BIsmillah
Assalamualaikum
Selamat membaca😊Mataku
Hatiku
Akalku
Rembulan pun mengerti
Siapa dia
Tuhan berkepemilikan
Jangan kunci
Yang pelan terkikis
Jangan kunci
Halusinasi kelam lekaslah undur diri
***
Hinalah seorang pendosa yang telah memutar langkah jika mau. Sungguh dia lebih mulia daripada yang menghinanya. Bukankah sudah membudaya ketika yang ingin mengindahkan hati, tapi manusia di sekelilingnya malah membenci?
***
Ponsel biru disambar tangannya. Tergesa-gesa hingga suara ketukan ujung sepatu mampu memenuhi ruangan. Tiba di luar hotel, langsung lah jemarinya menarik gagang pintu taksi. Hilanglah tubuh gadis itu seiring menjauhnya kendaraan beroda empat tersebut. Jalanan kembali hidup bersama ratusan manusia yang berlalu lalang bersama kendaraannya. Adapula beberapa insan yang tergerak-gerak kakinya yang terbalut sepatu olahraga. Berlari-lari kecil di tepi jalan menuju taman kota.
Sebuah cermin tengah memantulkan bayangan wajah seorang gadis dari dalam taksi tak memerhatikan pemandangan pagi di kota besar tersebut. Kembali terlipat cermin kecil itu, usai memastikan setiap inci wajahnya dengan baik. Ada ketidak inginan sekian ribu detik yang telah menjadi masalalu berpijak menjadi masa depan. Dimarahi partner kerja saat di lokasi.
''Pak sedikit lebih cepat ya bawa mobilnya?''
Pria sedikit tua itu mengangguk mengiyakan permintaan penumpang pertamanya pagi ini. Tangannya memutar haluan stir mobil ke arah kiri. Melewati bangunan Museum Lampung. Sedikit lebih menaikkan kecepatan mobil, berhubung jalan masih urung terlalu ramai.
Hasna sempat memijit pelan pelipisnya dengan ujung jari. Nyatanya, api semangat tuk kembali menyatukan kedua orang tuanya masih bertabuh di alam mimpi. Kata-kata yang Nuha cetuskan hanya maya. Serta niatan bertandang kembali ke rumah hanya angan-angan. Entahlah. Mungkin ia akan melepaskan semuanya. Ia akan hidup dengan diri yang dimiliki tanpa ingin mengerti diri-diri lain yang terus ingin melukai. Biarlah jika itu mau mereka. Terpenting, jiwa yang tengah belajar memahami agama itu juga tengah belajar ikhlas menerima pahit yang terus terjejal ke dalam tubuh. Untuk apa memaksakan mereka demi kebahagiaannya sedangkan kebahagiaan tidak mereka dapatkan? Sungguh, mungkin itulah ego yang memprovokasi. Mungkin.
Terlambat sepuluh menit kala taksi itu berhenti di tempat tujuan. Beberapa lembar uang diserahkan Hasna pada sopir. Langsung bertolak ke samping gedung dimana pemotretan akan dilaksanakan. Setelah sebelumnya sempat meraba-raba ujung baju lengan panjangnya. Memastikan kerapian.
''Maaf aku telat.''
''Kamu telat kayaknya udah membudaya Na. Haha. Hm apa kabar? Udah lama gak ngobrol.''
Satu minggu. Hanya satu minggu kedua insan itu tiada temu cakap kalimat tulisan ataupun lisan. Namun sudah masuk dalam kurun waktu LAMA.
''Bilanglah kalau Naya kangen. Gak perlu basa-basi,'' tukas Hasna.
Kebekuan beberapa hari yang lalu nyata telah kembali mencair. Surya merekah sempurna di ufuk timur, bagai turut ingin menghangatkan mereka. Seperti biasa, HAsna langsung duduk di depan cermin besar. Sebuah kotak besar yang terbagi beberapa bagian di dalamnya berisi warna-warni bahan yang siap menimpa keaslian wajah HAsna. Sebuah majalah dengan logo angka satu di sudut kanan atasnya seakan telah menjelaskan keanehan yang mencuat tanya di kepala HAsna. Majalah baru, masih edisi pertama. Pantas, Hasna merasa asing.
''Yang beli majalah ini siapa? Kok tumben beli majalah religi?'' Di sela-sela alisnya yang tengah sedikit dikerik Hasna bertanya demikian.
''Itu gratis. Masih awal terbit soalnya. Aku yang dapet pas tadi baru nau keluar rumah. Eh malah pas banget dibagi majalah itu. Tapi aku belum tau sih gimana isinya.'' Naya yang juga sedang di make up wajahnya menjawab panjang-lebar tanpa jeda.
