"1401! 1401!"
Alvarie merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. Kedua matanya yang masih kabur berusaha melihat jam dinding yang menempel tepat di dinding didepannya. Masih pukul delapan pagi dan hari ini libur.
Ia membuka jendelanya dan dibawah balkonnya sudah ada nyonya besar beroll itu.
"Mbak nape, sih?!"teriak Alvarie dengan suara seraknya.
"Air, woy! Air!"
Kedua mata Alvarie terbelalak. "Astaghfirullah!"
Ia bergegas berlari ke kamar mandinya dan memutar keran yang lupa ia matikan tadi malam. Ia merutuk dirinya sendiri karena selalu lupa dengan hal ini.
"Lihat, nih! Baju bersih saya basah semua gara-gara airmu itu!"teriak nyonya besar dengan memperlihatkan sepotong baju yang basah.
Karena hanya ada dua apartemen di lantai tiga ini, renovasi kedua ruangan di lantai ini tidak sempurna. Contohnya saja, jika air masuk ke lubang air di kamar mandi, maka air tersebut akan turun ke bawah apartemen Alvarie yang merupakan apartemen nyonya besar, ya, pemilik semua apartemen ini.
Oleh karena itu, Alvarie mandi di bathtub. Selang air bathtub itupun juga tidak berfungsi, sehingga Alvarie harus tetap mengisi air di bak mandinya.
"Sori, mbak! Sori!"seru Alvarie.
Nyonya besar berdesis. "Saya heran, kenapa tetangga sebelah nggak ngerespon sama sekali."
Alvarie mengerutkan dahinya, lalu menunjuk kamar sebelahnya. "Emangnya diisi?"
"Lah baru tahu?"balas nyonya besar. "Dia udah duluan kali daripada sono."
Alvarie memanggut-manggut. Ia kira, hanya ia sendiri yang ada di lantai ini.
"Eh, mbak."
Nyonya besar yang hendak masuk ke dalam, menghentikan jalannya. "Apa?"
"CD bunga-bunga saya ilang, masa."
****
Alden memainkan handphonenya seraya melirik pintu berkali-kali. Prof. Gita mengirimnya pesan, katanya ia akan mampir ke rumah. Ia tidak sabar ingin bertemu dokternya itu. Setelah kejadian kemarin, Prof. Gita tidak menghubunginya lagi. Alden tidak tahu kenapa.
Ting! Ting! Ting!
Senyumnya terlukis di wajahnya. Alden melompat dari sofa dan berlari kecil membuka pintu. Ketika pintu terbuka, ia terlonjak kaget bukan main.
"KYAAA!"
"ANJIRRR!"
Alden sampai terjatuh melihat seseorang di balik pintunya. Sementara orang itu, melempar kantong plastik yang tadi dipegangnya dan isinya berserakan. Sampah-sampah itu mengotori koridor.
"LO?!"
"ALDEN?!"
Astaga. Dunia terlalu sempit, ternyata.
"Lo nguntit gue sampe segininya?"ucap Alden tidak percaya.
Gadis itu mendengus kesal. "Dimana-mana ada lo mulu. Heran gue."
Alden membersihkan bajunya yang terkena sampah, lalu berkacak pinggang. "Dimana-mana lo bikin rusuh mulu."
"Eh—."
"Alden?"
Suara hangat itu membuat mereka berdua melupakan sejenak adu mulut itu. Seorang perempuan yang mengenakan sweater berwarna putih dibalut celana semata kaki itu tersenyum ke arah mereka.
Akhirnya, dia datang.
****
Alvarie tidak tahu ini takdir atau apa.
Ia hanya penasaran, sungguh. Awalnya, ia ingin ke lantai dua untuk membuang sampah. Entah kenapa, ia berpikiran untuk melihat tetangga sebelahnya, hanya sekedar berdiri dipintunya. Alvarie memilih acuh dan hendak pergi. Tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah seseorang yang Alvarie kenal.
Alden, laki-laki itu yang tinggal di apartemen sebelahnya.
Adu mulut terjadi dengan singkat. Munculnya seorang perempuan-lah yang membuat adu mulut itu terhenti. Alvarie cepat-cepat membereskan sampah-sampah hasil kekacauan tadi dan berniat meninggalkan mereka berdua. Namun, perempuan itu memegang pundaknya dan mengajaknya makan bersama mereka.
Alvarie menolak, tetapi perempuan itu memasang wajah memohon dan meminta sekali lagi. Ketika ia melirik ke Alden, laki-laki itu menatapnya datar. Terpaksa, Alvarie menerima ajakan itu.
Perempuan itu membawa banyak lauk dan nasi. Ia pun sedikit bercerita dengan riang kalau Alden suka makan hasil masakannya, lalu disahuti Alden kalau masakannya tidak enak. Tetapi, Alvarie tahu Alden berbohong setelah mencoba masakan perempuan itu. Enak sekali.
Tidak lama setelah itu, perempuan itu pamit, katanya ada pertemuan. Beliau hanya lima belas menit berada di sini. Sepeninggalannya, tersirat rasa canggung di antara mereka berdua.
"Kakak lo, Den?"Alvarie buka suara, ingin memecahkan dinding kaku di antara mereka.
Alden yang duduk tidak jauh darinya menjawab. "Psikiater gue."
"Oh."
Alvarie memainkan jari-jarinya, memikirkan apalagi yang harus dibincangkan.
"Dia sering ngunjungin lo?"tanya Alvarie lagi.
"Hm."
Alvarie merutuki Alden dalam hati karena keiritan bicaranya itu.
"Kayaknya kalian dekat banget."ujar Alvarie.
Alden melirik ke gadis itu. "Kenapa?"
Alvarie menyenderkan punggungnya. "Habis, tadi lo ngeliat professor lo dengan tatapan penuh arti."
Alden mengerjapkan kedua matanya, gugup. "Apa?"
Alvarie membalas tatapan Alden. Alden menyipitkan kedua matanya, berusaha menangkap arti yang diberikan Alvarie.
"Kayak gitu."ucap Alvarie, akhirnya.
Alden menelan ludahnya. "Artinya?"
Alvarie tersenyum. "Aku menyukaimu."
Hanya butuh lima belas menit, Alvarie tahu rasa suka itu. Sementara Alden, butuh waktu tiga tahun untuk menyadarinya.
****
![](https://img.wattpad.com/cover/138852759-288-k915714.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Sunlight
Fiksi RemajaBagi Alden, Alvarie itu seperti cahaya matahari. Ia hadir untuk menghilangkan gelapnya malam. Kehadirannya membuat semuanya terbangun dari mimpi, entah itu baik atau buruk. Alvarie membangunkannya dari mimpi-mimpi buruk yang menyakitinya setiap s...