Bismillah
Assalamualaikum
Selamat membacaUntukmu
Jikalau api kumiliki
Jadilah milikmu
Jikalau madu kuteguk
Jadilah kau teguk
Kasihku tiada tanya
Cintaku tiada mengapa
***
Perubahan hari ini, untuk hari esok. Perbedaan hari kemarin, untuk mengenal adanya perubahan hari ini.
***
Segelintir angin tiadalah menyeruak menggolakkan sejuk menyusup paru-paru. Organ ekskresi dalam pembakaran surya siang ini lebih menekankan kulit tuk beraksi. Dimana butiran-butiran bening sebesar biji jagung mulai berkeliaran di dahi, punggung, dan bagian lainnya membawa bau tak sedap dan rasa nyaman menguap. Kala itulah sepasang kaki Hasna berderap-derap di trotoar jalan usai keluar dari minimarket dekat rumah sakit. Tampak anggun dengan gamis baby blue serta kaus kaki warna kulit dan kerudungnya yang menutup hingga perut. Perubahan seperti ini saja sudah membuatnya tak banyak dikenali. Hasna yang bergaya gaun tanpa lengan, atau bahkan pendek kini telah menjelma syar'i.
Sudah dua hari Bapak masih berada di antara tidurnya yang tersogok tabung oksigen. Sudah dua hari pula Hasna menemani dan sesekali ditemani Japri. Meski kerap menolak untuk ditemani, tetapi Japri tak bisa begitu saja kepada anak majikannya. Alhasil, Hasna sendiri yang menyerah untuk terus melontarkan kalimat-kalimat penolakan.
Seseorang dari seberang jalan melambai-lambaikan tangan ke arah Hasna, seraya menyebut namanya. Terhentilah langkah kaki itu, dan berbalik badan ke arah seseorang yang memanggilnya. Hasna turut melambaikan tangan.
''Tunggu dulu,'' ujar Nuha dari seberang jalan. Ditengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Memastikan kekalau tak ada kendaraan saat dirinya melintas.
''Assalamualaikum. Huh satu hari gak ketemu kamu, Na. Apa kabar? Gimana kondisi Bapak?''
Mereka sedikit menepi dan duduk di bangku halte yang hanya berjarak beberapa langkah dari pijakan semula mereka.
''Waalaikumsalam. Alhamdulillah aku sehat, ya walau sedikit lebih drop. Kondisi bapak masih sama. Belum sadar.''
''Sabar ya. Berdoa selalu. Hm, aku masih gak boleh nemenin kamu buat jaga?''
''Besok ya? Aku tunggu di ruang nomor 417. ''
''Baiklah. Inshaa allah aku datang bersama Ibu.''
Nuha bangkit dari duduknya.
''Ohya, aku serasa melihat bidadari hari ini. Keep istiqamah ya? Sahabat fillah.''
''Doakan.''
''Ya udah aku pulang. Assalamualaikum.''
''Waalaikumsalam. Hati-hati.''
Melangkah kembali lah kakinya menuju rumah sakit. Namun tercekat kala benda di dalam saku bajunya bergetar-getar. Ia merogoh-rogoh saku, dan sedikit mengerutkan kedua alis mata kala melihat nama sopir pribadinya tertera di layar. Digeserlah tombol hijau bergambar gagang telepon itu.
''Iya, As-'' Suara daru seberang telepon langsung memotong kalimatnya.
''Non cepat kembali ke ruangan Baoak. Pak Japri baru datang dan langsung dikabarkan dokter kalau Bapak kritis.''
''Astaghfirullah, Bapak.''
Cepat-cepatlah ia dalam melangkah. Bahkan berlari. Menembus beberapa kerumunan orang yang hendak masuk rumah sakit, mungkin akan menjenguk sanak keluarganya. Hati Hasna telah bergenuruh cemas. Hujan-hujan janganlah tiba kembali di awanya yang indah itu, setelah sempat turun di beberapa hari yang lalu. Kabar ini selayaknya petir yang tetiba datang membelah langit.
Jauh! Kenapa jauh sekali ruangan Bapak? Sungguh Hasna menyesali tiap-tiap langkahnya yang tidak segera sampai. Dalam lorong rumah sakit ia menjadi pusat perhatian banyak pasang mata. Dan tibalah di depan ruangan Bapak. Pak Japri berdiri cemas di sana.
''Bapak gimana?''
''Masih ditangani dokter, Non. Tenang dulu ya Non.''
Matanya yang telah terbasuh cairan bening itu memaksakan kaki keadaan berjinjit-jinjit melihat Bapak dari kaca jendela. Karena memang sedikit tertutup gorden hingga membuatnya kesulitan. Alhasil hanya mampu duduk lemas di kursi. Ayat-ayat satu doa dalam harapan terus bersenandung mengisi hatinya. Walau mata masih membuka aliran sungainya, Gadis itu menutup wajah. Terisak-isak.
Selamatkan lah Bapak Ya Allah. Hasna mohon. Dia satu-satunya yang Hasna punya. Jangan buat Hasna hidup seorang diri. Hasna mohon Ya Allah.
Begitupun dengan Japri. Lelaki itu hanya mampu berdoa dalam hatinya yang tersayat-sayat melihat Hasna menangis. Sudah jatuh, semoga Allah tidak menimpakan tangga pula bagi Hasna. Sementara di dalam ruangan dokter tengah bekerja dengan sebuah alat yang berulang kali ditekankan pada bagian dada. Hingga pasien meresponsnya dengan dada yang terangkat-angkat tiap kali benda itu ditekankan. Dalam satu jawaban, layar pada monitor di samping kepala bankar memberi jawaban. Berupa gelengan kepala dan penuh penyesalan terdapat di antara mimik wajah dokter dan para susternya. Garis lurus pada monitor menjadi pemandangan paling buruk bagi keluarga pasien. Disertai bunyinya yang khas menusuk-nusuk gendang telinga, sampai pada hati.
Pintu terbuka. Hasna segera bangkit dan bertanya, ''bagaimana dokter? Bapak bisa diselamatkan kan?''
''Maaf-''
Rupanya Hasna tak mengizinkan dokter menyelesaikan perkataannya. Cukup sebuah kata MAAF tadi telah memberi jawaban bagi Hasna. Hasna langsung memotong perkataan dokter dengan meninggalkannya dan masuk menghampiri bapak.
''Pak...'' Hasna terduduk lemah di kursi. Menggoyang-goyang tubuh bapak berulang kali. Menciumi tangannya.
''Bangunkan Hasna Ya Allah. Beritahu Hasna jika ini mimpi.''
Beberapa suster yang masih berada dalam ruangan itu turut meleleh melihat Hasna. Alat-alat medis yang membantu bapak masih belum dilepaskan hingga satu jam ke depan. Dikhawatirkan jikalau jantungnya kembali berdetak.
''Bapak bangun. Jangan terus terpejam seperti ini. Ayo bangun pak. Kita perbaiki kehidupan kita sama-sama. Tidakkah bapak mengerti bahwa Hasna datang dengan kerudung ini untuk bapak? Tapi tolong jangan katakan bahwa semua ini terlambat.''
Hasna semakin terisak. Sementara Japri hanya duduk di luar sambik berulang kali mengusap wajahnya yang sedikit telah keriput.
''Bapak belum lihat Hasna yang sekarang kenapa telah pergi menyusul Ibu? Kenapa..., Pak? Tolong bangun dan lihat Hasna pakai kerudung. Ini hadiah Hasna untuk Bapak. Sungguh, jangan ikut pergi bersama Ibu, Pak.''
Sakit sendiri hati Hasna. Ia ingin Bapak melihatnya yang sekarang. Ia ingin mengajak Bapak untuk lebih dekat dengan Allah. Ternyata tidak cukup dengan kepergian satu orang, telah disusul satu orang lagi. Tidak sekalian jemput Hasna juga Ya Allah?
Seperti itulah perkataan batin yang muncul di sela-sela frustasi Hasna. Waktu telah jadi waktu. Dimana ajal datang tidak bisa dilakukan negosiasi apapun lagi.
***Bersambuunng
Komentarnya dong. 😓
Pengen banget dapet respons dari kalian.
Terimakasih masih betah. Semoga bernanfaat. Wassalamuakaikum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Bermuhasabah
SpiritualCerita ini telah SELESAI dan MASIH UTUH. Follow dulu karena ada beberapa bagian yang diprivate. Testimoni: @MiraBlank ''Subhanallah. AKu baper baca bagian ini 😍😍😍'' #4 in Muhasabah: 11 Mei 2018 #4 in poetry: 24 Juni 2018 #59 in Religi: 12 Mei 201...