Bab 36: Tamu

1.1K 76 0
                                    

Bismillah
Assalamualaikum

Jikalau biduk merapuh

Dayung tak terbawa

Sang bayu menggelegar

Merakitlah tak apa

***

''Jika nasihat masih tak mampu mengetuk pintu hatimu, harus dengan cara apa lagi? Menunggu kekuasaan Allah menurunkan azab, barulah terketuk?''

***

Gelisah tak jua enyah dari hatinya. Sedari tadi diputar ke kanan dan ke kiri tubuhnya itu. Dipaksa-paksa kelopak matanya terkatup. Benar terkatup adanya, tapi tak dapat menyeruakan bumi mimpi. Hingga untuk kesekian kalinya kembali mata itu menatap nanar langit kamar nenek. Suara jangkrik yang lama tak ia perdengarkan, dirasa bersumber dari belakang rumah. Entah sesederhana itu, tapi mampu menyajikan masa lalu yang indah bagi Hasna. Diliriknya Nenek yang sudah terpejam begitu nyaman. Dahulu, saat ia begitu sering tidur bersamanya selalu diusap-usap puncak kepala Hasna sampai tertidur. Berlantunkan cerita pengalaman sang Nenek pada masa penjajahan dahulu. Malam ini pun sempat, tetapi Hasna minta agar tak diteruskan sebab kalimat-kalimatnya tersendat batuk berulang kali. Hasna tak tega.

Gadis itu memutar tubuhnya menghadap Nenek. Tersirat garis senyum meski remangnya pencahayaan dalam kamar. Mendekap lembut tubuh wanita tua itu, lantas terpejam. Gelisah seperti berterbangan pelan-pelan. Bertandang jualah ke alam mimpi. Barangkali saat inilah bahagia yang ia cari. Tak melulu soal harta tapi siksa hati masih ada, tapi sebuah kesederhanaan yang mumpuni memberi kebahagiaan. Hanya saja, kekosongan yang cukup besar masih tertampak di kalbunya. Hasna tahu, tetapi urung tergerak lagi hatinya.

***

''Nek,'' panggilnya.

''Baru bangun?''

Hasna hanya meringis seraya mengikatkan helai-helai rambutnya.

''Iya, mau cuci wajah dulu. Dimana kamar mandinya?''

''Di belakang ya, Cu.''

Terbawalah langkah kakinya itu menapaki halaman belakang rumah yang bersih. Beberapa tanaman cabai dan bayam tumbuh dengan sengaja di sana. Tangannya sedikit kaku menarik-narik tali timbaan. Meski demikian, berhasil jua air didapat. Kesegaran di wajah mulai dirasa dan terlihat.

Hasna bergegas balik ke dapur. Turut serta duduk di atas sebuah kayu bersama Nenek di hadapan tungku yang berasap-asap. Sebuah bambu masih diberi tiupan-tiupan dari mulut nenek. Sesekali terbatuk-batuk.

''Coba biar Hasna aja, Nek.''

Nenek beralih menuangkan air panas dari termos guna menyeduh teh pahitnya. Sementara Hasna menahan-nahan perih di mata, hingga berulang kali tangannya dikibaskan guna mengusir asap yang menyerbu permukaan wajah.

''Cu, udah sini dulu.''

Diajaknya Hasna ke ruang tengah. Ia menuruti saja. Di sanalah, Nenek menaruh secangkir muk teh pahit yang bergelimangan pucuk-pucuk teh kering di sampingnya.

''Apinya belum hidup, Nek. Nasinya tidak akan matang nanti.''

''Biarkan. Nenek mau bilang sesuatu sebentar sama kamu.''

Ditatap jualah wajah Hasna dalam-dalam oleh nenek.

''Apa kamu sedang berhalangan tidak salat?''

Hatinya mendadak seperti dicubit. Mendongaklah wajahnya. Ragu menyapa. Ujaran dusta hendak terlaksana.

''Jawab jujur, ya?''

Angin-angin yang mulai tercium baunya mulai beralun hilir-mudik. Arah pembicaraan mulai tertebak oleh Hasna. Seperti ada yang ingin marah ditanya demikian, tetapi seperti ada yang mendorong pula tuk mengiyakan dan menyadarkan. Diam seribu bahasa dirinyalah kini.

''Hasna, sejak kapan kamu melupakan Allah yang menciptakan kita?''

Jikalau nama telah diujarkan, pertanda seriuslah pembicaraan ini. Tidak ada kata 'Cu' seperti biasanya. Wanita tua itu menyeka sudut matanya dengan ujung baju. Tertunduk dalam tatapan penuh potongan-potongan sesal dan pilu. Sementara gadis di hadapannya itu masih membeku dalam dinginnya hati yang hampir mencair. Hanya saja acap kali meluluh ada saja sang bayi yang berbisik mencegahnya.

''Hasna boleh melupakan nenek. Boleh sekali. TApi jangan pernah melupakan Allah, Tuhan kita. Nenek butuh doa dari Hasna jika lebih dulu pergi, jika Hasna saja melupakan Allah bagaimana doa itu bisa tersampaikan? Ibu dan bapak Hasna juga menanti doa disana.''

Mendadak bahu Hasna bergetar. Isak tangis merambat berjatuhan. Sayang, bukan arti dari penyesalan. Melainkam arti dari sebuah ingatan yang kembali bertandang kala kata BAPAK didengar lagi. Malu, dan perasaan tak menyangka bertumpuk-tumpuk adanya. Pembunuh pembunuh pembunuh. Bapak bukan pembunuh.

Kesepuluh jemarinya mengepal kuat. Dipukul-pukulkan jua di atas kakinya. Sementara nenek yang sudah paham dan tahu perihal Bapaknya yang seorang pembunuh, berusaha menemangkan. Menenggelamkan gadis itu ke dalam pelukannya. Ia pergi untuk berlari, untuk melupakan, untuk mengais kisah baru tanpa membaurkan dengan masa lalu. Tapi sebuah penghindaran terhadap masalah bukanlah kunci penyelesaian.

***

Dipijit-pijit kaki Nenek olehnya. Seribu cerita berlabuh jua akan fase pengulangan sejak kepergian Hasna. APa saja yang terjadi dengan tempat dan manusia-manusia disini. Aroma menyesakkan pagi tadi tak lagi digubris. MEski begitu, isi kepala Hasna berputar-putar akan jejak kakinya yang dahulu. Perihal apa-apa yang membuat hatinya tertuntun pada langkah Allah. Sampai hal yang membuat kakinya berbalik arah meninggalkan jalan cerah. Tentang penggunaan kerudung yang diwajibkan, tentang adanya cinta pada kedua orang tua, sampai perhitungan oksigen yang Allah beri dengan cuma-cuma. Dalam sepersekian menit pun mendadak terbungkus ingatannya. Ada yang mengetuk pintu dari luar.

''Siapa ya? Tumben ada tamu.''

''Hasna buka dulu ya, Nek. Sebentar.''

Terbuka lebarlah pintu lapuk itu. Turut jua terbuka lebarnya luka dan hati yang melapuk. Patah. PEcah berkeping-keping.

''Nu-nuha?''

''Assalamualaikum, Hasna.''

Tubuhnya mendadak direkati lem. Tak ubah jua walau sekadar berkata lain pun mempersilakan sang tamu masuk. Bola matanya mengerling, dan mendapati orang asing yang berdiri di belakang Nuha.

***

Bersambuunng.

Marhaban ya ramadhan. Mohon maaf bila saya punya salah kata. Semoga ramadhan kita benar-benar berkah. Jangan menyia-nyiakannya. KArena celakah kata nabi jika seseorang tidak mendapat pengampunan di bulan yang penuh rahmat ini.

Wassalamualaikum.

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang