26: The New Feel

81 6 1
                                    

   Sepertinya, ia dan Alvarie mulai akrab.

   Alden meletakkan dua kotak yoghurt di meja, lalu duduk di sofa yang sama dengan Alvarie, tentu saja menciptakan jarak beberapa senti. Tadi, ia sedang sarapan dan Alvarie berkunjung ke apartemennya. Katanya ada yang perlu didiskusikan. Padahal Alden rasa tidak ada masalah dengan gadis itu.

   "Mau diskusiin apa?"tanya Alden, mulai menyedot yoghurt rasa blueberry, kesukaannya.

   Alvarie pun meneguk yoghurt itu. "Lo suka Sherlock Holmes, kan Den?"

   Alden hampir tersedak dibuatnya. "Eh?"

   "Gue sering liat lo baca bukunya."

   "Ah, itu..."

   Alden malu mengakuinya. Maksudnya, kalau ia suka membaca buku.

   "Bisa bantu gue?"

   Alden mengerjapkan kedua matanya ketika matanya berkontak langsung dengan mata cokelat milik gadis itu. "Hm."

   "Gue punya teman. Dia udah kuliah dan punya adik. Adiknya itu punya teman yang dia kenal baik, bahkan sudah dianggap keluarga sendiri. Teman adiknya itu suka sama dia karena dia baik. Ah, adiknya dan temannya itu masih SD."

   "Tiba-tiba dia ditelepon oleh teman adiknya itu, katanya dia ada di depan apartemennya. Seingat gue, dulu, anak SD belum memegang handphone seperti sekarang. Selain itu, jarak apartemen dengan rumahnya memakan waktu sejam. Apalagi kejadiannya malam, nggak ada angkutan umum atau bus."

   "Apa yang terjadi dengan teman adiknya itu?"

   Alvarie menelan ludahnya. "Dia meninggal, di apartemennya."

   Alden memanggut-manggut. "Bagaimana wawancara dengan orang tua korban?"

   "Mereka bilang, kalau dia, teman gue itu menjemput teman adiknya itu karena adiknya mau main dengannya. Padahal nggak seperti itu. Teman gue itu ada di kampus. Tiga orang sudah menjadi saksi keberadaannya di sana."

   "Jadi, teman lo masuk penjara?"

   Alvarie mengangguk. "Alasannya, buktinya lemah untuk menyangkal pembunuhan. Bukti kuatnya hanya pembunuhan terjadi di apartemen teman gue dan CCTV di sana nggak berfungsi. Orang tua korban bekerja di bidang hukum bagian penting, sehingga mudah saja menjebloskannya ke penjara."

   "Tapi—,"Alden menemukan suatu kejanggalan. "Walaupun begitu, teman lo bisa minta banding. Kenapa dia nggak melakukannya?"

   Entahlah. Alvarie pun tidak tahu alasannya.

   "Kita asumsikan dulu kalau kakak lo dijebak."ujar Alden membuat Alvarie sedikit terkejut.

   "Kok—,"

   "Lo nggak bisa bohong."ledek Alden.

   Gadis itu menatapnya kesal. Seenggaknya, kan dia bisa menghargai usahanya.

   "Tapi, siapa calonnya?"gumam Alden. Kasus-kasus Sherlock Holmes biasanya rumit, tetapi dalangnya tidak terduga. Artinya, ketika menyelidiki, jangan melupakan hal-hal biasa yang sering kita abaikan.

   "Hm, sudahlah."Alvarie terlihat menyerah. "Gue mau cerita aja."

   Gadis itu sudah kembali seperti biasanya. Padahal dua hari yang lalu ia menangis keras dihadapan Alden.

   "Lo beneran udah nggak pa-pa?"tanya Alden memastikan.

   Alvarie mengangguk. "Kenapa? Lo mau peluk-peluk gue lagi?"

   "Eh, lo jangan salah paham, ya."elak Alden yang berubah menjadi salah tingkah.

   Gadis itu memicingkan matanya. "Lo udah suka sama gue, ya? Duh!"

   "Apaan sih, lo."

   Alvarie terkekeh melihat pipi Alden yang mulai memerah. Sementara Alden, buru-buru minum air putih untuk meredakan panas yang menjalar di tubuhnya. Sesekali berdehem setiap melihat gadis itu. Ia jadi sedikit menyesal memberikan pelukannya. Secara cuma-cuma pula.

   "Hei—."

   Tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita. Alvarie tersentak, lalu meraba-raba mencari Alden. Kekhawatirannya muncul hingga ke ubun-ubun.

   "Alden!"

   Alvarie beranjak dari sofa, lalu meraba di lantai. Jantungnya terasa hendak meledak saking besarnya perasaan gelisah ini.

   "Alden!"

   "Alden!"

   Tidak ada suara dan tanda-tanda selain dirinya di sini.

   "Alden?"

   Alvarie membalikkan badannya ketika lengannya digenggam. Ia meraba-raba dan merasakan wajah seseorang.

   "Den, lo—,"

   Alvarie merogoh kantongnya, mencari handphone untuk menyalakan senter. Tetapi, terhenti ketika genggaman tangan itu tidak melepaskan lengannya.

   "Rie...."

   Suara itu terdengar gentar.

   "Gue hidupin senter dulu."ujar Alvarie dengan suara serak.

   Tidak lama kemudian, lampu kembali menyala. Terlihat wajah Alden yang seakan-akan tidak percaya. Ia menatap Alvarie dengan kilat mata yang sedikit bercahaya. Sementara raut wajah Alvarie terlihat sangat cemas.

   "Gue nggak pa-pa, Rie."

   Alvarie memejamkan kedua matanya dan air mata yang sedaritadi ditahannya, turun begitu saja. Tadi ia sangat takut kalau Alden terkapar di lantai seperti terakhir kali.

   Alden terkejut melihat Alvarie yang tiba-tiba menangis. "Lo kenapa?"

"Bego. Gue takut..."lirih Alvarie di tengah tangisnya.

   Dari dulu, tidak ada yang peduli dengan Alden. Ia menangis dan berhenti sendiri. Ia bermain dan tertawa sendiri. Ia memecahkan vas bunga tanpa dimarahi. Ia meninju temannya ketika TK tetapi tidak ditegur oleh siapapun. Ketika ia sakit, ia akan sembuh tanpa bantuan orang lain. Begitulah kehidupannya delapan tahun yang lalu, sebelum ia bertemu dengan Prof. Gita.

   Dan hari ini, Alden baru tahu rasanya dikhawatirkan oleh seseorang.

****

You Are My SunlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang