Bab 35: Bimbang

1.2K 90 0
                                    

Bismillah
Assalamualaikum
Selamat membaca

Yang terbelenggu

Tak padamkan sinar itu

Yang tercekik

Tak cuatkan angkuh

Menggebu asa

Dosa menari-nari

***

''Seseorang boleh pergi tanpa pamit, bersama masa yang tak terhitung jari. Tapi kelak ia kembali jua, karena kehidupannya yang pahit tak mampu ditahan jiwa.''

***

Semua masih tetap sama. Pohon rambutan di depan rumah itu. Posisi rumah sanak saudara. Tak ada yang berubah terkecuali jalanan kecil sawah itu telah melebar dan berbatu. Rumah papan yang berdiri di persimpangan jalan itu pun masih dalam bentuk fisik yang sama. Hanya saja kekokohannya perlahan sirna, sedikit miring ke arah kanan. Entah apa jua nanti jadinya. Jilakalau angin dal sekali tiupan besar menerpa, jatuh jualah rumah tua itu. Sinar-sinar oranye kecil yang lahir dari sumbu dimar berbahan bakarkan minyak tanah telah tak tertampak lagi. Kini sebuah lampu putih di tengah ruangan telah menggantikannya. Meski kabel melintang tak beraturan di langit-langit ruangan berdebu itu. Bekas-bekas asap dari tungkunya telah menanggalkan jejak hitam pada puing-puing kayu. Dan di sanalah, di rumah tua itu kini Hasna bersedekap diri. Dipeluk untuk kesekian kalinyalah sang nenek. Kabar kedatangannya telah merebak satu desa. Saudara serta para tetangga beberapa mulai berdatangan.

''Kamu dari mana saja, Cu? Udah berapa tahun ninggalin nenek sama keluarga yang lain disini?'' serak suaranya menjelma ujubg pisau tertancap pada kalbu Hasna.

Perjalanan sore tadi menuju pedesaan ini begitu singkat waktunya. Tak ayal langitpun kini telah terpangkas habis sapuan birunya. Hitam mendominasi, bintang tersebar, dan purnama bertahta.

Tubuh nenek yang kian ringkih terus didekap. Palung rindu tampak baru dirasa sekarang. ENtah dahulu ia kemana perginya. Kandas dan tak pernah kembali, dan kini datang tepat seseorang yang dirindukan itu berada di depan diri.

''Maafkan Hasna, Ibu, dan Bapak, Nek. Maafkan kami. Sungguh kami sangat durhaka pada nenek dan semua keluarga disini.''

''Kamu tidak tau, Cu. Nenek bertahun-tahun masih mencarimu, mendoakanmu. Dan sekarang kau datang, inilah jawaban Allah. Sungguh nenek rindu sama kamu, Cu.''

Hujan bertabu-tabu jatuhnya. Dilepaskanlah pelukan Hasna. Tersujud-sujud jua nenek mengucap syukur pada Allah. Tubuh rentanya tertahan lama kala bersujud, lantas bangun dan memeluk erat Hasna kembali. Tampak berbicara hatinya, agar tak ada tanah yang berbeda lagi. Tak ada pijak yang lain arah. Tak ada darah yang dilupa. Tak ada rindu yang terbentang lebar.

Seorang wanita sedikit lebih tua dari almarhum Ibu Hasna menghampirinya. Mengecup dahi serta turut merengkuh tubuh Gadis itu. Pun demikiam pada anggota keluarga yang lain. Rangkulan-rangkulan tangan itu membentuk di antara satu bahu dengan bahu lainnya. Sungguh, tak tercium asap dendam disana. Tak ada api yang membumbung tinggi. Tak ada. Sebab hati yang amat merindu dan amat mengasih sayangi telah rubuhkan keduanya. Yang pemaaf bahagialah hatinya. Yang dendam kian berkobarlah bencinya.

Maafkan Hasna telah meninggalkan kalian yang sangat menyayangi Hasna. Maaf.

Lain dari apa yang ada dalam akalnya, semula Hasna berpikir dirinya akan dihina, dicaci, dimaki, dan diminta pergi kembali. Sampai terujar jualah kalimat-kalimat pemutus persaudaraan. Nyatanya kini, hatinya disambit kehangatan. Rindu-rindu itu membingkai indah dalam sebuah rumah.

''Kamu kemana saja? Bibi dan Paman sampai kasihan pada nenekmu. Dia sakit-sakitan, bahkan-''

''Tidak perlu dibahas lagi, Marni. Kita syukuri apa yang ada sekarang.''

''Maafkan Hasna, Nek. Paman, Bibi, dan semuanya. Hasna jahat ya? Meninggalkan kalian yang sangat menyayangi Hasna. Hasna jahat sengaja melupakan kalian semua.''

Seorang wanita sebayanya merengkuh.

''Teh, kamu tau? Nenek sampai divonis gila oleh dokter karena ditinggalkanmu. Jangan tinggalkan kami disini lagi, teh. Kasian nenek.''

Tangis Hasna kian merebak jatuhnya. Bertahun-tahun luka yang dibuatnya telah menuntun Nenek dalam jurang luka yang lebih dalam. ENtah dimana hati nhraninya dulu. Bergelimang harta tanpa peduli keluarga. Bergelimang bahagia tanpa peduli sengsaranya orang yang menyayanginya. Hati yang tertaut kesenangan sendiri tak peduli pada diri yang lain.

Tubuh Hasna tertatih-tatih mencium kedua kaki neneknya. Bersimpuh, sabdakan maaf dari lubuk hatinya.

''Sudah, Cu. Bangun. Ibu dan Bapakmu mana? Tidak ikut pulang? APa mereka sudah melupakan nenek?''

Seumpama bunga yang sempat merekah akan hujan layu kembali. Kelopak-kelopak segarnya memucat. Tertunduk kusam.

''Mereka telah pergi.''

Diandaikan kalimatnya adalah pedang sendiri, Hasna terluka sendiri. Rasa bersalah begitu subur tertanam. Dia hadir saat dunia luar memojokkannya. Dia pergi saat hingar bingar dunia luar menyambutnya.

***

''Kamu yakin, Al setelah membaca segala informasi tentang Hasna dari internet dan akun sosial medianya? Aku hanya khawatir.''

Sempat mereka bertandang ke rumah Hasna. ATas pencarian alamat di internet. Sayang, setibanya disana seorang yang dicari tak ada. Justru tetangganya menjatuhkan kabar buruk perihal Hasna dengan dunianya. Perihal perginya Hasna yang entah kemana. Hati yang masih kokoh khusnudzon itu urung percaya. Sampai bersua jualah jemarinya di antara layar pencarian internet. Dan sayang beribu sayang, apa yang dipikir postif menunjukkan hasil yang negatif. Hatinya mendadak amat menyesali.

''Entah. Jujur aku sangat menyesali dia tidak bisa istiqamah dalam berhijrah.''

''Jadi?''

''Akan kumantapkan hati lagi.''

Dibereskanlah segala berkas yang terdampar di atas meja ruang tamu itu. Dipaksa-paksa tertata rapi dalam genggaman kedua tangan, dan dibawanya masuk kamar. Ayunan yang sempat tenang kembali ditarik ulur. Debar-debar bahagia yang sempat merekah kembali menguncup. Mendadak hatinya bertandang kembali tanya.

***

Bersambung
BERikan pendapat kalian ya😊
Terimakasih, wassalamualaikum.

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang