahut Pak Adi seraya menopang dagunya. "Kamu ke sekolah ngapain coba?"

Alvarie ikut-ikutan menopang dagu. "Ketemu bapak."

Pak Adi menggebrak meja. "Selesaikan sepuluh lembar itu!"

Alvarie memajukan bibirnya, lalu mengambil pena lagi di kotak pensilnya dan mulai menuliskan kalimat, saya tidak akan terlambat lagi.

"Alden?"

Gadis itu mendongakkan kepalanya ketika nama itu terdengar di telinganya. Alden yang sedang memegang tumpukkan buku, melebarkan kedua matanya begitu melihat Alvarie di ruangan ini.

"Kamu kalah suten lagi?"tanya Pak Adi.

"Ah... iya..."

Alden tidak bisa berpaling dari tatapan memohon Alvarie. Gadis itu menulis sesuatu ditelapak tangannya.

Help.

Alden menggeleng, tidak mau.

Alvarie menulis lagi di tangan satunya.

Bu Ayra. BK.

"Ada apa nak?"

Alden tersentak kaget. "Nggak pa-pa, Pak."

"Sampai kapan mau berdiri di sini?"tanya Pak Adi heran. "Ada yang mau kamu sampaikan?"

Alden harus memutuskan sesuatu. Dalam sepuluh detik.

Ia tidak mau karena tidak ingin terlibat dengan masalah orang lain. Namun, di sisi lain, ia merasa Alvarie benar-benar membutuhkan pertolongannya.

"Alvarie dipanggil ke BK."

Sungguh. Alden tidak bermaksud berbohong dengan gurunya sendiri.

Pak Adi mengerutkan dahinya. "Alvarie yang itu?"

Alden mengangguk cepat. "Iya, yang itu."

"Ada perlu apa?"

"Saya... cuman disuruh panggil, Pak."

Laki-laki itu berharap, Pak Adi tidak menaruh curiga dengannya.

Pak Adi memalingkan wajahnya ke Alvarie yang sudah harap-harap cemas.

"Setelah itu, kembali ke sini, Alvarie Anindya Resna."pesan Pak Adi, membuat Alvarie bersorak di dalam hati. Setelah mereka berdua keluar dari ruangan, Alvarie memukul punggung Alden pelan.

"Makasih, ya."ucapnya, kesenangan.

Alden yang merasa terkejut dengan budaya mendadak itu, berdehem. "Telat?"

"Hm. Biasalah."balas Alvarie, lalu memasang wajah cerah ke Alden. "Lo mau apa?"

"Gue?"

"Sebagai balasan."

Alden tidak memikirkan hal itu sebelumnya. "Entah."

Alvarie merengut. "Lo benar-benar canggung."

"Terserah lo."

"Ya udah, gue yang nentuin."ujar Alvarie, lalu berpikir sejenak.

"Nggak—,"

"Jalan-jalan, mau?"

Alden melipat kedua tangannya di depan dada. "Lo suka jalan-jalan?"

Alvarie mengangkat bahunya. "Kayaknya."

"Kemana?"tanya Alden, menyerah.

"Taman kota."

Alden menghela napas berat. "Panas."

"Kalau lo nggak bisa beriringan dengan gelap, seenggaknya lo bersahabat dengan matahari, Alden Aprilio Ananta."bisik Alvarie, lalu berlari menjauh seraya melambaikan tangannya.

"Eh, lo tau darimana nama panjang gue?"seru Alden yang dibalas Alvarie senyuman misterius.

Apa Alvarie benar-benar penguntitnya?

****

Alvarie merebahkan dirinya di atas sofa. Prof. Ayra yang sedang mengetik sesuatu di laptop. Terkejut dengan kedatangan gadis itu. Ia membuatkan susu vanilla untuk Alvarie.

"Telat lagi, Rie?"tanyanya, lalu duduk di sebelah Alvarie yang mengambil cangkir itu.

"Ya."

"Ke sini pake apa?"

"Bus."

Prof. Ayra menyesap teh-nya sejenak. "Siapa yang nyelamatin kamu dari ruang piket?"

Tentu saja, Prof. Ayra pandai menerka-nerka.

"Alden."jawab Alvarie singkat.

"Ah, nyctophobia itu?"ujar Prof. Ayra yang mendapat anggukan dari Alvarie.

Mengenai penyakit Alden, Alvarie mengetahuinya dari Prof. Ayra beberapa waktu yang lalu. Dulu, Alvarie pernah bertanya tentang siswa yang memiliki penyakit kejiwaan di sekolah ini. Ternyata, Prof. Ayra baru-baru ini tahu dari temannya sesama psikolog. Ada siswa yang mengidap nyctophobia. Lalu, Alvarie menceritakan semuanya ke Prof. Ayra dan ia menyimpulkan satu hal. Mungkin saja, siswa itu Alden.

Kesimpulan itu diperkuat dengan reaksi Alden dengan pertanyaan tentang itu.

"Prof, bagaimana seseorang bisa terkena nyctophobia?"tanya Alvarie yang sedikit penasaran mengenai hal itu.

Prof. Ayra menyenderkan punggungnya dan menjelaskannya.

"Penyebabnya bisa saja trauma dengan sesuatu yang gelap atau dari lahir. Tetapi, kebanyakan karena trauma. Mungkin, di masa kecilnya, ada suatu kejadian yang membuatnya stress jika dipikirkan dan berujung berubah menjadi sebuah ketakutan. Seluruh penyakit berawal dari tekanan."

"Apa menurut Prof, Alden memiliki trauma dengan masa lalu?"terka Alvarie, mengambil kesimpulan.

Prof. Ayra mengangguk. "Tapi, jangan gegabah dengannya, Rie. Kita tidak tahu tingkatan mana Alden tempati sekarang. Jika ia di tahap parah, kita tidak boleh mengungkit hal-hal tersebut karena mereka terlalu sensitif di tahap itu."

Alvarie terdiam, menatap televisi yang tidak menyala itu. Jujur, ia ingin membantu Alden. Alasannya, mungkin karena ia tahu rasanya, ia tidak ingin Alden ikut merasakannya. Jika orang itu bukan Alden, Alvarie rasa ia juga akan membantu orang itu.

"Prof, aku ingin membantunya."lirih Alvarie pelan, dengan tatapan lurus.

Prof. Ayra memanggut, lalu mengusap punggung Alvarie.

"Bantulah, sebisa mungkin."

Prof. Ayra sangat tahu sifat asli gadis itu.

****

You Are My SunlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang