Bismillah.
Assalamualaikum
Selamat membacaBukan bermula akar
Daunpun tertatih menjerit
Terkulai di antara rintih tanah
Tidak bermula akar
Dia teratas
Goyahlah mudah
***
Tanyakan pada hati kecilmu. Bagaimana mungkin kau letakkan kaki di antara jalan yang terpanggang matahari? Padahal sekadar meliriknya saja sudah mengaduh ingin berteduh.
***
Jemarinya masih saja meraba-raba kain yang menutupi helaian-helaian hitam mahkotanya. Bersitatap di antara dua pasang mata itu pada sebuah cermin. Tiada yang tahu selain Allah. GAdis itu tetiba saja bangun dari alam mimpinya di pukul dua dini hari. Napasnya sempat bergemuruh gaduh di antara detik jarum jam dan detak jantung yang seumpama berlarian menghindari suatu ketakutan. Wajah manusia-manusia itu bertandang dalam isi kepalanya. Saling mengeraskan suara di antara sepasang telinga Hasna. Pemijak alam rupanya masih meronta-ronta tersulut emosi untuk menerima haknya. Hak berupa selembaran-selembaran yang telah beranak jumlahnya, dan haram hukumnya. Astaghfirullah.
Air mata itu di awal masih satu dua tetes menepi di sudutnya. Hingga akhirnya ia meluncur bebas di sela-sela pipi yang terangkat menahan tangis. Sayang, gagal.
Bukan sadar yang menggaris-garis hatinya. Bukan ketukan-ketukan penggugah yang siap melebarkan pintu hatinya. Bukan. Bukan sama sekali. Di sanalah sesal tengah merekah sempurna. Lelehan liquid beningnya bukanlah suatu ujaran dalam pembeberan masa lalu yang berdosa. Ia sesal. Sesal, mana mungkin di antara hati yang mulai meluluh tetapi alangkah buruknya justru hujan duri kembali bertabu-tabu.
Dalam alam tak nyata yang sempat terputar tadi, di sanalah di sudut rumah dua orang bertubuh besar menyodorkan pisaunya yang berkilat-kilat. Di belakangnya seorang wanita tengah tersenyum tajam tanpa suara. Tas yang tergantung di tangannya menambah aksen pribadi yang kelam. Mutiara-mutiara menghias tepiannya, sungguh berkilat seumpama tawa di antara hidup dan mati Hasna.
''Ja-jangan. Aku mohon.'' Suaranya parau hampir tak tersentuh gendang telinga. Meluncur jua air matanya itu. Sepasang pisau yang tajam ujungnya tampak ingin menelannya hidup-hidup.
''Segera lunasi hutang Bapakmu!'' Wanita berambut cepak itu geram menyulutkan suaranya.
Brak!!!
Isi kepalanya pulih kembali. Tayangan menegangkan walau sekadar bergerak-gerak berupa mimpi, sama jua akan nyata. Entahlah, padahal hutang-hutang BApak telah terbayar tuntas. Namun lagi, sang lintah darat tk kunjung jua menghentikan pergerakan tubuhnya untuk terus melemparkan bom teror pada Hasna.
Mata indahnya itu bergerak menilik jarum jam. Berpindah haluan menatap ponsel yang terkapar di antara benda-benda make up yang hampir satu bulan ini tak bersentuh kulitnya. Lantas jemarinya mulai bermain-main di atas layar, sesaat kemidian sambungan tekepon terhubung meski suara dari seberang terdengar berat. Kantuk mendominasi.
''Iya, tolong ya?'' monoh Hasna.
***
Di sanalah, di atas sebuah sajadah biru yang dihamparkan di dalam ruangan kecil seseorang tengah menengadah kedua tangannya. Dalam hitungan sepersekian detik kemudian wajahnya terusapkan kedua tangan. Melipat sajadah dan kembali ke kamar dalam keadaan sarung masih melilit pinggangnya serta peci yang masih bertahta di kepalanya.
''Ya Allah, tolonglah.''
Sepasang katanya dipaksa terpejam hingga kerutan-kerutan tiada tahu arah jalan tampak di dahinya. Kembali terbuka dan menatap langit kamar.
Sungguh, entah siapa Gadis itu Althaf tiadalah tahu. Alam telah mempertemukan piing-puing kayu yang terpisah tapi tiada tahu di mana pijaknya. Dimana teduhnya. Dan hal ini, sungguh telah merampok sebagian isi pikiran Althaf. Ya, gadis yang tak sengaja ditabraknya saat itu.
Tubuhnya terangkat. Embus napas begitu kasar meluncur dari mulutnya. Baiklah, pikirannya benar-benar disibukkan gadis itu, dan Althaf tak mau berkelanjutan. Ia takut, dosa pikiran terjadi. Alangkah baiknya isi kepalanya itu sibuk mematrikan kedua bola kata pada aksara-aksara arab. Alangkah baiknya alam di sepertiga malam terakhir didongengkan merdu suaranya. Terbacalah surat An-Nisa. Mulai melantun sejukkan hati. Menembusnya sampai pada keheningan langit.
***
Tok tok tok
Jemari itu terlipat seakan tergenggam. Mengetuk-ngetukkan pada sebuah pintu bermotif absurd tapi terkesan indah. Urung lagi tangannya hendak berbenturan dengan pintu tersebut, sang pemilik rumah lebih dulu membukakannya. Gurat wajah kagetnya menatap sang empunya rumah, dalam hitungan detik telah terkondisikan.
''Apa kabar, Na?''
Senyum miris tersungginglah di sudut bibir HAsna.
''Semakin buruk.''
''Kenapa? Kamu sakit?''
Ingin saja ia tertawa sumbang. Tapi cukup sebuah ekspresi tanpa warna-warna menyertainya telah mengabarkan bahwa tak ada yang baik-baik saja.
''Ohya, aku bawa makanan buat kamu. AKu datang kesini karena aku kangen, kamu gak kangen sama aku?'' Kedua tangan Nuha membuka isi dalam plastik merah yang dibawanya. Dua buah kotak martabak bangka terduduk di atas meja itu.
Bertanya-tanyalah hati Nuha. Ingin ia lambaikan tangan bertanya pada Hasna. Menilik sedikit saja lorong hatinya. Jujur, air muka Hasna yang tanpa campur tangan ekspresi lain membuatnya tertekan. Belum lagi, sebuah kaos berlengan pendek yang terpasang di tubuhnya. Kemana kerudungnya? Kemana gamisnya? Tak ada lagi perbincangan setelah itu, sampai pada akhirnya Nuha menyerah, dan izin pulang.
''Jika ada masalah, cerita padaku. Jangan pernah melepaskan kebaikan yang telah kau tekadkan. Jangan pernah memutar haluan di antara bumi yang sejuk untuk bertandang pada bumi yang panas.''
''Maaf. Kamu gak akan pernah mengerti.''
''Aku pulang. Assalamualaikum.''
Terangkatlah kedua kakinya di atas lantai. Derap-derapnya terasa berat tuk menanggalkan Hasna tanpa kabar baik. Buruk. Benar-benar buruk. Setibanya di luar, Nuha menatap lagi rumah Hasna. Ia menunduk, dan menitikkan air mata. Hasna yang dingin. Kemana Hasna yang hangat? BEBErapa hari tak jumpa, tapi garis-garis telah ubah jalurnya.
Sekarang aku menyerah. Tapi esok aku akan datang lagi, Na. Dengan segaka persiapan. Yang pasti, aku gak akan pernah mengizinkan kamu untuk memutar arah lagi. Kita sahabat fillah, Na. Tolong sama-sana mengharapkannya. Allah, tolonglah aku.
***
Bersambuunng
. Thanjs. MAaf lama update jadi rada kaku juga mau nulis :(
Wassalamuakaikum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajari Aku Bermuhasabah
SpiritualCerita ini telah SELESAI dan MASIH UTUH. Follow dulu karena ada beberapa bagian yang diprivate. Testimoni: @MiraBlank ''Subhanallah. AKu baper baca bagian ini 😍😍😍'' #4 in Muhasabah: 11 Mei 2018 #4 in poetry: 24 Juni 2018 #59 in Religi: 12 Mei 201...