Hari pekan ini tetap dihabiskan di rumah, seperti biasa oleh Alden. Ia membuat oat yang dicampur yoghurt rasa plain, lalu memakannya seraya menonton acara televisi di rumah. Siangnya, ia membuat telur gulung dan makan bersama nasi dan rumput laut.
Ketika ia tengah makan siang, Prof. Gita datang.
"Kan aku udah bilang, panggil aja aku kalau mau makan atau delivery."ocehnya ketika melihat lauk yang selalu sama dengan yang kemarin-kemarin.
Prof. Gita meletakkan tasnya, lalu mulai merapikan selimut dan bantal yang berserakan di sekitar sofa seraya mengomel tentang Alden yang selalu tidur di sofa. Padahal di kamarnya ada king bed yang bisa menampung tiga orang untuk tidur.
Alden memerhatikan perempuan itu merapikan tempatnya. Sebuah senyuman terlukis, lalu lenyap ketika Prof. Gita menoleh ke arahnya. Jujur, ia merindukan omelannya akhir-akhir ini. Sudah sekitar dua minggu, ia tidak berkunjung ke sini. Tempat ini menjadi sepi.
"Den, kamu baik-baik aja?"tanya Prof. Gita setelah selesai merapikan sofa.
Alden mengangguk. "Ya, terakhir kambuh, dua bulan yang lalu. Karena lampu mati."
"Aku sudah bilang ke Bu Frika agar memasang diesel cadangan khusus di kamarmu."gerutunya, sepertinya hendak bersiap menyembur pemilik apartemen itu.
"Di gudang sekolah."
"Eh?"
Alden membenarkan. "Ada seseorang di sana yang membantuku."
Wajah Prof. Gita berubah menjadi pucat. "Apa? Kamu bilang—,"
"Kurasa, aku mempercayainya, Prof."
"Siapa orangnya?"
Alden menghela napas. "Untuk ini, aku akan mengurusnya sendiri, Prof."
Prof. Gita memanggut-manggut, lalu meraih tasnya dan berjalan menuju Alden. Diusapnya rambut coklat kehitaman milik laki-laki itu. Baginya, Alden sudah dianggap adik sendiri. Laki-laki itu sangat mirip dengan adiknya yang meninggal sepuluh tahun yang lalu.
"Aku pulang dulu."pamitnya.
Ketika Prof. Gita hendak meninggalkannya, Alden meraih lengannya.
"Kurasa, aku sakit, Prof."lirihnya.
Prof. Gita segera meletakkan telapak tangannya di dahi Alden. Lalu tangannya satu lagi memegang dahinya sendiri, berusaha menerka perbedaan suhu di antara keduanya. Alden yang melihatnya, menyunggingkan senyum. Melihat wajah itu dari dekat, membuat semuanya menjadi nyata.
"Kurasa begitu."ucap Prof. Gita. "Tunggu sebentar, aku ambil obat dulu."
Perempuan itu mencari-cari obat demam di kotak obat. Alden beranjak dari kursi, berjalan menuju dokter yang sudah lima tahun belakangan yang selalu menemaninya. Apapun kondisinya, senyuman selalu bertengger dibibirnya. Hal itu membuat hati Alden menjadi tenang.
Alden memeluknya, dari belakang.
"Den?"Prof. Gita terdengar gugup.
Alden mempererat pelukannya.
"Jangan pergi."
****
Prof. Ayra berharap-harap cemas seraya melihat Alvarie yang masih terlelap. Sudah sehari, tetapi gadis itu tidak kunjung sadar. Infus pun sudah dipasang di tangan kirinya. Energi gadis itu pastilah terkuras habis mengingat kejadian kemarin.
Kedua mata itu mengerjap, membuat Prof. Ayra sangat antusias. Gadis itu sadar, dengan dirinya sendiri.
"Kepalaku pusing banget."keluhnya.
"Jangan duduk dulu."ucap Prof. Ayra ketika Alvarie mencoba duduk.
Alvarie menurut.
"Apa yang terjadi, Prof? Kenapa wajahmu pucat?"tanya Alvarie dengan pelan.
"Nanti akan kuceritakan."
"Aku ingin mendengarnya sekarang."
Alvarie memang keras kepala.
"Kemarin, Riyan menguasai tubuhmu, selama dua belas jam."
Mendengar hal itu, wajah Alvarie bertambah pias.
"Apa?"
Prof. Ayra mengangguk. "Apa kamu ada masalah, Rie? Kamu bisa menceritakannya ke aku. Aku sudah berulang kali bilang kalau nggak baik menahannya sendirian."
Alvarie menutup matanya dengan lengan kanannya. Setelah mendengarnya, ia stress. Dan hal itu bertambah ketika ia tidak tahu apa-apa.
"Tapi, yang aku heran,"lanjut Prof. Ayra. "Bukannya Riyan yang paling jarang? Kenapa dia muncul sekarang?"
Alvarie membuka kedua matanya. Benar juga.
"Jujur, Rie. Selama semester ini, berapa kali hal ini terjadi?"
"Aku selalu menceritakannya ke Professor."jawab Alvarie. "Dua kali, termasuk ini. Ana dan Riyan."
Prof. Ayra memikirkan sesuatu. "Sepertinya, ada yang ingin dia lakukan."
Alvarie mengerutkan dahinya. "Seperti apa?"
"Ada seseorang yang pernah berurusan dengannya."balas Prof. Ayra. "Apa kamu menemui orang-orang baru akhir-akhir ini?"
Alvarie berpikir sejenak. Orang-orang baru?
"Alden?"
"IPS-3?"
Alvarie mengangguk. "Kurasa dia."
"Kamu harus mencari tahu sendiri, Rie."pesan Prof. Ayra. "Riyan, jangan diremehkan. Dia adalah pembuat onar."
"Ah, ngomong-ngomong..."sahut Alvarie yang teringat sesuatu. "Apa yang diperbuat Riyan kemarin?"
Prof. Ayra ragu untuk memberitahukannya. Ia hanya takut gadis itu sangat tertekan dengan apa yang diperbuatnya.
"Kami saling kejar-mengejar. Dia, kan takut sama aku."jawab Prof. Ayra, membuat Alvarie memanggut-manggut.
Lebih baik tidak mengatakannya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Sunlight
Teen FictionBagi Alden, Alvarie itu seperti cahaya matahari. Ia hadir untuk menghilangkan gelapnya malam. Kehadirannya membuat semuanya terbangun dari mimpi, entah itu baik atau buruk. Alvarie membangunkannya dari mimpi-mimpi buruk yang menyakitinya setiap s...