Bel istirahat berbunyi. Tidak ada tanda-tanda kalau Alvarie hendak beranjak dari kursinya. Kedua matanya menatap ke depan tanpa arti. Anggi dan Lisa yang melihatnya, hanya membiarkannya. Toh, kalau diganggu, Alvarie pun tidak suka.
"Lo nggak ke kantin?"tanya Lisa ke anak baru yang masih duduk di kursinya. Di kelas ini hanya ada mereka berempat. Anak baru itu menoleh ke belakang, lalu menggelengkan kepalanya.
"Gue bawa bekal. Mau?"tawarnya, menyodorkan kotak bekalnya yang berwarna putih ke arah mereka. Lisa menarik kursinya lebih dekat ke meja anak baru itu dan mengambil sebuah risol.
"Thankyou."
Anak baru itu hanya tersenyum.
Anggi yang melihatnya, ikut bergabung dengan mereka. "Nama lo..."
"Clay."
"Clay. Nama gue Anggi."ucap Anggi, hangat seperti biasanya. "Dia Lisa. Maklum, kalau ketemu makanan suka lupa diri."
Sementara Lisa, sesuai yang disebutkan Anggi, hanya fokus ke risolnya yang tidak sampai seperempat.
"Mau?"tawar Clay.
Anggi menggeleng. "Makasih."
Mereka asyik berbincang-bincang. Clay berasal dari Palembang dan pindah ke sini karena kedua orang tuanya pindah kerja. Ia juga bercerita, kalau ada murid seperti Anggi dan Lisa di kelasnya yang dulu.
"Yang disana, namanya siapa?"tanya Clay, ketika menyadari ada seseorang di belakang yang larut dalam lamunannya.
"Alvarie."
Clay ber-oh. "Alva—,"
"Jangan memanggilnya begitu. Lo akan kena semprot."bisik Lisa, sebagai orang yang berpengalaman.
Clay mengerutkan dahinya. "Kenapa?"
"Temperamennya buruk. Gue aja nggak tahu kenapa bisa dekat dengan tuh orang."balas Lisa, lalu mendapat senggolan pelan dari Anggi.
"Gue cuman jujur, kok."elaknya, ketika Anggi menatapnya sebagai sesuatu yang salah.
Sementara Alvarie, ia hanya memikirkan laki-laki kemarin, ah, dia lupa lagi namanya. Kejadian dua hari yang lalu masih menghantuinya hingga sekarang. Ia hanya penasaran. Gejalanya, hampir mirip. Tetapi, melihatnya yang sangat ketakutan, tidak bisa dikatakan hanya penyakit ringan.
Alvarie seakan-akan melihat dirinya sendiri.
"Nggi."
Beberapa detik kemudian, tidak ada yang menyahuti panggilan Alvarie. Ia menyadarkan pandangannya, lalu melihat suasana ceria di depan sana. Mereka bertiga. Dua yang dikenalnya, satu asing.
Hanya dia yang terjebak dalam kesuraman.
Mengambil langkah tidak peduli seperti biasanya, Alvarie keluar dari kelas, menuju ruang Prof. Ayra. Dia hanya berpikir, mereka pasti ingin berteman dengan yang lain. Tidak selamanya, mereka berdua akan menyahut ketika Alvarie memanggil.
Tetapi, dia tidak tahu, karena ketidakpedulian itu, mengakibatkan pecahnya suatu hubungan dan menjalin hubungan yang lain.
☀️☀️☀️
Prof. Ayra sepertinya sedang mengajar. Berbekal kunci cadangan yang diberi Prof. Ayra, Alvarie bisa leluasa menyalakan televisi dan menyandarkan punggungnya di sofa favorite-nya itu. Sebuah acara variety show yang menemaninya kali ini.
Lucu. Tapi, menurut Alvarie, tidak membuatnya tertawa.
"Oh, Rie? Ada apa?"tanya Prof. Ayra yang sudah tidak kaget lagi dengan kemunculan mendadak Alvarie. Gadis itu sudah sering menggunakan ruangannya dengan sesuka hati. Lagipula, dia pernah bilang, Alvarie bisa ke ruangannya kapanpun ia mau.
"Capek, Prof."balas Alvarie, lalu memutar saluran televisi. Kali ini tayangan kartun.
Prof. Ayra meneguk segelas air di mejanya, lalu duduk di bangkunya. "Ada yang mengganggumu, Rie?"
"Nggak."
"Kamu nggak bisa bohong sama psikiater."balas Prof. Ayra, membuat Alvarie bungkam sejenak.
Semenit.
Dua menit.
"Memang nggak ada apa-apa, Prof."kali ini, Alvarie berusaha meyakinkan.
"Kamu berbohong, tapi ya sudahlah."ujar Prof. Ayra, lalu membuka sebuah dokumen berwarna biru dongker.
Alvarie menenggelamkan dirinya di sofa. Tayangan kartun itu tidak lagi menarik perhatiannya.
"Oh iya, apakah akhir-akhir ini ada sesuatu?"Prof. Ayra menanyakannya seraya membaca beberapa kertas yang terlihat penting itu.
Alvarie menggeleng. "Tapi, aku meminum obat penenang sekali sehari. Tidak apa-apa, kan Prof?"
Prof. Ayra meletakkan penanya, lalu memandang Alvarie dengan wajah syok. "Apa? Ada yang membuatmu terbebani?"
Ia bisa saja bilang sesuai kenyataannya.
"Aku hanya ingin minum obat. Memangnya salah?"ucap Alvarie tanpa merasa bersalah.
Prof. Ayra tertawa, terpaksa. "Kalau gitu, yang kamu minum itu vitamin, bukan obat penenang."
"Aku nggak ada vitamin."balas Alvarie, melirik sebentar ke wajah Prof. Ayra yang tampak murka, lalu kembali ke layar.
"Aku akan beli selusin vitamin buatmu!"seru Prof. Ayra, lalu terdengar suara berisik dari mejanya. Tanpa melihatpun, Alvarie tahu, Prof. Ayra sedang mengacak-ngacak rambutnya dan memasang wajah yang....
.... mengerikan.
"Tapi, obat penenang.... wah,"Prof. Ayra terdengar seperti tidak percaya.
Kalau Alvarie jadi dirinya, ia pun tidak percaya.
"Aku akan mengunjungimu secara tiba-tiba. Kalau aku memergokimu berlawanan dengan kata baik-baik saja itu, aku akan menyeretmu saat itu juga ke rumahku."
Terdengar seperti ancaman.
Sedangkan Alvarie, hanya diam. Berarti, selama itu, ia tidak boleh memandang langit-langit kamarnya.
☀️☀️☀️

KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Sunlight
Novela JuvenilBagi Alden, Alvarie itu seperti cahaya matahari. Ia hadir untuk menghilangkan gelapnya malam. Kehadirannya membuat semuanya terbangun dari mimpi, entah itu baik atau buruk. Alvarie membangunkannya dari mimpi-mimpi buruk yang menyakitinya setiap s...