09: I Want to Ask Him, But Should?

103 8 0
                                    

"Alvarie Anindya, tahun ini kamu nggak akan naik kelas kalau setiap hari nganggur ke sini."

Prof. Ayra yang sedang mengoreksi tugas-tugas murid-murid, terkejut ketika Alvarie masuk ke ruangannya dan langsung menyalakan televisi dan santai di sofa favoritenya itu. Bukannya tidak boleh, tapi kalau setiap hari, tidak wajar.

"Bukannya professor yang bilang kalau aku boleh ke sini kapan saja?"balas Alvarie, tidak peduli.

Prof. Ayra mengusap wajahnya dengan gusar. "Ya, kamu menang. Selalu menang."

Alvarie memainkan jari-jarinya. Ia menghadap ke televisi, tetapi pikirannya kemana-mana. Berkali-kali berpikir dan menimbangkan sesuatu.

"Selain aku, apa ada yang lain, Prof?"tanya Alvarie, akhirnya.

Prof Ayra menjawab, tanpa berpaling dari kertas-kertasnya. "Cuman kamu."

"Kalau ada, apa Prof. Ayra harus tahu?"tanya Alvarie lagi.

"Tentu saja. Kamu tahu, kan, saya adalah psikiater selain menjadi guru konseling di sini."

Alvarie menopang dagunya. "Entahlah."

"Kamu tahu sesuatu, Alvarie?"seperti biasa, Prof. Ayra pandai mencium sesuatu yang tersembunyi.

"Prof...."ucap Alvarie, lalu Prof. Ayra menoleh ke arahnya. "Temanku... ah, bukan... tapi...."

"Temanmu kenapa?"tanya Prof. Ayra yang sekarang fokus ke pertanyaan Alvarie.

"Bukan temanku."bantah Alvarie.

Prof. Ayra membuang napas dengan kasar. "Jadi, ada apa dengan orang itu?"

"Dia tiba-tiba mengerang kesakitan. Prof.... seperti ketakutan yang bercampur dengan rasa sakit. Ia seperti itu, di tempat yang lembab dan kotor itu, dan bersembunyi di balik kardus. Seperti menyembunyikan sebuah rahasia."

Prof. Ayra melihat ekspresi wajah Alvarie dengan tatapan meneliti. Di wajah itu, tersirat sebuah tanda tanya besar.

"Ya, kita tidak bisa menyimpulkan kalau dia juga sama denganmu."jawab Prof. Ayra kemudian. "Dia bisa saja menderita penyakit serius."

Alvarie menelungkupkan kedua tangannya di wajah.

"Apa yang terjadi dengan orang itu?"tanya Prof. Ayra yang masih penasaran.

"Aku memberinya obat penenang dan dia tenang, nggak lama kemudian."ucap Alvarie, lalu menoleh ke Prof. Ayra. "Bukankah obat penenang milikku itu khusus, Prof?"

Prof. Ayra memanggut-manggut. "Nggak bisa dibilang khusus juga. Memang, obat penenang untuk penyakit parah seperti kanker atau tumor, berbeda dengan yang lain. Kamu bisa menyingkirkan kalau ia bukan penderita penyakit tersebut."

"Tapi, masih banyak kemungkinannya."gumam Alvarie.

"Kalau kamu penasaran, kamu bisa menyelidikinya sendiri, Alvarie."kata Prof. Ayra dengan senyumannya. "Hal-hal seperti itu juga bisa membuatmu peduli dengan orang lain."

Alvarie memejamkan kedua matanya. "Lagipula, bukan urusanku."

"Tapi, sejak kamu terlibat, kamu akan penasaran dan menjadi urusanmu juga."sahut Prof. Ayra membuat Alvarie sedikit tersentak.

Benar. Dia penasaran.

☀️☀️☀️

You Are My SunlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang