Bab 29: Rindu

1.4K 94 2
                                    

Bismillah
Assalamualaikum
Selamat membaca

Biarlah tertata

Di antara seluk cerita

Biaskan antara rahasia

Rapatkan tiada

Luncurlah seribu panah

Jatuh tua

Ketahui jua

***

''Kala temu diabaikan. Kala rindu dinantikan.''

***

''Tumben gak pesen ketoprak, Al? Masa cuma mie instan? Emang kenyang? Padahal seharian ini kita habis liputan ke banyak tempat.''

Botol-botol pendek berisikan saos serta kecap itu digesernya ke tepian meja. Digantikannya tas ransel Alif di sana. Dibuka-buka, entah apa yang dicarinya. Tangannya masih jua meraba-raba di dalam. Hingga tersembulah sebuah ponsel.

''Lif, singkirkan tas kamu!'' Nadanya tiada beri tenaga.

''Nantilah. Pesanan kita juga belum datang.''

''Udah.''

Berputar jua lah kepalanya itu. Telah didapati wanita berpostur tubuh pendek dengan celemek di tubuhnya. Ditaruhlah sepiring ketoprak serta semangkuk mie instan bernuansa ayam bawang. Bergolak-golak jua uapnya di udara. Baunya yang membangkitkan selera makan tapi tak berlaku bagi Althaf. Terkhusus hari ini.

Helaian-helaian mie yang tersangkut di antara tiga gigi panjang sendok garpu, pelan-pelan mulai merasuki sistem pencernaannya. Sayang saja, lama jua tuk sekadar beralun ria di sana. Rupanya sang pemilik daging tak bertulangnya itu tengah merasa pahit. Apa-apa rasa yang menyentuh, diungkapnya pahit. Tak ada asin, manis. Alhasil, beberapa suap saja. Lantas ditariklah sehelai tisu dari wadahnya. Menyingkap sesuatu yang barangkali tertahan di bibir atay sekitarnya.

''Aku masuk duluan, Lif,'' ujarnya seraya membuka dompet untuk membayar makanan.

''Loh. Habiskan dulu lah, Al! Mubadzir.''

''Sedang gak nafsu.''

''Yah terserah sih. Tapi kan kamu juga paham gak baik buang makanan. Sayang.''

Tubuhnya yang dirasa telah tak ada penyangga tenaga, akhirnya duduk jua. Menenggelamkan hasrat tuk beranjak. Lagi-lagi bergolak dengan rasa paksa yang tengah diikhlas-ikhlaskan. Sesuatu terasa menohok-nohok hingga ke ulu hati. Yang di dal mulut seperti ditahan bahkan didorong agar tak menyelami kerongkongan.

''Hmph!'' Telapak tangan Althaf membekap mulutnya. Alif tersadar, jikalau sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja. Kelopak matanya sayu, dan meredup-redup akibat menahan dorongan sesuatu yang akan keluar dari mulutnya.

''Al!''

Urung membantu Althaf, lelaki itu justru telah pergi. Toilet belakang untuk para pegawai di kantin menjadi sasarannya. Di sana, usai kosong lagi mulutnya, Althaf mencuci tangan dan wajah. Rasa dingin seketika menjalar, dan cepat-cepat di antara lemah badannya menarik tisu toilet. Mengusapnya.

''Kamu baik-baik aja, kan Al? Ah tidak. Kamu sakit. Badan kamu panas.''

''Enggak-enggak. Aku baik-baik aja, kok. Ayo!''

Niat Alif datang hendak membantu diabaikan begitu saja. Althaf melangkah melalui dirinya. Dan kini, di atas sebuah kursi dan di hadapkan komputer di atas meja, Althaf masih melawan lemah dirinya. Meski di dalam kepalanya sudah tak tahu-menahu apa yang akan ditulis tentang liputan hari ini. Jemarinya tak selincah biasanya. Bergerak meraba-raba saja, pun karena otaknya yang tertahan tuk berkata-kata. Seumpama benang tengah melilit dan menarik apa saja yang ada di dalam kepalanya itu. Sakit. Pusing. Sementara di sebelah kiri, Alif turut tak mampu memfokuskan mata dan pikirannya. Sedaru tadu terpaku pada Althaf. Diam-diam memerhatikan sahabatnya yang tak pernah ingin mengakui dirinya lemah. Selalu ingin terlihat kuat dan memaksakan tubuh yang lemah. Sebab prinsip Althaf '' Jika tubuhku lemah, aku masih memiliki-Nya untuk menguatkan. Tapi ketika imanku lemah, di sanalah ketakutanku jika ditingalkan-Nya''.

Lewat ujung matanya, Alif melihat Althaf yang tengah memijit pelan pelipisnya. Wajah yang telah pucat seakan berbicara jika sang empunya tak lagi berdaya. Dalam hitungan detik, benar jua firasat Alif. Althaf pingsan. Cepat-cepatlah ia menghampirinya.

***

''Maaf ya, aku merepotkanmu, Lif.''

''Makanya gak usah sok kuat, Althaf. Sudah tau merepotkan.''

''Iya. Baru kali ini padahal.''

''Sipp. Jangan ada kali-kali yang lainnya lagi. Padahal kamu gak tau aku khawatir luar biasa. Tapi yang dikhawatirin malah sok jual mahal.''

Althaf terkekeh mendengarnya. Ia hanya mampu terbaring di kasur. Memerhatikan Alif yang baru saja datang ke kamar dengan semangkuk bubur.

''Makan ya! Awas kalau kamu gak makan, ini juga aku masak sendiri.''

''Iya. Gak usah galak juga. Syukron khatsiron, Lif.''

Di antara tubuhnya yang terasa masih tak berdaya, Althaf bangkit perlahan. Masih menggulung diri dengan selimut, dan meraih semangkuk bubur yang masih hangat itu. Alif sudah tak ada di tempat. Alunan tak jelas suara-suara piring jadi pemberitaan sesaat jikalau Alif tengah mencuci piring. Di saat seperti ini, sosok Alif mampu berjiwa dewasa jua. Terbalik di hari-hari biasanya, yang lebih banyak dinasihati Althaf. Sempat mengurungkan diri cukup tiga sendok saja bubur itu mengisi perutnya. Namun tak tega jua jikalau nanti Alif marah dan kecewa karena usaha memasak makanan untuknya ditelantarkan saja. Lama, akhirnya bubur hampir kandas. Namun perut Althaf telah melambai-lambai tak kuasa. Ditahan-tahanlah lagi sesuatu yang mendorong untuk mengeluarkannya. Hingga terjejalkan beberapa macam obat. Hatinya sempat berdesir mengutarakan syukur mendalam, sebab sakitnya ini masih gejala tifus. Dan yang teramat membuat cengkung dalam rasa syukurnya adalah memiliki sahabat seperti Alif yang amat perhatian.

''Kayaknya kamu sakit gara-gara jatuh cinta ya, Al? Akhir-akhir ini sering melamun. Jarang makan. Gak fokus kerja. Siapa sih wanita yang bisa membuatmu sampai seperti ini? Penasaran aku. Baru kali ini kan ada wanita yang menaklukan hatimu?'' Tanoa basa-basi, tiba di kamar Althag kembali ALif berkata demikian.

Urung jua terjawab, Alif sedemikian mengembuskan kalimat-kalimatnya bak rel kereta api. Benang-benang di kepala Althaf dirasa kian berbelit tak keruan. Pada akhirnya, ia jawab juga berupa senyum dan anggukan. Langsung menegakkan punggung Alif, tuk bertanya hal panjang lagi.

***

Jauh dari kisah Althaf, dalam sebuah kamar Gadis bernama Hasna Kamila itu tengah tertawa-tawa di hadapan laptopnya. Suaranya berdekak-dekak penuhi seisi ruangan. Sebuah video dari youtube jadi pengundangnya. Dalam sepersekian detik kala scene berganti, hangat tawanya menjelma dingin yang tetiba menyusup. Tiga manusia di layar tersebut sungguh telah membangkitkan luka lamanya. Pun rindu yang tak ada bertandang. Namun kini keduanya hadir bersamaan. Tertelanlah salivanya.

''Di antara rindu yang paling pilu. Ialah tak bersegera temu, sebab alam tak lagi satu.''

Diunggahlah sebuah foto dirinya bersama Bapak dan Ibu di instagram. Berlatarkan bangunan monas yang menjulang tinggi, Hasna diapit oleh Ibu dan Bapak. Senyumnya amat merekah di sana. Tapi pilunya amat merekah di sini. Rintik-rintik sendu pun bertaburan, tak lama kemudian menjelma lebatnya. Hingga ditutuplah wajah ovalnya itu dengan bantal. Semoga rindu tertutup jua.

***

Bersambuunng.
Wassalamualaikum.

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang