Alvarie bergegas keluar kelas ketika Anggi hendak menghampirinya. Entah kenapa, semakin melihat mereka, perasaan direbut selalu muncul dibenak Alvarie. Jadi, sebaiknya, ia menghindar untuk sementara waktu.
Ketika sampai di belakang sekolah, Alvarie mengurungkan niat untuk menghabiskan waktunya begitu melihat satu-dua orang hilir-mudik mengambil barang dengan gerobak semen. Ia berbalik arah, mencari tempat yang lain.
Ia berjalan hingga ke gudang, tempat yang dulu dibersihkannya. Ah, semoga saja lampunya sudah diperbaiki. Alvarie tersenyum ketika ia melihat lampu di tempat itu terang. Harapannya baru saja terkabul.
Ia masuk ke dalam, lalu duduk di lantai, dan menyenderkan punggungnya ke kardus besar. Ia membuka sebuah catatan kecil yang selalu dibawanya kemana-mana dan menuliskan sesuatu di sana. Menulis catatan seperti ini merupakan sebuah kebiasaan Alvarie.
Sembari menulis, sepasang headset berwarna putih senantiasa melekat di sepasang telinganya. Alunan lagu mulai menghiasi pendengarannya.
"Baby I'm falling, head over heels..."
Suara merdu dari Henry membuat Alvarie terlalu menghayatinya hingga ke tulisannya. Lagu ini adalah salah satu lagu yang ia suka. Selama mendengarkannya, selalu membuat dada Alvarie sesak. Perlahan-lahan, kenangan itu muncul kembali seakan-akan tidak pernah hilang. Hari-hari yang enggan Alvarie tinggalkan. Hari-hari bahagia itu.
"Cause you're the right time, and the right moment..."
"You'r the sunlight, keeps my heart going.."
Alvarie menutup notesnya, menyandarkan kepalanya lebih dalam. Kenangan itu perlahan membunuhnya pelan-pelan. Membunuh dalam bentuk rindu.
"Don't leave me, Aya. Because Arka falling deeper to love, with you."
Kenyataannya, dia yang ditinggalkan.
☀️☀️☀️
Anggi menatap semangkuk bakso dihadapannya. Dua orang yang sedang bersamanya asyik mengobrol, seperti tidak mengerti apa yang dia rasakan. Berulang kali ia memikirkan hal ini. Dia melakukan hal yang benar atau tidak. Apa dia sudah melukai perasaan seseorang? Kenapa perasaannya sendiri tidak enak?
"Hei, Lisa."
Lisa yang sedang sibuk tertawa, menoleh ke arah Anggi yang masih memandang mangkuk dihadapannya. "Hm?"
"Lo nggak kepikiran, kalau sekarang, Alvarie sendirian?"Anggi menatap ke arahnya. "Cuman kita teman dia, Lis."
Raut wajah Lisa berubah menjadi masam.
"Terus?"
Anggi menatapnya tidak percaya. "Terus lo bilang?"
"Ya. Terus kenapa?"balas Lisa seraya meletakkan sendoknya di piring siomay.
Clay yang melihatnya, memasang wajah tidak enak. "Jangan berantem dong..."
"Lo sadar nggak, sih, kita cuman dimanfaatin sama tuh orang?"
Anggi berdiri, melotot ke Lisa. "Lisa!"
"Gue benar, kan?"seru Lisa, tidak mau kalah. "Lo mau selamanya berada dipihak Alvarie? Kalau gue, sih udah capek nggak dianggap."
"Terus, arti kita temenan selama empat tahun itu apa?"tanya Anggi tidak percaya.
"Lo salah. Gue sama Alvarie dekat baru setahun."
Anggi rasa, dia bisa gila.
Ia meletakkan telunjuknya ke arah Lisa.
"Oke. Gue akan selalu dipihak Alvarie, apapun situasinya."
Ketika Anggi pergi, Lisa mengepalkan tangannya.
"Apapun situasinya, lihat saja."
Dan Clay hanya bisa membungkam mulutnya.
☀️☀️☀️
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Sunlight
Roman pour AdolescentsBagi Alden, Alvarie itu seperti cahaya matahari. Ia hadir untuk menghilangkan gelapnya malam. Kehadirannya membuat semuanya terbangun dari mimpi, entah itu baik atau buruk. Alvarie membangunkannya dari mimpi-mimpi buruk yang menyakitinya setiap s...