16: Kama

90 8 0
                                    

Ruangan kecil ini mempertemukannya dengan seseorang yang sudah lima tahun mendekam di penjara. Wajah itu semakin lusuh dan tidak bercahaya. Ia menyodorkan map merah yang berisi beberapa lembaran kertas dan foto.

"Aya sudah semakin besar."ujarnya, sendu, ketika melihat sebuah foto perempuan yang mengenakan seragam putih abu-abu.

"Apa benar ada sidang banding?"

Ia meletakkan foto itu, lalu menggenggam kedua tangannya. "Benar, Prof. Ayra. Resky yang mengurusnya."

"Temanmu yang pengacara itu?"

Ia mengangguk. "Dia mengunjungiku sekitar tiga bulan yang lalu. Aku hanya berbicara seadanya dan dia mengecek berkas kasusku dan meletakkan kecurigaan di sana. Ia memutuskan untuk membelaku dan persidangan disetujui. Tapi, jadwalnya belum keluar."

Prof. Ayra tentu mengenal Resky. Ia dikenal sebagai pengacara terburuk di setiap tahunnya. Kabarnya, ketika ia sedang membela orang yang salah, ia akan blak-blakkan berkata kalau dia memang salah dan meminta keringanan hukuman.

Sepertinya, ia cocok menjadi jaksa.

"Jangan memanggilku Professor. Aku hanya setahun lebih tua darimu, Kama."ucap Prof. Ayra yang membuatnya tertawa.

"Kukira, kamu sangat menyukai panggilan professor itu, Ayra."

Prof. Ayra mengangkat kedua bahunya. "Nggak juga. Aku ingin Alvarie berhenti memanggilku Prof. Ayra."

"Kalau dia tahu kita temanan, kurasa—,"

"Tentu saja dia akan mengusirku, Kama."

Kama memanggut-manggut. "Aku bisa mengerti."

Prof. Ayra menahan sesuatu di mulutnya. Ia dan Kama saling mengenal ketika di kampus, sebelum laki-laki itu tertangkap polisi. Ada sebuah pentas seni yang mengombinasikan dua jurusan yang berbeda. Jurusan psikologi dan jurusan hukum disatukan.

"Waktu habis."

Prof. Ayra menghela napas. "Tenang aja. Adikmu baik-baik aja didekatku."

"Aku memercayaimu, Ayra."balasnya sebelum ia diseret dua orang polisi untuk kembali ke dalam sel.

Satu-satunya kekhawatiran Prof. Ayra adalah Alvarie.

☀️☀️☀️

Alvarie tersenyum begitu melihat Alden yang sudah berada di dalam gudang. Alden yang merasa kalau gadis itu sudah datang hanya acuh tak acuh. Ia tetap membaca buku yang masih seperempat dibacanya itu.

"Hai teman baru."

"....."

"Lo ngacangin gue, again."

Alvarie melempar sebungkus roti ke arah Alden, membuat laki-laki itu menoleh ke arahnya.

"Makan. Entar lo kejang lagi."ujarnya ketika merasa Alden meminta penjelasan.

Alden melempar balik roti itu. "Gue nggak bakal kejang lagi."

"Memangnya lo peramal?"

Betapa menyebalkannya gadis itu.

"Den."

Jepret.

"Hei!"

Alvarie menyengir lebar. Sebuah lembar foto keluar dari kamera polaroid berwarna pink itu. Lagi-lagi ia tertawa ketika melihat hasilnya.

"Balikin nggak?!"ancam Alden. Beraninya dia memotret dirinya tanpa izin.

"Nggak, wlee..."

You Are My SunlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang