Bab 8: Menguji Iman

2.1K 146 8
                                    

Bismillah...
Assalamualaikum
Selamat membaca😊

Selorohkanlah

Geta dunia

Tiada membulat mata

Merah tak hijau di netra

DIA

Qalbuku

Bukan dia

***

Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ketika kita merasa merdeka cukup dengan keimanan hati tanpa tergiur kemewahan duniawi.

***

Sebuah benda berukuran cukup besar sudah mengganduli punggung lelaki itu. Dibawanya hingga ke depan rumah sebelum aksara-aksara sang pelepas kepergian terujar. Izinnya sudah didapat dari pemimpin redaksi sejak malam kemarin, saat sebuah nomor dari adiknya bertandang dan mengabarkan keruntuhan laut di matanya.

''Hati-hati, ya Lif? Semoga penyakit Ibumu segera diangkat oleh Allah.''

''Aamiin. Syukron, terimakasih, Al. Aku bener-bener gak nyangka kalau selama aku merantau ternyata Ibu sudah menyembunyikan penyakitnya. Bahkan hanya karena alasan gak mau aku khawatir, dan menggunakan uang kirimanku untuk berobat. Selama ini batinku kemana ya? Sampai Ibu sendiri yang setiap harinya memendam rasa sakit tidak aku ketahui.''

Kembali menunduk lelaki itu. Sejak langit hitam hingga berganti pagi ini tak ubahlah kalimat sesal acap kali bertamu. Dalam hitungan ratusan hari tatkala mula-mula perpisahan itu terjadi, kala itu pula sang nyeri merajam tubuh Ibunya. Belum pernah kembali lagi bersentuh tangan dengannya, hanya layar ponsel yang menghubungkan suara antara insan di tanah Lampung dengan insan di tanah Palembang. Maklum, hidupnya di desa pun sederhana. Gaji yang diterima cukup untuk memenuhi kebutuhan sang adik yang masih SMA dan kebutuhan makan setiap harinya.

Tapak-tapak kakinya berupa suara mulai melemah menjauhi pekarangan sempit rumah Althaf. Usai saling mendoakan keselamatan dan merangkul bersama, urung kepergian Alif. Seorang bapak-bapak ojek online memencet tombol klason motornya, kemudian melaju menembus rintik tipis embun sang pagi ini. Membawa seorang lelaki yang siap merangkul wanita yang menjadi tempat surga di kakinya. Memanjakannya, menyuapinya, bahkan yang utama adalah tiada henti mendoakannya. Walau dalam keadaan baik-baik saja pun masih tetap mendoakan.

Hari ini, tepat hari liburnya satu kali dalam seminggu sebagai reporter di website Arreligi.com. Bahkan hari ini pula yang akan memgawali hari-hari Althaf tanpa Alif. Entah sampai kapan, hari apa Alif akan kembali belumlah terjawab. Mengawali karir di website online tersebut, menjadi awal mula juga bagi Althaf dan Alif bersua. Berjabat tangan, berkata nama, hingga bertukar kartu nama, sampai akhirnya berada dalam satu atap yang sama. Althaf yang meminta Alif untuk tinggal di rumah sederhananya itu. Sebatas niat hati tuk saling membantu, juga menjadikan hidupnya tidaklah terlalu sepi tanpa obrolan.

Kini, kala sebuah jam dinding yang menggantung lemah pada sebuah paku di kamar Althaf menunjukkan angka delapan, lelaki bertubuh tegap itu telah menarik resleting ranselnya. Menjejalkan kaki ke dalam sepatu lusuh walau bersih. Siap menyambut sebuah pekerjaan sampingan sebagai lembaran-lembaran kertas yang akan bertengger di dompet bututnya. Menjelajahi dunia, seakan ia akan hidup beratus tahun lamanya, tapi juga mengarungi tuntunan akhirat bak napas terakhir siap terembus di detik kapan saja.

Althaf menghidupkan mesin motor suprafitnya. Walau sempat merengek, akhirnya melaju jua motor tua itu. Mobil sedan yang biasa digunakan bukanlah hak miliknya. Hanya sementara sebagai kuda pengantar kemanapun bait-bait pertanyaan pergi tuk menyambangi narasumber.

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang