Bab 16: Berbagi

1.6K 122 2
                                    

Bismillah
Assalamualaikum
Selamat membaca

Abu

Kelabu

Hitam bukan buruk

Kadangkala ia merasuk

Satu yang tertawa

Putih tak jadi andalan

Terbasuhnya cinta

Indah terasa

***

Sepasang tangan kecil tak akan mampu menggapai langit jikalau tak ada dua pasang tangan malaikat di baliknya.

***

Klek.

Besi kecil itu kembali menyanggah badan sepeda. Berdiri sedikit miring ke arah kiri, dalam posisi kepalanya yang lurus. Sang empunya masuk ke rumah. Mengibaskan kedua tangan di dedapn wajah, berupaya panas segera luluh dari dalam seragam putih-birunya. Tiada terasa waktu membawa gadis cantik itu telah menjadi sisiwi SMP. Di akhir kelulusan SD memberikan nilai yang sangat memuaskan. Peringkat ketiga nilai UN tertinggi du sekolah. Maka tak heran, jikalau kini ialah salah satu insan yang terpilih menjadi warga murid SMP favorit di Kabupaten Lampung-Timur.

Memutar-mutarkan pedal sepeda dalam menempuh jalanan sejauh lima kilometer telah jadi santapannya. Peluh yang membasuh layaknya sahabat di tiap-tiap jam pulang sekolah. Tampaklah kini, kulit bersihnya sedikit lebih gelap. Namun, entah mengapa justru menjadikannya lebih manis dalam penglihatan.

Rumah berdinding kan papan itu sedikit memancarkan cahaya dari lubang-lubang kecil. Bangku panjang yang dibuat Bapak menjadi tempatnya bertumpu.

''Bu, makan sama apa? Hasna laper.'' Hasna menarik ujung jarum pentulnya. Melepaskan kain tipis biru itu dari kepalanya.

''Sama ikan asin dan sambal terasi. Ganti baju dulu, terus makan, mandi, tidur. Besok kamu kan mau lomba.''

''Iya, Ibuku yang cerewet. Hehe.''

Ditariklah tas yang digeletakkan tadi di atas meja. Bergegas ke kamar, setelah sebelumnya sempat memberi sebuah kecupan manis di pipi Ibu. Wanita itu hanya menggeleng kan kepala melihat kelakuan Hasna.

Di samping rumah, kinilah Hasna menyantap sepiring makan sore. Jemarinya yang indah membentuk kuncupan menyomot nasi yang sedikir-sedikit dicampur sambal terasi. Dibiarkan sepotong ikan asin itu langsung digigit masuk ke mulutnya. Seraya memerhatikan Bapak yang sedang memotong bambu panjang menjadi bagian yang lebih kecil. Akan membuat kandang ayam katanya.

Pohon-pohon nan jangkung yang mengelilingi rumah Hasna tengah memainkan musik alam bersama kesiur angin yang merangkak. Menjadikannya khas akan sebuah musik indah yang tak akan didapat di tempat mana pun. Ah, Hasna begitu menyukai suasana seperti ini. Tak jauh dari rumahnya, rumah Nenek berada di seberang sungai kecil yang terpisah beberapa petak sawah milik warga. Kadangkala Hasna ingin mendengarkan musik radio, maka ia akan datang ke sana. Atau jika ingin menonton tayangan-tayangan televisi, maka HAsna akan ke rumah Bibinya yang bersebelahan dengan rumah Nenek. Namun sekali lagi, Hasna lebih menyukai nyanyian alam seperti saat ini. Menangis merengek sejak bayi di sini, seakan telah karib dengannya suara-suara desau angin, jangkrik, kodok, bahkan bebek sekalipun.

''Pak, Bapak tau gak?''

''Enggak.''

''Ya iya, enggak tau karena Hasna kan belum bilang sama Bapak. Huh.''

''Memangnya ada apa?''. Bapak menaruh goloknya. Lantas menuangkan air dari dalam ceret aluminium ke dalam cangkir.

''Besok, Hasna akan berlomba mewakili sekolahan!!!''

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang