Begitu masuk ke kamarnya, ia melempar tasnya ke sembarang arah, lalu merebahkan dirinya di atas kasur. Tangan kanannya memijit pelan kepalanya, sedikit pusing. Ia sedikit merutuk kejadian tadi.
Kenapa harus ada yang melihatnya?
Begitu dipikirkan lagi, membuat kepalanya tambah sakit. Ia bangkit, lalu membuka kulkas, dan mengambil sebotol air mineral. Air itu diteguknya hingga setengah.
Perutnya lapar.
Ia membuka lemari di atas kompor, mencari kalau-kalau ada stok makanan. Ia berdecak kesal ketika menemukan tidak ada makanan apapun di sana.
"Kamu lupa belanja. Lagi."
Ia baru menyadari, kalau di sini bukan hanya dirinya seorang.
Perempuan yang mengenakan kemeja kotak-kotak yang dipadukan celana jeans semata kaki itu meletakkan sekotak makanan dihadapannya.
"Untungnya, aku ke sini dan membawakanmu makanan."ujarnya.
Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku nggak pa-pa."
Perempuan itu menyunggingkan senyumnya, lalu menggeleng. "Kamu ada apa-apa. Cerita."
Ia menghembus napas dengan kasar, lalu menatap perempuan itu dengan tajam. "Anda hanya sebatas dokterku saja, Prof. Jangan melewati batas."
Ucapan dingin itu sukses membuat suasana hening sesaat, sebelum perempuan itu kembali membalas perkataan dingin pasiennya itu.
"Kalau gitu, aku akan menjadi teman kamu, Alden. Kamu ingin aku memanggilmu apa? Lo? Bro? Guys?"
Lagi-lagi laki-laki itu memandangnya dengan tatapan menusuk, lalu beranjak dengan botol airnya. "Kalau sudah, silahkan pulang, Prof. Gita."
"Ya, tanpa kamu suruh pun, aku juga akan pulang."gerutunya, lalu mengambil tas, dan berjalan menuju pintu.
"Ah iya.."ia menoleh ke Alden lagi. "...kamu tahu, kan, kalau aku selalu mendengarkanmu."
Alis kanan Alden naik. "Maksud?"
Prof. Gita menyengir. "Kalau ada sesuatu, misalnya, kan anak ABG banyak cerita cinta, tuh—,"
"Pulang aja, deh."potong Alden yang tahu arah pembicaraan perempuan yang kembali melipat wajahnya itu. Prof. Gita mendengus kesal, lalu keluar dari apartemen Alden. Ketika suara hak sepatu tidak tertangkap lagi di telinganya, ia duduk kembali, dan meraih kotak makan yang diberi perempuan tadi. Ia membuka tutupnya dan menemukan tiga buah sandwich dan sebuah notes yang ditempel di balik tutupnya.
Aku yang membuatnya. Jangan tertawa. Aku bisa melihatmu.
Gita, your bro.
Ia menatap lirih sandwich yang tidak tertata rapi itu. Bahkan sausnya menempel kemana-mana.
"Kalau nggak bisa buat, ya nggak usah bikin."desis Alden. Ia mengambil sepotong sandwich, lalu mengunyahnya.
Karena lapar, jadi enak di mulut Alden.
☀️☀️☀️
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Sunlight
Teen FictionBagi Alden, Alvarie itu seperti cahaya matahari. Ia hadir untuk menghilangkan gelapnya malam. Kehadirannya membuat semuanya terbangun dari mimpi, entah itu baik atau buruk. Alvarie membangunkannya dari mimpi-mimpi buruk yang menyakitinya setiap s...