Kelas kosong, disengajakan oleh Anggi dan Lisa agar tidak menimbulkan kekacauan lain. Lisa mengetahui ceritanya dari Anggi. Mereka saling mencolek bahu satu sama lain, menyuruh siapa duluan yang berbicara dengan Alvarie yang wajah tekuknya menambah atmosfer mengerikan.
Tidak ada yang berani.
Sementara Alvarie, ia memang kesal dengan siswa tadi. Bukankah seharusnya kesalahan sebaiknya diselesaikan dengan permintaan maaf? Apakah kadar kegengsian murid itu sudah setinggi yang tidak terbayangkan?
Entahlah.
Di sisi yang lain, ia merasa sedikit tidak asing dengan iris matanya. Warna kecokelatan yang hanya pernah dilihatnya dari mata seseorang.
Sangat mirip.
"Rie, dipanggil Bu Ayra ke ruang BK."
Akhirnya, yang berani ngomong adalah Anggi.
Mendengar nama itu, ia menghela napas, lalu membereskan tasnya karena biasanya setelah dipanggil, ia tidak akan kembali ke kelas hingga pulang nanti.
Sepertinya, Alvarie tahu persis apa masalahnya.
Ruang konseling tidak jauh. Hanya berjarak setengah gedung, kira-kira.
Pintu kaca buram itu didorong olehnya. Ruangan yang didominasi krem-putih ini memang selalu menenangkan, berbeda dengan ruang konseling pada umumnya. AC-nya ada dua, yang memastikan tidak ada kata panas di dalam sini. Di ruangan ini, ada meja kerja, sofa, televisi, dan perpustakaan mini. Lengkap.
Ngomong-ngomong, di sekolah ini ada tiga ruang konseling karena ada tiga orang guru konseling.
"Rie! Saya sudah cemas daritadi."serunya ketika menyadari Alvarie sudah duduk bersandar di sofa putih empuk itu.
Sepertinya, berita itu sudah sampai di telinga Bu Ayra.
Alvarie memejamkan kedua matanya. "Saya tidak apa-apa, Prof."
Bu Ayra mendekati Alvarie, lalu memeriksa kondisi tubuh ALvarie, seperti memegang kening, telinga, dan leher.
"Jangan lepas kendali, Rie."pesan Bu Ayra ketika sudah memastikan memang baik-baik saja. "Katanya kamu marah banget tadi."
"Ah, Prof, saya mau di sini. Mau tidur."
Bu Ayra menggeleng-geleng kepalanya ketika Alvarie sudah selonjoran di sofa. Ia sudah menduga reaksi gadis itu.
"Kamu selalu—ah, sudahlah! Saya juga tidak ada janji dan jam ajar."ujarnya, duduk di tempat duduk miliknya, lalu mulai membuka lembaran-lembaran yang tidak tahu untuk apa.
Alvarie menutup kedua matanya dengan lengan, memastikan tidak ada cahaya apapun masuk. Alvarie suka kegelapan.
Karena ketika dia munculpun, tidak akan pernah terlihat oleh orang lain.
☀️☀️☀️

KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Sunlight
Teen FictionBagi Alden, Alvarie itu seperti cahaya matahari. Ia hadir untuk menghilangkan gelapnya malam. Kehadirannya membuat semuanya terbangun dari mimpi, entah itu baik atau buruk. Alvarie membangunkannya dari mimpi-mimpi buruk yang menyakitinya setiap s...