Bab 1: Hasna & Althaf

12.2K 438 12
                                    

Bismillah...
Assalamualaikum
Ahlan wa sahlan di cerita baruku😊
Semoga kalian suka. AAmiin.

Jika keluarga yang menjadi tempat kedua berkeluh kesah, maka jawabannya TIDAK bagi seorang anak yang setiap hari diberi sebuah peperangan dari dua orang terkasih.

***

Lagi
Dunia merubuhkan tubuh
Lemah tiada daya
Air mata yang berbicara

###

Peperangan sengit melalui lontaran kalimat tak berkasta masih saja mendominasi rumah besar bercat cream itu. Tiadalah upaya bagi seorang Gadis berambut sebahu yang masih tersungkur di atas kasurnya. Linangan cairan bening tak jua berhenti pada muaranya. Arahnya tak lagi diketahui. Dalam sebuah ruangan mewah di tengah rumah itu, seorang wanita dan lelaki yang telah berstatus sebagai orang tua sedang berhadapan berdiri. Bara api yang tak kunjung padam tergambar jelas dari tersirat mata mereka.

''Kamu selalu mengandalkan anak perempuanmu! Uang darinya! Segalanya darinya tapi kamu tudak mau membantu sedikit pun! Mana tugasmu sebagai kepala keluarga yang wajib menafkahi anak istri?!!!''

''Bagaimana dengan dirimu sendiri? Kau malah meminta menggaji pembantu untuk merawat rumah ini. Itu pemborosan!''

''Halah! Kau selalu saja mencari alasan! Aku muak!''

Dibantingnya sebuah vas bunga ke lantai. Hingga berserakanlah puing-puing tajam itu oleh sang empunya. Celotehan kecil kembali meluncur dari mulut Sang Suami. Mengiringi suara ketukan ujung sepatu Sang Istri yang kian menghilang. Sampai tertelan dan tak lagi terlihat raganya usai suara benturan keras pintu yang dibantingnya.

Lantas, sepasang kaki berbalut sepatu mengilap itu pun turut pergi. Secercah emosi masih menyertai, dan seakan berjejak pada tiap-tiap langkahnya. Tinggalah, seorang Gadis yang masih berada dalam kubangan air mata. Luka yang setiap hari didapatnya di rumah sendiri entah sudah ada berapa banyaknya. Satu persatu belum kering sudah ditimpa kembali luka baru. Hujan dari sudut matanya seakan meleleh hingga ke hati.

Baginya, hidup yang kini seakan membosankan. Ia terlampau rindu akan hidupnya yang dahulu. Tentang, layaknya air sungai yang selalu mengalir dengan baik hingga ke muara. Bukanlah kini hidupnya yang diandaikan sebuah lautan yang mudah dicumbui gelombang besar. Memang ia luas. Memang ia banyak menyimpan harta. Ikan, mutiara, air laut, bahkan hingha terumbu karang. Namun apalah daya kekayaan yang dimiliki tak jua mampu memuaskan hati? Ia seakan miskin, walau mungkin pandangan insan di luar sana adalah kayak. Tercukupi. Bahagia. Makmur.

Ponselnya berbunyi sekali. Ia menyeka air mata, dan berusaha meraih benda yang masih terkapar di lantai dalam keadaan terbalik. Benda yang sempat menjadi bahan amukannya kala tak kuadmsa meredam emosi perihal kedua orang tua yang selalu cekcok.

Naya: Hasna, kamu udah ditunggu buat sesi pemotretan majalah. Lima belas menit lagi harus udah sampai ya! Salam semangat dari sahabatmu. Cepet!

Ya, gadis bernama Hasna itu mengembuskan napas. Tanpa disadari sebutir cairan bening kembali menitik di sudut matanya yang indah. Mata yang jarang menyapa aksara-aksara arab sebagai penenang hati. Bahkan, tampaknya dunia telah merebut kewajiban untuk akhiratnya. Lupa, atau sengaja melupakan, bahwa azab Allah pastilah ada. Tidak ditemukan di dunia, maka akan ditemukan di akhirat. Bahkan bisa saja keduanya.

Lain lagi, putaran waktu yang tengah dipoles oleh seorang lelaki bertubuh tinggi dan berwajah manis pada sebuah majelis. Pena di tangannya terus menari tiada henti. Usai beberapa menit sebelumnya telah diperdengarkan ceramah ustadz ternama di Lampung.

''Nih, mungkin kamu haus.''

Sebotol air mineral diserahkan kepadanya. Hanya seulas senyum kecil dan anggukan yang menjadi jawabannya.

''Habis ini, kita mau cari berita buat artikel islami kita?''

''Atas restu Allah. Ya, kita harus berusaha cari lagi.''

Angin di pagi menjelang siang, pukul setengah sebelas itu sudah melambai sejuk. Seakan bersyukur pada Allah Swt. atas izin membiarkan majelis itu kembali didatangi para jamaah. Dilantunkan nasihat-nasihat berdasar tumpuan kitab suci Al-Quran serta hadis-hadis.

Ditaruhlah pena serta kertas kecil di sampingnya. Tepat di dekat kamera yang selalu menjadi andalan bukti adanya sebuah kejadian. Diteguklah air dalam botol plastik transparan itu.

''Al, kita makan dulu lah ya! Aku udah laper nih. Di pertigaan jalan sana ada warung makan.''

Lelaki bernama lengkap Althaf Abaqary itu menyetujuinya berupa body language antara telunjuk dengan jempol yang dipersatukan, hingga membentuk huruf O.

''Aku ambil air wudhu dulu, Lif. Tadi sempet batal. Tunggu ya.''

''Oke. Jangan lama-lama,'' jawab Alif usai ditepuk bahunya pelan.

Acara ceramah yang telah berlangsung dari pukul delapan hingga sepuluh pagi itu telah melahirkan sebuah tulisan indah di tangan seorang Althaf. Tulisannya yang terdiri dari beberapa paragraf itu tengah dicekal Alif, dan dijamah perkalimat oleh matanya. Bak terbius suatu keindahan, Alif hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum membacanya. Satu dua orang melintas di hadapannya, dan seakan tiadalah dirasakan. Aksara-aksara itu terlalu indah, hingga menyita segalanya.

''Kapan tulisanku bisa kayak si Althaf?

Terketuklah hai hati yang terkunci. Bukan perihal cinta pada sesama manusia, tapi cinta kepada Tuhanmu. Cek cek cek, kayaknya bakal di up lagi yang ini di ig. Pantes followersnya banyak.''

***

Bersambuuunng!!!
Biasa, kalau awal-awal kadang cuma nulis gak sampe 1000 kata hehe.

Lanjut?

Wassalamualaikum

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang