Pelajaran sejarah membuat kepala Alvarie hendak meledak. Sejarah perang dunia yang tidak selesai-selesai dibahas sejak SD. Apalagi gurunya Bu Tin yang menerangkan pelajaran dengan suara yang didengar hingga lantai bawah.
Murid seperti Alvarie ini, dibuat stress olehnya.
"Nggi—,"
"Nggi, ikut nggak? Clay ngajak ke kantin."suara Lisa menenggelamkan suara Alvarie.
Anggi memanggut. "Boleh."
Lalu, gadis itu menoleh ke Alvarie. "Ikut nggak, Rie?"
Sebenarnya, Alvarie ingin ikut. Tetapi, sepasang matanya menatap mata Lisa yang tidak tenang. Entah kenapa, ia mencium ada sesuatu yang aneh.
"Duluan aja, Nggi. Gue nggak nafsu makan."akhirnya, Alvarie memilih jalan tersebut.
Clay pun ikutan ketika selesai membereskan bukunya. "Ikut aja—,"
"Kalau dia bilang nggak, emang nggak."lagi-lagi, Lisa memotong ucapan orang.
"Lisa!"tegur Anggi, tidak menyukai ucapan Lisa.
"Benar, kok."sahut Alvarie, lalu menyumbat telinganya dengan headset.
Alunan piano mulai menghias pendengaran Alvarie. Ia memejamkan kedua matanya, menghayati nada pernada. Berkali-kali ia menarik dan membuang napasnya. Semuanya baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirkan.
Dengan headset yang masih bertengger di telinganya, ia berjalan keluar, menyusuri koridor, turun tangga, hingga sampai ke belakang sekolah. Tempat itu sebenarnya ingin dibangun, sehingga masih berserakkan batu-batu kerikil, pasir, beton, dan sebagainya. Alvarie duduk di atas susunan beton, menjulurkan kaki, dan menopang tubuhnya dengan tangan.
Ah, terasa menyegarkan.
Alvarie menemukan tempat ini seminggu yang lalu, ketika ia dikejar oleh Pak Adi untuk menghindari hukuman terlambat. Ia masuk ke beton yang memang tengahnya kosong dan Pak Adi tidak berhasil menemukannya.
Tempat ini mungkin jarang dijamah murid-murid lain. Letaknya saja lumayan jauh dari bagian sekolah yang ramai. Minimalnya, hanya ada tukang-tukang yang mengambil bahan-bahan bangunan. Tetapi, sekarang hanya ada dirinya.
"Na... na.. na."alunan piano tersebut membuat Alvarie bersenandung. Ia tidak tahu lagu apa yang dimainkan piano itu. Prof. Ayra sering mengirimkannya instrument piano seperti ini. Katanya, bisa buat menenangkan.
Ya, lumayanlah.
"Oh."
Mendengar suara Alvarie, siswa yang duduk di balik beton yang sekarang ia duduki, menoleh. Alvarie tadi iseng-iseng saja melihat ke belakang beton dan menemukan seseorang di sana dengan headset, sama sepertinya.
Laki-laki itu.
Sama seperti Alvarie, laki-laki itu sontak berdiri saking kagetnya.
"Lo...?"
Perlahan, laki-laki itu mengambil langkah mundur.
"Nggak."ucapnya dingin.
Tidak. Ia tidak boleh terlihat dikenalnya.
"Lo nggak pa-pa?"
Kepalanya menggeleng dengan cepat. Alvarie lompat dari atas sana dan mendarat tepat dihadapan Alden. Ia merogoh sakunya, mengambil plastik kecil di sakunya, dan menyerahkannya ke Alden.
"Buat apa?"tanya Alden bingung.
Alvarie meraih tangan Alden, lalu meletakkan plastik itu di tangannya. "Seenggaknya, nggak ada orang lain lagi yang melihatnya."
Lalu gadis itu meninggalkan Alden yang masih membeku di tempatnya.
☀️☀️☀️
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Sunlight
Teen FictionBagi Alden, Alvarie itu seperti cahaya matahari. Ia hadir untuk menghilangkan gelapnya malam. Kehadirannya membuat semuanya terbangun dari mimpi, entah itu baik atau buruk. Alvarie membangunkannya dari mimpi-mimpi buruk yang menyakitinya setiap s...