Ragu-ragu, Hasna menarik sampul majalah tersebut hingga terkuaklah isi halaman pertamanya. SEbuah tulisan besar terpampang di sana. 'Fashionmu Adalah Surga atau Nerakamu?'. Begitulah sebuah judul yang sudah bisa membuat Hasna merinding. Ia menutup kembalo sebelum merasuki halaman-halaman berikutnya. Cukup ilmu semalam yang ia cari lewat internet tentang agama. Tentang wanita khususnya. Ilmu itu sudah membuat Hasna tersudut sangat dalam. Beriringan siksaan apa yang akan diterima kelak sungguh hidup lebih lama lagi menjadi keinginan Hasna yang paling utama. Lebih baik banyak duka di dunia daripada banyak duka di akhirat. Biarlah Allah memberikan waktu untuk mengizinkan gadis itu menapaki langkah-langkah barunya. Semoga.
''Nay, ma-majalah ini untukku, ya?''
''Ya bawa aja. Aku gak suka baca sekalipun itu majalah.''
Seorang pria sedikit kemayu keluar membawa sebuah gaun baby blue panjang. Renda-renda bunga bagian dada di baju itu menghidupkan kesederhanaannya jadi sebuah keistimewaan. Sayang, tidak dilengkapi hingga menutupi bagian bawah leher.
''Ini dari desainer besar lho, Na. Kamu beruntung dipilih jadi modelnya. SUdah bayarannya mahal, aduuhhh ditambah lagi gaun ini yang cantik banget. Aku sampe ngiri pengen pake juga.''
Baju tersebut digantung di dekat Hasna. Retina Hasna bergerak-gerak melihatnya. Ya indah memang baju itu. Tapi...
Ludahnya ditelah susah payah. Perlahan, kepalanya menggeleng.
''Aku boleh tukeran baju sama Naya gak? Yang sedikit lebih tertutup? Baju yang ini terlalu terbuka.'' Ia mengatakannya pelan.Seketika, manusia-manusia disana yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing memalingkan wajah ke arah Hasna. SUdah menjadi kesekian kalinya Model andalan mereka banyak berkomentar akhir-akhir ini.
''Sebenarnya kamu niat kerja apa enggak sih, Na? Ini dan itu kamu komentari. Kamu hanya sebagai pemakai bukan pemilih. Kamu dipilih pakai baju ini karena kamu memang pantas.'' Air muka Amel memanas.
''Aku ingin belajar menjadi yang lebih baik lagi di mata Allah.'' Hasna menunduk. Menyembunyikan kepingan beming di dalam matanya itu.
''SOk agamis! Kamu udah terlalu jauh buat ngerti tentang agama. Asal kamu tau ya? Hidup kalau menuruti aturan agama itu susah! Susah, Na! Percaya adanya Tuhan ya percaya aja. Melaksanakan perintahnya ataupun enggak buktinya kita masih bisa hidup bahagia sampe sekarang.''
Yang melepaskan kalimat-kalimat berujung tajam itu bukanlah Amel. Melainkan Naya. Hasna sendiri hanya tercekat mengetahui Naya yang mampu bersikap demikian. Naya Florista.
''Suatu saat kalian akan mengerti apa arti adanya Tuhan. Apa yang membedakan manusia yang melaksanakan perintahnya atau tidak.''
''Ayolah, Na! Jadi Hasna yang dulu! Yang bisa diajak seru nikmati pekerjaan ini. Kita banyak dipuji sebagai model profesional.''
Tidak! Hasna sungguh tidak setuju dengan perkataan Naya. Kalimat-kalimat yang dibacanya dari internet semalam seperti tengah menikam gendang telinganya sangat dalam. Wanita yang berlenggok-lenggok jalannya sungguh tak akan mencium baunya surga. Ah, seketika bayangan kobaran api neraka saat ini juga akan melahap Hasna habis-habisan. Hasna hidup kembali dan dijilati api neraka kembali. BEgitulah gambaran siksa neraka. Manusia yang mengikuti kemauan dunia berarti manusia yang siap membawa kakinya melangkah ke neraka.
''Tolong jangan paksa aku setelah aku mendapatkan ketenangan yang aku mau.'' Suaranya parau. Lantas HAsna berdiri.''Maaf, aku gak bisa. Permisi. Assalamualaikum.''
Gadis itu melengos pergi. Membawa keputusan yang benar-benar dicintai Allah. Jika hidupnya masih berada di lingkungan manusia-manusia seperti mereka, akan jadi apa Hasna sendiri? Tidakkah keimanan yang hampir kokoh itu akan rapuh jua?
***
Bersambuunng
Terimakasih yang masih betah baca sampe bab ini. Semoga bermanfaat. Wassalamualaikum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Bermuhasabah
SpiritualCerita ini telah SELESAI dan MASIH UTUH. Follow dulu karena ada beberapa bagian yang diprivate. Testimoni: @MiraBlank ''Subhanallah. AKu baper baca bagian ini 😍😍😍'' #4 in Muhasabah: 11 Mei 2018 #4 in poetry: 24 Juni 2018 #59 in Religi: 12 Mei 201...